Anton Timur Jaelani
"Seluruh peradaban di muka Bumi memiliki tradisi yang berhubungan dengan langit, semenjak era yang sangat dini dengan peninggalan yang dapat dikenali hingga kini. Manusia memperhatikan berbagai objek dan fenomena di langit secara ajeg dan seksama, yang dengan waktu amat panjang membentuk salah satu wujud pengetahuan empiris tertua. Pengetahuan ini antara lain berupa korelasi antara konfigurasi objek-objek langit dengan fenomena alam di Bumi seperti musim. Ini memberikan manusia suatu sistem rujukan orientasi dan waktu yang nyaris universal. Kita lalu mengenal adanya kalender, almanak pertanian, dan berbagai tradisi lain yang menggunakan objek dan fenomena astronomis sebagai penanda. Selain dari pengetahuan praktis, alam semesta telah menginspirasi manusia untuk bernalar dan berfilsafat tentang alam. Kesempatan refleksi seperti ini mewujud juga dalam karya seni yang menyatakan persepsi manusia akan alam, sekaligus keinginnya untuk mengungkap rahasia semesta yang terlalu dalam. Di Indonesia, kekayaan budaya Nusantara yang terinspirasi oleh langit muncul dalam cerita rakyat, lagu, tarian, sastra, upacara ritual sebagai respek kepada alam, dan lain sebagainya yang tak terhitung jenis dan jumlahnya. Waktu musim tanam dan musim kering ditandai dengan munculnya rasi-rasi bintang tertentu; siklus perubahan fase bulan disepakati sebagai penanda masa. Sementara untuk navigasi, orang juga menggunakan konfigurasi bintang-bintang di langit, arah dan ukuran bayangan (orientasi matahari) menunjukkan penanda masa yang lebih pendek dan arah. Namun demikian, dengan majunya teknologi, berbagai keperluan praktis penanda arah dan waktu sudah amat banyak dipenuhi oleh peralatan seperti jam, kompas, GPS, dan lain-lain. Ini menyebabkan turunnya kebergantungan praktis manusia pada langit. Relasi manusia dengan langit semakin tipis karena bertambahnya polusi cahaya, terutama di kota-kota besar, yang menyebabkan orang semakin jarang melihat bintang-bintang. Secara umum, orang semakin jarang menengadah ke langit untuk melihat objek-objek dan fenomena astronomis, dan semakin sedikit orang yang memiliki kearifan alam berbasis astronomi dan yang terinsipirasi oleh keindahan langit untuk penghalusan budaya. Upaya untuk tetap mempertahankan pemahaman astronomi dicoba untuk ditingkatkan salah satunya dalam bidang pendidikan terutama sekolah menengah, astronomi diperkenalkan melalui ajang Kompetisi Sains Nasional (KSN) yang sudah banyak menorehkan prestasi di skala internasional setiap tahunnya. Namun demikian, secara formal materi astronomi tidak sepenuhnya diajarkan di sekolah dasar dan menengah hanya disematkan pada bagian kecil dalam materi fisika atau geografi. Hal ini menjadi kesulitan tersendiri bagi guru-guru di banyak daerah untuk menyampaikan materi yang masih tergolong asing ini kepada siswa, salah satunya di Kota Banjar, Jawa Barat. Kota Banjar merupakan kota paling timur di Provinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah mempunyai keunikan akulturasi dua budaya Sunda dan Jawa. Kota yang berdiri hampir 20 tahun yang lalu setelah berpisah dari kabupaten Ciamis kini telah menggeliat menjadi kota yang mandiri dengan banyak prestasi di bidang tata kelola pemerintahan. Kota Banjar merupakan Kota Transit yang harus berkembang seimbang terutama di sektor perekonomian yang meliputi perdagangan dan transportasi sehingga potensi baru di sektor lain (misal pendidikan dan budaya) akan sangat membantu dalam perkembangannya. Di tahap ini, astronomi diharapkan hadir sebagai sains yang amat mudah menarik minat dan impresi masyarakat umum sehingga menjadi pilihan siswa untuk berprestasi di KSN. Selain itu keunikan budayanya menjadi ketertarikan tersendiri untuk menggali potensi adanya budaya atau cerita langit masyarakat lokal yang berbeda di Tatar Pasundan."