Membangun Artefak Arsitektural Terakota

Jatiwangi Kab. Majalengka dan Sokka di Kab. Kebumen yang terkenal dengan produksi genting, mengalami penurunan signifikan setelah masa kejayaan tahun 1980-1990-an. Disrupsi usaha genting Jatiwangi disebabkan munculnya teknologi baru material penutup atap yang lebih kompetitif dan tertariknya tenaga kerja lokal ke pabrik-pabrik investasi.

Di Jatiwangi sudah terapat gerakan kreatif Jatiwangi Art Factory (JAF) yang berupaya mengangkat kembali kecintaan dan kebanggaan masyarakat Jatiwangi akan tanah liat yang telah sekian lama menjadi sumber penghidupan lewat aneka kegiatan seni yang berskala internasional. Diskursus terbaru yang dibawa oleh JAF adalah “Kota Terakota” yang mendorong inovasi budaya tanah liat lewat diversifikasi produk tanah liat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, para pengusaha genting mendukung isu “Kota Terakota”, namun belum melakukan inovasi karena menunggu pasar terbentuk.

“Ketika industri berbasis budaya tanah liat mengalami disrupsi, dan seni mampu membawa perhatian terhadap potensi budaya tanah liat, maka bagaimana desain dan konstruksi arsitektural bisa berperan dalam membawa gagasan agar punya dampak yang lebih signifikan dan lebih luas bagi publik,” kata Ilmuwan ITB dari Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur SAPPK, Dr. Agus Suharjono Ekomadyo, S.T., M.T. yang memimpin tim pengabdian kepada masyarakat ITB.

Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan menggagas konstruksi arsitektural bertema budaya kreatif tanah liat pada ruang publik di genting Jatiwangi di Kabupaten Majalengka Jawa Barat dan kawasan industri genting Sokka di Kabupaten Kebumen Jawa Tengah sebagai contoh bagaimana budaya tanah liat bisa dimanfaatkan, dinikmati, dan diinterpretasikan oleh masyarakat sebagai representasi fisik diskursus “kota terakota”. Selain itu, dari kegiatan ini sekaligus memperluas wacana “kota terakota” atau “budaya kreatif berbasis tanah liat” dari Jatiwangi ke beberapa lokus budaya tanah liat yang ada di nusantara.

Kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan modal budaya (cultural capital) dan produksi ruang (production of space). Pendekatan modal budaya adalah memperhatikan budaya kreatif yang sudah dimiliki dan menjadi tradisi masyarakat setempat, dalam hal ini budaya pembuatan genting, baik genting Jatiwangi maupun genting Sokka. Pendekatan produksi ruang merujuk bahwa konstruksi arsitektural yang terbangun adalah representasi dari aspirasi para pelaku yang terlibat, serta memuat nilai-nilai yang diperjuangkan oleh para pelaku tersebut.

Dengan pendekatan  ini, maka arsitektur tidak hanya dilihat sebagai objek teknis semata, tetapi sebagai artefak yang merepresentasikan aspirasi dan nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat. “Pendekatan ini akan membawa desain arsitektur lebih erat, sehingga masyarakat merasa ‘memiliki’, dimana artefak arsitektural yang dihasilkan lewat kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah ‘milik’ serta ‘representasi dari perjuangan mereka’,” papar Dr. Agus.*

Contact: aekomadyo00@gmail.com

PENULIS ARTIKEL
Dr. Agus Suharjono Ekomadyo, S.T., M.T. • Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur, SAPPK ITB

Dr. Agus Suharjono Ekomadyo, S.T., M.T., tergabung dalam Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB. Ia menyelesaikan sarjana hingga doktor-nya di ITB.

364

views

08 July 2022