Terra Incognita: Membicarakan Kesadaran Desain dan Masyarakat

Sebuah publikasi baru mengenai desain di Indonesia dari ragam perspektif akademisi dan praktisi yang diharapkan dapat menjadi katalis kesadaran desain yang lebih luas.

Peran desain dalam keseharian dalam mengolah informasi, menciptakan identitas dan produk yang inovatif semakin hari semakin dekat dan nyata di tengah masyarakat. Saat desain bertemu fasilitas publik, kereta cepat Whoosh dan MRT hadir, saat desain bertemu rekayasa biologi, terciptalah material alternatif untuk kemasan ramah lingkungan, saat desain bertemu teknologi, muncul smartphone dan Artificial Intelligence, dan saat desain berpartisipasi dalam kegiatan komunitas, revitalisasi desa seperti di Dusun Ngadiprono, Temanggung berhasil menciptakan pasar kreatif yang harmonis dengan alam bernama Pasar Papringan. Dampak pendidikan desain yang pertama kali muncul di ITB sejak tahun 70-an sudah tak bisa disangkal lagi telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi peradaban dan kemajuan bangsa, sehingga tidak dapat disangkal lagi, desain telah jauh berkembang dan muncul di seluruh disiplin keilmuan.

Eksistensi desain pun dicatat dalam enam belas subsektor substansial ekonomi kreatif Indonesia. Semakin banyaknya universitas yang membuka jurusan desain, dampak persaingan terjadi dengan ketat, sehingga kualitas luaran yang dihasilkan disiplin ini semakin kompetitif dan baik. Sebagai dampaknya dalam skala makro, bidang desain di subsektor industri kreatif versi Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah memberikan sumbangan kepada negara sebesar 19.583,2 milyar rupiah (BPS, 2010). Tidak berhenti sampai sana, 13 tahun kemudian, dalam publikasi laporan Outlook: Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2023-2024, memaparkan bahwa faktor tertinggi sebanyak 69,05% dipengaruhi oleh aspek promosi dan pemasaran yang berkaitan langsung dengan disiplin desain.

Meskipun ketergunaan desain telah meningkat secara signifikan, peran serta tanggung jawab sosial yang dipikul seorang desainer bisa dikatakan berat. Pasalnya, diluar kekuatan desain yang mampu mengartikulasikan kreativitas dalam sebuah karya desain dan menyokong kemajuan beragam industri, intensi rancangan yang diproses harus dipikirkan agar dapat menghasilkan dampak positif yang membangun—tak hanya melulu persoalan ekonomi, tapi beban moral profesi desainer dalam konteks sosial-budaya yang perlu dipertanggungjawabkan. Hal ini meliputi permasalahan limbah industri, meningkatnya budaya konsumtif hingga pembentukkan selera masyarakat lewat tatanan nilai yang dibentuk seorang desainer.

Desainer, disadari maupun tidak, adalah salah satu agen perubahan dan penanda zaman yang turut membentuk selera masyarakat. Sebagai contoh, apakah semua desain mobil pribadi harus berukuran besar, menimbang ketersediaan jalan kota yang semakin sempit? Apakah semua publikasi yang erat kaitannya dengan kebudayaan Indonesia harus selalu diwakilkan dengan gambar batik atau representasi budaya Jawa? Selera ini sangat berhubungan dengan tatanan nilai apa saja yang perlu diakomodir, karena dampaknya yang dalam jangka panjang akan turut membangun narasi mengenai nilai masa depan apa yang perlu diperjuangkan.

