Asmudjo Jono Irianto
Industri kerajinan gerabah di Indonesia mengalami kemandekan beberapa tahun belakangan ini. Sentra-sentra produksi gerabah rakyat seperti Plered, Kasongan, Klampok, Ciruas dan Bayat produksinya tidak meningkat, bahkan boleh dikatakan menurun. Di luar Jawa, lombok salah satu sentra gerabah yang dua dekade lalu sangat termasyur dan sebagian besar produknya diekspor, saat ini kondisinya sangat menyedihkan. Salah satu persoalan dengan produk gerabah rakyat adalah miskin inovasi, baik dari segi teknik dan desain. Saat ini hampir sebagian besar produk keramik rakyat menggunakan pewarna cat jika hendak menghasilkan gerabah berwarna. Bahan glasir (lapisan tipis gelas di atas permukaan badan keramik) terlalu mahal bagi para perajin gerabah. Dengan tungku yang rata-rata suhu bakarnya di bawah 1000 0C, maka glasir yang dapat dipergunakan oleh para perajin tradisional adalah glasir suhu rendah. Persoalan, glasir suhu rendah harganya mahal, sebab menggunakan timbal (lead oxide) sebagai flux (penurun titik leleh kursa). Selain cukup mahal timbal juga merupakan bahan beracun dan berbahaya jika dipergunakan sebagai glasir pada wadah makan dan minum. Selain timbal ada beberapa bahan lain yang efektif sebagai flux suhu rendah, seperti soda ash dan borax. Sayangnya kedua bahan tersebut larut dalam air sehingga sulit dimanfaatkan sebagai flux, sebab penerapan bahan glasir ke permukaan keramik umumnya menggunakan media air. Karena larut dalam air maka komposisi dari glasir yang menggunakan sodah ash dan borax sulit stabil (sebagian borax dan soda ash hilang melarut dalam air)
Penerapan Teknologi Tepat Guna
Salah satu persoalan dengan produk gerabah rakyat adalah miskin inovasi, baik dari segi teknik dan desain.