Transformasi TPS Berkat Teknologi Waste to Food

Populasi manusia selalu tumbuh dan diikuti dengan perubahan besar pada komunitas manusia yang berkaitan dengan bagaimana manusia dapat bertahan hidup. Dalam upaya untuk mempertahankan kehidupan mereka, manusia memanfaatkan sumber daya yang dapat mereka peroleh dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Aktivitas ini melahirkan kegiatan ekonomi yang menjadi dasar dari perkembangan peradaban manusia. Namun, hal yang pasti dari seluruh kegiatan ekonomi adalah terbentuknya limbah dan berkurangannya sumber daya yang dapat digunakan.

Limbah utama yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi manusia adalah limbah organik. Tidak seperti limbah anorganik, limbah organik dapat memberikan dampak langsung pada lingkungan dalam bentuk pelepasan gas rumah kaca selama proses pembusukan. Limbah ini juga memberikan beban kepada kegiatan pengangkutan dimana kandungan air pada limbah meningkatkan bobot dari limbah yang diangkut. Solusi umum yang dilakukan adalah dengan pendekatan sentralisasi melalui aktivasi TPS terkadang menimbulkan permasalahan baru terkait dengan penumpukan dari limbah,

Salah satu pendekatan yang mulai digalakkan adalah dengan pengolahan limbah organik di lokasi dimana limbah dihasilkan. Pendekatan yang umum dilakukan adalah dengan mengubah limbah organik menjadi produk baru dengan memanfaatkan komponen organik yang terdapat di dalamnya. Produk-produk yang dihasilkan dengan pemanfaatan sifat organik ini antara lain pupuk organik. Akan tetapi produk ini memiliki nilai ekonomi relatif rendah dengan biaya produksi yang melebihi nilai ekonomi dari produk. Kondisi ini menyebabkan kegiatan ini relatif tidak berkesinambungan. Dalam kondisi ini dibutuhkan pendekatan lain yang dapat mengolah limbah organik menjadi produk baru yang memiliki nilai ekonomi lebih baik, yang dikenal dengan istilah upcycling.

Dalam 10 tahun terakhir, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati telah melakukan serangkaian hasil riset terkait dengan kegiatan upcycling dari limbah organik. Kegiatan yang banyak dikembangkan oleh program studi Rekayasa Pertanian ini berbasis pada pergerakan nutrisi dan energi pada sistem biologis. Berdasarkan penelitian ini, maka program studi Rekayasa Pertanian mengembangkan suatu sistem pertanian berkelanjutan skala kecil yang berbasis pada limbah organik dari kegiatan ekonomi perkotaan (Gambar 1).

Pergerakan energi dan materi: Limbah organik merupakan limbah dengan kandungan organik yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan makhluk hidup. Pergerakan nutrisi dan energi yang terkendali dalam meningkatkan nilai dari limbah organik.

Pada sistem ini, pengolahan limbah organik memanfaatkan hewan yang berperan sebagai agen yang merubah limbah tersebut dalam bentuk biomasa tubuh. Biomasa tubuh ini dapat dimanfaatkan secara langsung oleh manusia sebagai sumber makanan (dalam kasus pemanfaatan unggas sebagai dekomposer) maupun sumber protein (dalam kasus pemanfaatan serangga sebagai dekomposer). Sebagaimana proses biologis lainnya, proses ini menghasilkan residu yang dimanfaatkan sebagai pupuk bagi budidaya tanaman. Konsep aliran energi ini menyebabkan limbah organik berubah menjadi berbagai produk dengan nilai ekonomi berbeda sehingga memenuhi konsep dari upcycling. Pendekatan ini sendiri merupakan pendekatan klasik Indonesia yang dahulu umum ditemukan di desa yaitu konsep pekarangan rumah dimana limbah organik yang dihasilkan diolah dengan memanfaatkan makhluk hidup dan diintegrasikan dengan sistem produksi pangan.

