Angga Dwiartama
Kampung Sekepicung di Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, adalah contoh nyata masyarakat peri-urban yang terdesak dengan pembangunan. Dari total lahan yang tersedia di Ciburial, lebih dari setengahnya merupakan milik pihak swasta di luar desa, dan dialihfungsikan secara bertahap menjadi hotel, restoran, dan perumahan mewah. Lahan bagi sumber penghidupan dan tempat tinggal masyarakat semakin terbatas. Hal ini memiliki implikasi yang sangat luas bagi penghidupan masyarakat. Pada tahun 2014, tim peneliti dari SITH ITB mengembangkan upaya untuk mengantisipasi alih kepemilikan dan alih fungsi lahan masyarakat, dengan tujuan agar masyarakat masih dapat memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Konsep pertanian terpadu di lahan komunal, yang kemudian berkembang ke arah sistem zonasi permakultur (PM ITB 2014-2016) berjalan dengan baik. Hal ini diikuti oleh antusiasme warga, dan sambutan baik dari pimpinan daerah, termasuk Kepala Desa Ciburial. Proses ini didokumentasikan oleh CreativeNet, sebuah LSM yang mendorong dibangunnnya creative thinking di kelompok masyarakat. Meskipun demikian, kelemahan dari sistem pertanian di lahan komunal adalah status kepemilikan lahan yang sangat dinamis. Di tahun 2019, skema pertanian terpadu yang dikembangkan di lahan seluas 900 m2 milik warga akhirnya berhenti karena pemilik lahan meninggal dunia, dan lahan dipecah berdasarkan aturan waris. Kami menyadari bahwa skema pertanian berbasis lahan memiliki risiko tinggi untuk dijalankan. Satu hal yang kami tidak sadari adalah bahwa meskipun project tidak berhasil, tetapi kesadaran masyarakat akan pentingnya pertanian terus tumbuh. Hal ini terbukti di tahun 2020, saat pandemi Covid19 terjadi. Sebagian anggota masyarakat di Kampung Sekepicung, yang bekerja di sektor informal dan jasa (pekerja café/hotel), kehilangan mata pencaharian akibat lesunya perekonomian. Kami menggulirkan bantuan berupa sembako, yang sifatnya karitatif. Dalam kesempatan tersebut, kami juga menyediakan bantuan sederhana berupa bibit-bibit tanaman dan polybag untuk melengkapi. Bantuan sederhana ini ternyata disambut dengan sangat baik. Alasan utamanya adalah karena masyarakat tidak saja membutuhkan bantuan ekonomi, tapi juga dukungan psikologis, di mana mereka dapat menyalurkan waktu dan tenaga mereka ke hal lain yang sifatnya menenangkan. Di sini, kami melihat bahwa pertanian memiliki fungsi majemuk (multifunctionality), sebagai aktivitas penyediaan pangan dan aktivitas sosial/psikologis (efek terapi). Atas dasar ini, kami berargumen bahwa pertanian berbasis pekarangan merupakan aktivitas ekonomi dan sosial yang dapat berperan sebagai penyokong kehidupan masyarakat di masa pandemi. Kami merancang bentuk intervensi PM ini melalui pengenalan pertanian berbasis pekarangan di Desa Ciburial. Pertanian berbasis pekarangan adalah pertanian non (atau minim) lahan, di mana masyarakat dapat memanfaatkan pekarangan, halaman, teras rumah, atau tembok rumahnya untuk memelihara jenis-jenis sayuran yang dapat dikonsumsi oleh mereka sendiri ataupun didistribusikan untuk warga lain. Konsep ini sedikit terinspirasi oleh ide buruan sae yang dikembangkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat/Kotamadya Bandung, tetapi memiliki tujuan yang lebih luas dari sekedar pemenuhan ketahanan pangan, tetapi terutama demi terbangunnya ketahanan sosial (social security).
Publisitas
.Telah dibagikan hingga 10.000 polibag bibit ke warga di RW 05, Kampung Sekepicung. Sebanyak 40 anggota kelompok tani turun tangan untuk membantu, dan lebih dari 100 warga antusias dalam turut terlibat mengambil bibit dan memelihara sayur di halaman rumah sempit mereka. Pusat pembibitan pun dikembangkan, yang berfungsi tidak hanya sebagai nursery, tapi juga pusat belajar dan berdiskusi tentang pertanian bersama warga. Dengan adanya akses internet RT yang dikembangkan dari kolaborasi dengan proyek PM lainnya,