Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan bahan mentah utama yang digunakan dalam produksi cokelat dan menjadi produk populer yang dihargai di seluruh dunia. Menurut data International Cocoa Organization (ICCO), pada tahun 2018 produksi kakao dunia mencapai 4.800 ton. Indonesia menjadi negara kelima sebagai produsen kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading, Ghana, Ekuador, dan Nigeria (ICCO, 2018).
Di Indonesia, kakao menjadi salah satu komoditas andalan perkebunan yang cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Indonesia mengekspor hasil produksi kakaonya sebagian besar menuju Malaysia, Amerika, India, Cina, dan Belanda. Menurut data statistik BPS (Badan Pusat Statistik) pada 2018, total ekspor kakao lima tahun terakhir (2013-2018) mengalami fluktuasi peningkatan berkisar antara 6,78% sampai dengan 7,53% per tahun, sedangkan penurunan mencapai 19,4%.
Penurunan persentase ekspor kakao ini disebabkan adanya serangan hama pada tanaman kakao dan mutu biji kakao Indonesia dikatakan masih rendah. Mutu biji kakao Indonesia juga berada pada grade 3. Hal ini karena sebagian besar produksi biji kakao berasal dari areal perkebunan rakyat sebesar 98,38%, sedangkan milik pemerintah dan swasta hanya sebesar 0,75% dan 0,87% (BPS, 2018). Menurut riset lain, delapan puluh persen kakao hasil dari perkebunan rakyat belum diolah dengan baik. Pengolahan kakao yang dilakukan masih menggunakan fermentasi alami atau spontan di dalam kotak kayu yang ditutupi daun pisang atau karung goni selama 5-7 hari. Tidak jarang, beberapa petani memilih untuk melakukan pengolahan kakao tanpa melakukan proses fermentasi. Sebagian besar para petani berpendapat bahwa proses fermentasi akan memakan waktu cukup lama.
Fermentasi merupakan proses yang paling penting dalam pengolahan biji kakao karena pada tahapan ini akan memengaruhi terbentuknya aroma yang khas pada cokelat. Fermentasi akan mempermudah pengeringan dan penghancuran pulp yang melekat pada biji. Fermentasi juga akan memengaruhi komponen senyawa yang terdapat di dalam biji kakao dan nantinya akan memengaruhi cita rasa.
Dari sejumlah kajian, disebutkan bahwa proses fermentasi alami atau spontan biasanya mengandalkan mikroorganisme indigen yang berada di kakao. Selain itu, mikroorganisme yang terdapat di sekitar lingkungan pengolahan kakao, baik pada kotak fermentasi, karung yang digunakan untuk fermentasi, maupun dari kontaminasi tangan pekerja juga berperan dalam proses fermentasi. Dengan demikian, proses fermentasi spontan ini banyak melibatkan mikroorganisme kontaminan sehingga menghasilkan cita rasa cokelat yang beragam. Tidak jarang, proses fermentasi yang dilakukan mengalami kegagalan. Proses fermentasi seperti ini dapat terjadi karena proses fermentasi yang tidak terkontrol sehingga cita rasa yang dihasilkan menjadi tidak konsisten atau off flavor.
Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memanfaatkan kakao sebagai komoditas andalan daerahnya. Salah satu kabupaten yang menjadi sentral produksi kakao di NTB ialah Kabupaten Lombok Utara (KLU). Kabupaten ini, khususnya di Kecamatan Gangga, mempunyai luas areal perkebunan kakao terbanyak, yaitu sebesar 1.285,55 hektare dan produksi kakao tertinggi sebesar 577,85 ton dengan rata-rata produksi sebesar 508,58 kg/hektare (Dinas Pertanian KLU, 2018). Terlebih pada tahun 2019, perkebunan kakao di wilayah KLU ini terpilih sebagai Kampung Cokelat yang diharapkan akan menjadi tempat edukasi dan wisata andalan NTB (Suara NTB, 2019).