Transformasi TPS

Sistem penanganan limbah di Indonesia masih sangat mengandalkan peran dari pusat-pusat penampungan sampah sementara, dikenal dengan istilah TPS. Lokasi ini penampungan ini umumnya merupakan bagian dari bank sampah yang terfokus untuk mengolah limbah anorganik yang memiliki nilai ekonomi. Limbah organik sendiri umumnya hanya dikumpulkan pada TPS dan dikirimkan ke TPA sehingga menambah beban pada TPA. Hal ini disebabkan karena TPS tidak memiliki pengetahuan dan teknologi sederhana untuk mengolah limbah organik. Pendekatan pengolahan limbah organik yang umum digunakan adalah menggunakan pendekatan komposting. Kelemahan dalam proses komposting adalah membutuhkan tenaga kerja yang relatif tinggi, ruang pengolahan yang luas, dan membutuhkan waktu yang lama. Di sisi lain, produk yang dihasilkan memiliki pasar terbatas dan nilai ekonomi rendah sehingga pengelola TPS relatif enggan untuk melakukan kegiatan pengolahan limbah organik. Pada kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh tim dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung melakukan transfer beberapa teknologi sederhana terkait pengolahan limbah organik dengan tujuan untuk mengurangi limbah organik yang dikirimkan ke TPA. Teknologi yang didiseminasikan adalah teknologi yang berbasis pada pengetahuan aliran energi dan material dari limbah organik.

Kegiatan ini juga menjadi bagian dari revitalisasi dari lokasi TPS direvitalisasi sehingga dapat berperan sebagai lokasi pengolahan limbah organik dan learning center bagi komunitas sekitar. Pendekatan ini terinspirasi dari dari sistem homestead dan pekarangan dimana sistem produksi pangan yang dilakukan oleh rumah tangga dirubah menjadi kebun komunitas dimana setiap anggota komunitas memberikan input energi pada sistem, dalam hal ini adalah limbah organik. Konsep ini selanjutnya diterjemahkan menjadi suatu bentuk prototipe sistem pengolahan sampah yang dikenal sebagai waste to food.

Waste to food : dari limbah organik menjadi sistem ekonomis sirkular berbasis pemenuhan kebutuhan pangan.

Teknologi yang mendasari kegiatan waste to food ini adalah dengan memanfaatkan serangga sebagai agen untuk mengelola limbah organik. Serangga dipilih karena memiliki kemampuan untuk mengkonsumsi limbah organik dengan variasi tinggi dan jumlah tinggi. Secara rata-rata satu ekor serangga dapat mengkonsumsi material organik antara 5 – 10 kali bobot tubuh mereka. Dengan ukuran tubuh yang kecil, menyebabkan mereka dapat dipelihara pada wadah kecil sehingga kegiatan pengolahan limbah organik dapat dilakukan dalam ruang kecil dan menggunakan tenaga kerja minim. Aplikasi ini berdasarkan pada hasil riset dari tim pengabdian masyarakat dimana 100 kg limbah organik dapat dikelola dalam rak berukuran 2 m2. Serangga yang digunakan adalah larva lalat tentara hitam yang telah dibuktikan secara ilmiah dapat dipelihara dalam ruang terbatas, tidak membutuhkan perawatan intensif, menghasilkan biomasa tubuh dengan kandungan nutrisi yang memenuhi kebutuhan hewan ternak (terutama unggas), dan residu dari proses makan dapat digunakan sebagai pupuk organik. Dengan tingkat efisiensi konversi mencapai 75%, larva serangga ini dijadikan sebagai inti dari kegiatan pengolahan limbah organik.

Kegiatan ini sendiri diujicobakan pertama kali pada TPS yang terletak di Pasar Gedebage Bandung Timur. Teknologi waste to food yang diterapkan adalah dengan memanfaatkan limbah organik pasar yang diolah menggunakan larva lalat tentara hitam untuk produksi bebek pedaging pada kandang batere yang dimodifikasi. Kegiatan ini sukses untuk mengolah limbah organik berupa sisa sayuran dan buah dalam dengan jumlah minimum 100 kg per hari dengan menggunakan lahan dengan luas 5 m2. Pendekatan ini dalam jangka waktu 2 bulan sukses menghasilkan 35 kg bebek dan 100 kg larva lalat tentara hitam yang digunakan sebagian besar sebagai pakan bebek maupun pakan ternak lain yang diambil oleh warga sekitar.

Peternakan skala kecil : Kandang bebek dengan kapasitas 30 ekor bebek dan proses pembuatan pakan berbasis limbah organik pasar.

