Ardhana Riswarie
Program community building untuk penyintas bencana alam disusun sebagai upaya penanggulangan dampak sosial yang terjadi pasca kejadian. Palang Merah Amerika Serikat mengidentifikasi empat fase dalam kejadian bencana, yaitu fase heroik (heroic), fase bulan madu (honeymoon), fase kekecewaan (disillusionment), dan fase rekonstruksi (reconstruction). Fase- fase tersebut terutama berkaitan dengan kondisi psikologis para penyintas bencana. Pada dua fase di awal, kondisi psikologis cenderung positif dan bersemangat. Fase ketiga biasanya dimulai saat bantuan sudah perlahan berhenti dan bisa berjalan sangat lama hingga masuk ke fase terakhir. Pada fase kekecewaan, para penyintas biasanya sudah kehilangan semangat dan merasa limbung menanti kehidupan yang ingin mereka kembalikan seperti sediakala. Masyarakat di fase inipun rawan terkena penurunan kohesivitas, karena mereka cenderung lekas marah dan mengalami stress atau depresi. Para peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan banyak persoalan yang muncul karena program penanggulangan bencana sering mengabaikan dimensi sosial dan tidak berbasis komunitas. Berdasarkan hal tersebut, kegiatan ini dirancang dengan menggunakan pendekatan proses kreasi seni rupa yang bersifat komunal. Target utama dari program ini adalah anak-anak. Alasannya antara lain karena orang-orang dewasa biasanya terlalu penat dengan banyaknya hal yang harus dipikirkan, anak-anak lebih terbuka dan orang tua biasanya lebih merasa terbantu dalam pengasuhan sehari-hari, dan anak-anak adalah contoh terbaik bagi orang-orang dewasa untuk mampu bangkit kembali sebagai komunitas yang lebih kuat dan resilien.
Penerapa Karya Seni/Desain/Arsitektur/Perencanaan Wilayah, Penerapan Karya Tulis, Pelaksanaan Kegiatan Kepedulian Sosial berupa pendidikan/penyuluhan/pendampingan
Sebelumnya hampir seluruh masyarakat penyintas tinggal di hunian sementara (huntara) yang terletak di belakang kampung. Beberapa komunitas sempat datang dan memberikan bantuan, tetapi tidak ada yang tinggal dalam periode yang lama. Secara umum, masyarakat dapat menjalani kembali aktivitas seperti sebelum terjadinya bencana alam. Namun, kelompok Paniis Lestari sebagai mitra lokal mengalami kerugian luar biasa karena tsunami yang terjadi. Seluruh aset fisik mereka terbawa arus dan tidak dapat ditemukan. Kondisi psikologis mereka sebagai kelompok sangat buruk dan hal tersebut sedikit banyak mempengaruhi kampung, yang sebagiannya sudah mereka olah untuk pengembangan turisme. Anak-anak di sekitar Kampung Paniis pun mendapatkan beragam bantuan sebelum program PM dimulai, namun kebanyakan bantuan penyediaan kebutuhan fisik yang berkaitan dengan sekolah atau program-program yang dijalankan dalam waktu singkat. Hal ini menyebabkan kondisi psikologis kelompok mereka belum berkembang kembali secara kohesif. Kami juga mengidentifikasi masalah mendasar pada guru-guru di SDN 02 Tamanjaya dalam menyampaikan pelajaran sesuai dengan kurikulum tematik (2013, KTSP, 2018).