Akar masalah dari kemiskinan adalah ketiadaan akses dan kontrol orang miskin atas sumber daya yang ada. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sulit dicapai bila penduduk masih dibelenggu kemiskinan. Dengan karakteristik geografisnya, Cikeusik merupakan daerah yang minim fasilitas untuk menunjang SDM yang berasal dari warganya, khususnya para pemuda. Pandeglang menjadi salah satu kabupaten yang masuk dalam kategori daerah tertinggal. Kabupaten Pandeglang terdata memiliki tingkat kemiskinan sebesar 9,74 persen, terbesar di daerah Banten.
Dengan jumlah angkatan kerja sebanyak 529.562 jiwa dari total jumlah penduduk sebesar 1.272.687 jiwa (sumber: BPS Pandeglang 2020), Kabupaten Pandeglang, khususnya Kecamatan Cikeusik perlu perhatian khusus. Hal itu agar para pemuda sebagai angkatan kerja dapat memiliki keterampilan untuk mencari nafkah dan berkarya sehingga bisa meningkatkan taraf hidup keluarganya sekaligus meningkatkan kualitas hidupnya.
Mengacu pada kondisi perekonomian masyarakat Cikeusik, dirancanglah suatu program pengabdian masyarakat yang melibatkan masyarakat Cikeusik dalam pembinaan pemuda sebagai angkatan kerja. Mereka belajar membuat peralatan pertanian tepat guna sebagai salah satu keterampilannya yang dapat bermanfaat di bidang pertanian, sekaligus realisasi penerapan ilmu instrumentasi, listrik magnet, mekanika, dan termodinamika di bidang fisika.
Dr. Fatimah Arofiati Noor yang tergabung dalam Kelompok Keahlian Fisika Material Elektronik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ITB mengatakan, pembinaan masyarakat yang berkesinambungan dalam pelatihan di bidang ilmu fisika secara ekonomi dapat menyokong pengembangan taraf hidup masyarakatnya. Kegiatan ini diadakan tentunya berdasarkan beberapa kebutuhan masyarakat yang selama ini masih menggunakan cara konvensional. “Oleh karena itu, program yang dirancang oleh tim adalah pelatihan pembuatan mesin penetas telur dan pelatihan pembuatan drone. Target dari program ini adalah para pemuda angkatan kerja dengan usia pada kisaran 17- 45 tahun,” ujar Dr. Fatimah Arofiati Noor.
Tingkat mortalitas pembiakan unggas yang tinggi (20-40% dengan cara konvensional) menjadikan pendapatan masyarakat Kecamatan Cikeusik menjadi terbatas. Untuk meningkat produktivitas anakan dan mengurangi angka mortalitas diperlukan alat yang menggantikan fungsi indukan dalam mengerami telur. Alat ini merupakan penetas telur dengan menggunakan listrik (lampu) sebagai sumber panas yang digunakan untuk menstabilkan suhu ruang (eraman telur).
Untuk itu, diadakan pelatihan membuat mesin penetas telur bagi pemuda di Kecamatan Cikeusik. Sebelumnya, mereka telah dibekali dasar elektronika dan mekanika. Kini, mereka telah menghasilkan alat sebanyak 5 unit. Secara sederhana alat ini dibuat dengan menggunakan besi (sebagai rangka), ditutup (cover) dengan kayu lapis sebagai penutup rangka. Hal ini dibuat sedemikian rupa agar suhu di dalam ruangan (yang terdapat telur) menjadi stabil. Untuk menstabilkan suhu dan kelembapan dalam ruangan digunakan mikrokontroler. Setiap 1 hingga 2 jam, mesin akan membalikkan telur secara mandiri.
Sumber listrik yang digunakan adalah tegangan AC (PLN). Namun, karena di Cikeusik sering terjadi mati listrik yang cukup lama, digunakan back-up sumber daya berupa tegangan DC (aki). Mikrokontroler akan mengatur secara otomatis perpindahan listrik tegangan AC ke DC apabila ada kendala mati listrik (PLN).
Hal yang sangat berpengaruh dalam upaya peningkatan produktivitas padi di desa adalah ketika pemberian pupuk daun dan penyemprotan insektisida. Untuk membantu salah satu permasalahan petani ini dibutuhkan alat modern berupa drone penyemprot. Untuk itu, guna meningkatkan kualitas SDM dan pendapatan masyarakat dibuatlah pelatihan merancang drone sederhana yang dibantu oleh tim ITB yang memiliki kompetensi di bidangnya.
Drone yang dirancang hampir sama dengan drone yang telah beredar di pasaran. Yang membedakan adalah komponen penggeraknya. Drone yang umum beredar digerakkan oleh tenaga baterai litium. Sementara, drone yang sedang dibangun ini menggunakan mesin berbahan bakar sebagai penggeraknya.
Beberapa kelebihan sistem ini adalah kemampuan waktu terbang bergantung pada banyaknya bahan bakar yang tersedia (3-5 jam terbang), biaya pembuatan lebih murah dari pasaran, kemampuan mengangkut cairan (pupuk atau insektisida) lebih besar (30-50 liter) daripada drone yang beredar di pasaran, pengoperasian bisa secara manual atau autopilot. “Saat ini pengerjaan sistem mikrokontroler sudah selesai dengan bantuan tim ITB. Kegiatan selanjutnya melangkah ke fase pembuatan hardware,” kata Dr. Fatimah Arofiati Noor sebagai ketua tim pengabdian. Pelaksanaan kegiatan ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama terdiri dari design drone sesuai dengan kebutuhan, perancangan dan pembuatan mikrokontroller dasar, perancangan dan pembuatan mesin CNC. Mesin CNC ini digunakan untuk pembuatan baling baling atau propeller yang nantinya akan digunakan sebagai komponen utama penggerak drone agar bias terbang. Mesin ini dibuat untuk memperkecil biaya pengadaan baling baling atau propeller drone, dimana kalau kita beli, akan membutuhkan biaya yang cukup besar. Tahap kedua adalah pembuatan rangka drone, instalasi komponen drone dan uji terbang drone. Pada tahap ini , belum dapat dilakukan maksimal, karena ada beberapa anggota tim pelaksana (pemuda local yang diberdayakan) yang bertugas di luar daerah sehingga sangat kesulitan untuk mewujudkan tahap ini. Tetapi tidak menutup kemungkinan kegiatan ini dapat dilanjutkan kembali ketika waktu dan personil pelaksana sudah ada.
Tergabung dalam Kelompok Keahlian Fisika Material Elektronik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ITB. Ia menyelesaikan studi sarjana hingga doktornya di ITB.