Desain dapat sangat bermanfaat lebih jauh apabila pengetahuan mengenai dampak baik dan buruknya diketahui dan diantisipasi. Posisi desain dalam keilmuan lain perlu direkognisi dalam bentuk kolaborasi karena pada dasarnya, desain merupakan ilmu yang berbasis pada nilai lintas disiplin dengan etos kerja desainer yang bersifat imersif, partisipatoris dan memiliki peran penting sebagai fasilitator perubahan di tengah masyarakat. Desainer yang aktif berpraktik dalam ranah publik perlu didukung oleh pengetahuan mengenai gagasan-gagasan positif mengenai karakter kreativitas yang tak sekedar perihal tampilannya saja, juga nilai ekonomi yang dihasilkan dari desain. Melalui kreativitas yang di junjung tinggi, disiplin desain dapat membangun mental kritis, yang turut meningkatkan produktivitas inovasi yang berkelanjutan. Jika kreativitas adalah sebuah modal dasar yang dimiliki semua orang, maka seharusnya dapat mengubah kehidupan jadi lebih baik, karena kreativitas yang bermutu adalah kreativitas yang memiliki utilitas—tidak hanya sekedar visual, olah kata dengan jargon unik, penambahan nilai tapi juga memiliki kebermanfaatan untuk mendorong peradaban menjadi lebih kritis dan maju dengan penciptaan nilai.

Diantara pesatnya pertumbuhan pekerja informal dalam fenomena freelancer desain, memahami unsur kepemimpinan dalam desain, diperlukan agar karakteristik kritis dan mentalitas untuk senantiasa maju seiring dengan kondisi dunia yang bergerak sangat cepat menjadi sebuah urgensi. Kepemimpinan desain sangat dibutuhkan agar setiap desainer dapat berperan sebagai pendidik yang lebih kompeten bagi masyarakat yang juga menjadi pengguna jasa desain untuk membawa kesadaran desain yang lebih luas. Sebagai contoh implementasi desain yang optimal dalam skala negara, bisa kita lihat di Inggris. Sejak tahun 1944, Inggris telah membentuk dewan desain atau Design Council yang berkontribusi sebagai penasihat strategis desain di skala negara, baik untuk kepentingan di dalam berjalannya sebuah pemerintahan maupun praktik diplomasi dalam hubungan internasional. Disana, para desainer turut andil dalam diskusi, kajian, pembentukkan rancangan kebijakan sampai implementasinya.

Proses-proses desain yang dilalui pada umumnya untuk merespon permasalahan yang kompleks, ada dalam aspek-aspek yang meliputi:

  1. Pemahaman seorang desainer untuk mendalami konteks lewat proses yang imersif,
  2. Eksplorasi dengan kreativitas terhadap pemecahan masalah,
  3. Kompetensi merancang purwarupa yang menciptakan efisiensi dalam suatu percobaan suatu inovasi, dan
  4. Kemampuan critical thinking yang merefleksikan jiwa kepemimpinan.

Di luar upaya melanggengkan konsistensi kualitas luaran desain, perihal ekonomi, inovasi bisnis dan budaya konsumtif, minimnya inisiator publik, kurator, kritikus serta ilmuwan desain untuk berperan dalam kehidupan sehari-hari, membuat gerak desain dan pertumbuhan gagasan kemajuan hari ini cenderung sempit apabila dibandingkan dengan jumlah lulusan mahasiswa desain yang tumbuh subur di Indonesia. Dalam upaya mengkritisi minimnya peran sosial desainer sebagai fasilitator di masyarakat luas, penulis memiliki inisiatif menulis buku bertajuk “Terra Incognita” yang muncul sebagai upaya memperluas pandangan dengan mendokumentasikan pemikiran-pemikiran desainer yang banyak luput dari arsip komunitas desain itu sendiri. Buku dengan format bunga rampai ini diinisiasi oleh Aulia Akbar, salah satu mahasiswa angkatan pertama 2023 jurusan baru multi-disiplin dalam magister desain ITB bernama Design Leadership.

Inisiatif buku ini berjalan sejak 2021, dimana kondisi pandemi Covid-19 masih berlangsung dan memberikan dampak yang besar dalam beragam aspek kehidupan sosial. Pembatasan ruang gerak, diadakannya social distancing sampai rekomendasi karantina sepanjang 2 tahun memberikan nafas panjang untuk berefleksi dan berkontemplasi sebagai upaya memaknai kembali keprofesian dan disiplin desain di Indonesia. Dalam renungan itu, pertanyaan-pertanyaan seputar peran dan tanggung jawab sosial profesi desain di Indonesia menjadi urgensi yang patut di lempar ke ranah publik, terutama dalam panggung-panggung desainer itu sendiri. Proyek inisiatif buku ini telah rampung dan kini sudah tersedia di beberapa ruang baca publik. Buku Terra Incognita ini dapat direalisasikan berkat kerja sama penulis dengan penerbit Thinking*Room, percetakan Harapan Prima dan Fedrigoni Indonesia yang dirilis pada 15 Desember 2023 lalu bersamaan dengan gelaran pre-reading session di Fragment Project, Bandung.