Kegiatan pada pasar Gedebage selanjutnya diduplikasi sebagai kegiatan pemulihan ekonomi pasca Covid-19 di RT 07 dan 08 dari Kelurahan Sukasari Kota Bandung. Yang dipusatkan pada TPS di sekitar lokasi. Dalam kegiatan tersebut, beberapa teknologi tepat guna diterapkan, seperti penginapan ayam dimana kandang ayam dipasang pada dinding, teknologi pakan ternak sederhana berbasis limbah organik dan larva lalat tentara hitam, serta kegiatan budidaya tanaman bagi kebutuhan warga sekitar dengan menggunakan pupuk yang dihasilkan oleh kegiatan pengolahan limbah organik. Saat kegiatan ini diserahkan kepada masyarakat setempat, manfaat terbesar yang diperoleh dari kegiatan ini adalah perubahan fungsi dari TPS menjadi sarana dimana warga setempat bisa berkumpul. Kegiatan ini selanjutnya dikembangkan lebih lanjut oleh warga setempat sebagai bagian dari model pertanian komunal dan bank sampah organik sederhana.

Dalam penentuan pemecahan masalah, tidak dilakukan pendekatan generalisasi sehingga setiap lokasi akan memiliki model pemecahan masalah yang berbeda ditentukan dengan modal berupa sumber daya fisik, ekonomi, dan sosial. Kostumisasi dari pemecahan masalah ini memungkinkan penurunan kemungkinan konflik dan juga meningkatkan peran aktif dari masyarakat. Lebih lanjut lagi, kegiatan ini dapat melahirkan pemecahan-pemecahan masalah secara lebih kreatif oleh penerima manfaat.

Model pendekatan ini selain membantu dalam mengurangi beban limbah organik, juga melahirkan bentuk interaksi sosial dari warga sekitar dimana mereka dapat memanfaatkan produk pangan yang dihasilkan oleh TPS. Bagi mahasiswa, kegiatan ini memberikan kesempatan pada mereka untuk dapat mengimplementasikan hasil pendidikan mereka. Hasil interaksi mahasiswa dan kelompok penerima manfaat, menghasilkan beberapa teknologi tepat guna baru yang menjadi solusi pada daerah-daerah baru dan cikal bakal riset baru untuk pengembangan sistem pertanian terintegrasi pengolahan limbah organik. Teknologi ini saat ini tetap aktif dikembangkan oleh Institut Teknolgi Bandung maupun oleh Dinas Lingkungan Hidup maupun oleh masyarakat untuk menghasilkan teknologi yang paling tepat untuk digunakan. Teknologi ini tersedia pada LPPM ITB untuk dapat dikembangkan atau dikostumisasi sesuai dengan kebutuhan setempat.

Hal yang perlu diperhatikan

Sejak awal diluncurkan sistem ini telah diduplikasikan di berbagai lokasi dengan model yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Model ini juga sudah dikembangkan menjadi berbagai kegiatan komunitas bahkan pada beberapa kasus menjadi kegiatan komersialisasi. Pengalaman dari aplikasi pendekatan ini menghasilkan beberapa hal penting untuk diperhatikan dalam perancangan program serupa dengan tingkat kesuksesan dan keberlanjutan tinggi seperti

  1. Aplikasi makhluk hidup sebagai bagian dari pengolahan limbah organik memiliki variasi hasil yang sangat tinggi.
  2. Penerimaan masyarakat sekitar akan program memainkan peran penting sebab penumpukan dari limbah organik pada satu lokasi berpotensi untuk menghasilkan konflik.
  3. Dimulai kecil dengan target untuk menyelesaikan permasalahan limbah organik sebelum bergerak ke arah komersialisasi.
  4. Keberlanjutan program sangat ditentukan oleh manfaat langsung yang didapatkan oleh masyarakat sekitar.
  5. Jangan hanya mengandalkan satu metoda untuk proses upcycling limbah organik. Terdapat berbagai karakteristik limbah organik yang membutuhkan pendekatan berbeda. Sebagai contoh, limbah organik yang telah membusuk lebih tepat untuk diatasi menggunakan cacing tanah dibandingkan dengan larva lalat tentara hitam, limbah serat akan lebih baik diatasi dengan hewan pemakan serat (contoh ulat hongkong untuk kelompok serangga).
  6. Produk terbaik untuk komersialisasi adalah produk akhir berupa daging, telur, dan sayuran karena memiliki pasar lebih terjamin.
  7. Edukasi dan transfer pengetahuan merupakan hal paling penting dalam menjamin keterlibatan masyarakat dan peningkatan keberlanjutan dari program. Peningkatan pengetahuan dapat menginspirasi masyarakat untuk menduplikasi ataupun mengerjakan pada lokasi asal dari limbah organik yaitu pada rumah tangga maupun lokasi kegiatan ekonomi.
  8. Dan hal terpenting adalah konsistensi dari kegiatan.

141

views