Dr. Eng. Kamarisima, S.Si., M.Si. dari Kelompok Keahlian Bioteknologi Mikroba Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) bersama tim melakukan peningkatan kualitas cokelat dengan fermentasi sekunder dan penambahan ekstrak buah secara terkontrol. “Fermentasi merupakan proses yang paling penting dalam pengolahan biji kakao karena pada tahapan ini akan memengaruhi terbentuknya aroma yang khas pada cokelat. Fermentasi akan mempermudah pengeringan dan penghancuran pulp yang melekat pada biji. Fermentasi juga akan memengaruhi komponen senyawa yang terdapat di dalam biji kakao dan nantinya akan memengaruhi cita rasa,” kata Dr. Eng. Kamarisima.
Pada kegiatan ini telah dilakukan optimasi dan standardisasi proses fermentasi biji kakao di Kabupaten Lombok Utara-NTB. Hal ini dapat mendukung peningkatan kualitas biji kakao. Selain itu, proses standardisasi dapat menjaga konsistensi kualitas produk kakao sehingga mampu meningkatkan nilai jual produk kakao Indonesia di kancah internasional. Salah satu proses optimasi kualitas biji kakao dapat dilakukan melalui fermentasi terkontrol, yaitu menambahkan inokulum (tunggal maupun konsorsium) dan mengatur kondisi lingkungan (suhu, pH, kelembapan) tetap stabil selama proses fermentasi.
Fermentasi sekunder tidak hanya dilakukan dengan penambahan starter tunggal ragi, tetapi juga dengan penambahan buah kering dan kulit segar buah lemon (Citrus limon) pada berbagai variasi untuk melihat pengaruh proses ini terhadap kualitas akhir dan cita rasa pada biji kakao yang telah terfermentasi. Penambahan starter tunggal ragi pada penelitian ini bertujuan untuk mendorong kembali proses alkoholik dalam peningkatan kualitas biji kakao. Serta penambahan buah bertujuan sebagai substrat bagi mikroba selama proses fermentasi sekunder berjalan.
Proses optimasi dan standardisasi pada kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan fermentor yang dimodifikasi dengan penambahan sensor suhu. Tidak hanya itu, proses fermentasi terkontrol dilakukan dengan penambahan starter inokolum berupa bakteri asam laktat. Hasil scale-up fermentasi terkontrol pada skala 20 kg tersebut mampu menaikkan indeks fermentasi menjadi 90% dengan kualitas biji masuk kategori A. Bila dibandingkan dengan hasil fermentasi alami, hanya menghasilkan indeks fermentasi sebesar 50% dengan kualitas biji masuk kategori B. Dari segi cita rasa, fermentasi terkontrol mampu meningkatkan aroma cokelat, lebih asam, dan berwarna cokelat lebih gelap. Selain itu, kadar air biji kakao kering pada fermentasi terkontrol sebesar 2,9% (Standar SNI maksimal 7,5%). Kadar air ini sangat berperan penting untuk menjaga biji kakao pada proses penyimpanan yang lebih lama.
“Diharapkan dengan penelitian ini kita dapat mengetahui dan mengoptimasi rasio terbaik pemberian buah kering dan kulit segar lemon pada kualitas dan cita rasa biji kakao kering terfermentasi alami; mengetahui perubahan kandungan gula, etanol, asam organik, asam amino dan total fenolik pada biji kakao hasil optimasi fermentasi sekunder; dan mengetahui perubahan cita rasa pada biji kakao hasil optimasi fermentasi sekunder,” Dr. Eng. Kamarisima memaparkan. Selanjutnya akan dilakukan optimasi dan juga pemetaan profil metabolit dengan metabolomik untuk mengetahui metabolit marker pada kakao hasil fermentasi sekunder.
Tergabung dalam Kelompok Keahlian Bioteknologi Mikroba Sekolah Ilmu dan Hayati (SITH) ITB. Setelah mendapatkan gelar sarjana dan masternya di ITB, ia menyelesaikan S-3 di Tokyo Institute of Technology, Tokyo, Jepang.