Buku Terra Incognita

Memperluas kesadaran desain

Sumbangsih ide dan gagasan seraya memunculkan kreativitas yang berdampak positif pada perekonomian kreatif Indonesia kerap kali dipandang sebelah mata. Mengutip pada kata sambutan dalam buku pedoman Proyek Desain yang dirilis 2019, Triawan Munaf mengungkapkan, “Desainer sebagai karya intelektual masih belum mendapatkan posisi yang layak, sehingga seringkali para desainer tidak memperoleh apresiasi yang sewajarnya. Proses pengadaan jasa desain seringkali tidak berpihak pada desainer sebagai kreator karena masih banyak pengguna jasa desain melakukan mekanisme yang tidak fair. Desain ditempatkan sebagai pelengkap, sebagai komplimen bukan sebagai subyek”. Kelayakan posisi yang dipaparkan itu menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kalangan desain sendiri dalam upayanya bergerak dalam peran sosial, mengapa sebagai desainer yang erat kaitannya dengan kreativitas itu sendiri belum mampu untuk menciptakan mekanisme yang lebih baik—disanalah aspek kepemimpinan harus ada.

Dalam ragam topik yang disajikan dalam buku Terra Incognita, salah satu permasalahan mengenai kesadaran desain beserta potensinya turut dibahas. Buku ini memiliki komposisi sebanyak 13 topik dari 19 individu desain yang terdiri dari 5 akademisi dan 13 praktisi. Buku ini diawali dengan topik mengenai masa depan desain di Indonesia yang dibahas oleh Prananda Luffiansyah Malasan, Ph.D. selaku peneliti di Design Ethnography Laboratory FSRD ITB. Beliau mengatakan dengan optimis, bahwa desain Indonesia di masa depan, baik untuk dalam negeri maupun panggung global, sangat ditentukan oleh generasi yang kini memegang kunci keberhasilan. Masalah lainnya adalah mengenai gap antara dunia akademik dan industri desain oleh Idhar Resmadi, S.I.Kom., M.T. selaku Asisten Ahli di Telkom University. Selanjutnya, ada topik mengenai diskursus kode etik profesi desain oleh Theo Gennardy, S.Ds selaku ketua ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) Bagian Bandung.

Selain fenomena eksternal yang terjadi, buku ini juga memaparkan gagasan-gagasan yang memperkaya pandangan mengenai ekosistem desain yang langsung dipaparkan oleh para praktisi yang kritis dan konsisten melalukan inisiatif untuk dapat bergerak dalam ranah sosial, dengan upaya mendemonstrasikan manfaat desain. Diaz Hensuk dan Danny Wicaksono membahas mengenai inisiatif pergerakan desain literasi di Indonesia, Bram Patria Yoshugi dan Ira Carella, dua Art Director membahas mengenai pemikiran ulang bagaimana desainer bekerja dalam studio, Thufeil Gumilar selaku desainer interior yang membahas mengenai pemaknaan ruang dan keterlibatan gerak manusia, Ardo Ardhana, penggagas salah satu gift shop, Grammars Bandung yang berargumen mengenai ketergunaan ruang dalam konteks pelaku kreatif. Dilanjutkan oleh Abdurrahman Hanif yang memperkaya pandangan soal belajar tipografi di negeri China, Iqbal Firdaus & Eugenius Krisna yang membahas geliat bisnis tipografi atau fon dalam foundry/studio dan terakhir, Roda Nona yang memberi pandangan mengenai konten kreator yang bergerak secara kolektif. Dengan hadirnya buku ini, publik bisa mengakses pandangan-pandangan baru yang kritis mengenai kondisi desain di Indonesia dan bagaimana hal tersebut berkesinambungan dengan kemajuan peradaban sebuah masyarakat.

Selain berusaha menyingkap kondisi geliat profesi desain di Indonesia, buku ini juga memuat narasumber yang berkiprah di desain internasional, yakni dari Helen CH Ting (Taiwan), Falah Naim (Malaysia) dan Mikiharu Yabe (Jepang) untuk memperkaya pandangan desain di kawasan Asia yang didapat melalui proses wawancara video conference semasa pandemi. Beragam pandangan dari perspektif masing-masing narasumber dalam publikasi ini dirangkum secara gamblang, kritis dan intim untuk mencapai pencerahan sekaligus menjadi suplemen bagi pembaca, baik praktisi, akademisi desain sampai kalangan umum yang antusias dengan topik-topik perkembangan dunia desain dan ekonomi kreatif.

Dalam proses memasyarakatkan kesadaran desain, desainer perlu menjadi agen perubahan yang dapat menyampaikan potensi desain lebih lugas. Tidak adanya kesadaran dari kalangan desain sendiri mengenai posisi mereka sebagai penggerak kebudayaan turut memberikan efek stagnansi terhadap nilai sebagai desainer Indonesia di mata lokal dan dunia. Perspektif universitas yang memiliki fakultas atau jurusan desain pun terkadang memposisikan diri mereka sebagai penghasil produk yang siap guna untuk industri dan tidak lebih dari itu. Miskinnya pandangan kritis mengenai potensi desain multi-disiplin menyebabkan fenomena budaya yang statis dan stagnan dalam ekosistem industri dan pendidikan desain di Indonesia yang berakibat banyaknya kalangan praktisi tidak sadar dan mengambil sikap konformis, selalu menerima dan mengerjakan setiap hal yang diminta tanpa panjang pikir akibatnya. Tentunya hal seperti ini akan menimbulkan degredasi nilai dan kesadaran desain, serta menurunkan posisi nilai tawar desain di tengah kondisi yang serba cepat oleh teknologi dimana para pemikir desain sangat diperlukan.

Sulitnya menyeimbangkan mengaktualisasikan potensi desain dan absennya kritikus terhadap desain dan dampaknya membuat permasalahan semakin keruh dan cenderung diabaikan. Dalam hal ini, hadirnya buku Terra Incognita dinilai sebagai katalis untuk dapat memulai dialog-dialog kritis tentang desain, kebermanfaatan, dampak dan potensinya lebih jauh yang sempat putus di generasi pendahulu seperti angkatan 70-80

Peran praktisi dan akademisi

Terra Incognita adalah suatu istilah yang dipinjam dari keilmuan arkeologi dan geografi yang mengindikasikan makna sebuah “tanah yang asing”. Dengan analogi seperti ini, ragam topik dalam buku yang dirangkum secara komprehensif ini diibaratkan sebagai topik-topik yang asing dalam perbincangan desain sehari-hari karena jarang menjadi topik diskusi publik. Dalam rangka memperkenalkan buku ini ke kalangan yang lebih luas, pre-reading session diselenggarakan sebagai langkah awal introduksi, penulis mengundang praktisi desain dan akademisi dengan format yang intim dengan tujuan agar para penanggap ini dapat berpendapat dan berargumen mengenai bahasan utama buku ini. Salah satu tanggapan muncul dari Principal Design kantor studio desain grafis asal Bandung bernama Nusaé, Andi Rahmat. Beliau sepakat dan berpendapat agar buku ini dapat memantik lagi perbincangan desain yang luas seiring upaya kita untuk menemukan lagi akar sejarah desain versi Indonesia sendiri melalui cara mempelajari sejarah-sejarah lain dimana desain ditemukan juga melalui mempelajari perjalanan tokoh-tokoh desain Indonesia dan dunia terdahulu. Baginya, mempelajari bagaimana negara lain berkembang dengan potensi desainnya secara luas dapat dijadikan tolok ukur bagi kita untuk berani memiliki gagasan tentang diri kita sendiri dan memikirkan kontribusinya untuk bangsa.

Praktisi lain pun, Budi Dwi Rahmandy (Studiodiri), tergelitik dengan apa yang dibahas mengenai buku ini, bahwa selama ini, desainer sering kehilangan konteks atau kepentingannya dalam beragam aspek, semisal kepentingan apa yang dimiliki desain dalam sosial dan bernegara? Maka dari itu buku dengan ragam topik yang ditawarkan, mampu memantik pembacanya agar tergugah dan menemukan konteksnya masing-masing. Selain pertanyaan seputar isi buku, ada pula penanggap yang memaparkan minimnya tingkat literasi di kalangan desain sendiri. Ahmad Rifqi Anshorulloh, pemilik studio Monoponik mengejawantahkan fakta bahwa banyak diantara desainer, terutama desainer grafis yang malah membeli buku desain karena tampilan dan gengsinya, bukan karena tawaran gagasan yang ada dalam buku tersebut, sehingga buku desain menjadi “penghias dan dekorasi” semata, bukan untuk dibaca. Kenyataan seperti itu pun menjadi sebuah fakta dikalangan desain bahwa minat untuk mempelajari lebih jauh mengenai potensi desain lewat akses buku masih jauh dibawah rata-rata. Meskipun keadaan minim minat baca masih terjadi di Indonesia, menghadapi fakta ini, penulis memiliki keyakinan bahwa dengan terus memproduksi pengetahuan dan mengarsipkannya dalam sebuah buku juga penting, karena jejak historis sebuah gagasan akan terekam di dalamnya, terlebih dengan posisi buku ini yang ditulis dalam bahasa Indonesia memberikan tingkat aksesibilitas lebih tinggi dalam kondisi hari ini dimana buku-buku referensi desain mendominasi pasar buku dengan bahasa asing.

Bima Nurin, selaku pemilik studio Wanara sekaligus akademisi yang sedang melanjutkan studi S3 juga turut memberikan pendapat, bahwasannya buku ini menjadi paradoks yang dapat memberikan pesimisme yang menyadarkan, sekaligus optimisme soal masa depan desain dan peradaban yang lebih terbuka bagi pembaca. Terkait sejarah desain yang muncul di Indonesia, adanya fakta bahwa disiplin desain yang muncul di Indonesia adalah hasil adopsi dari negara-negara yang telah melalui masa pra-modern, modern dan postmodern, sehingga apa yang dilakukan selama ini baru pada tahap adaptasi, daripada usaha untuk memunculkan akar desain Indonesia itu sendiri, sehingga dapat dikatakan Indonesia telah “meloncati” beragam era dan langsung menuju modernisme bahkan postmodernisme. Namun keberadaan buku seperti ini bukan saja membuka mata dan batin terhadap kondisi-kondisi mengkhawatirkan dalam gerak kemajuan desain Indonesia, tapi pembaca pun akan menyadari bahwa eksistensi orang-orang yang memikirkan hal-hal krusial terhadap kemajuan desain itu ada dan senantiasa melakukan sesuatu dalam spesialisasinya masing-masing, juga dengan cara mereka sendiri.

Kegelisahan mengenai peran desainer dalam konteks sosial yang pada awalnya “gelap”, mulai disosialisasikan oleh penulis dalam rangkaian agenda alih wahana buku menjadi seri diskusi yang berlangsung di Fragment Project, Bandung, mulai 12-21 Januari 2024 lalu. Dengan adanya inisiatif buku ini, ternyata dapat memantik sepercik pelita untuk memulai lagi dialog mengenai desain yang lebih luas lebih dari sekedar persoalan visual. Sambutan positif dari kurang lebih 120 pengunjung dan penanggap dari sesi pre-reading session buku Terra Incognita ini pun diharapkan jadi pemantik untuk terbukanya diskusi publik mengenai potensi besar yang dikandung oleh desain demi menciptakan gagasan-gagasan besar yang nantinya dapat membentuk mentalitas kepemimpinan desain yang kuat bagi kemajuan peradaban masyarakat di masa depan.

343

views