Kabupaten Pangandaran merupakan kabupaten yang terletak di ujung tenggara Provinsi Jawa Barat. Pesisir Kabupaten Pangandaran merupakan destinasi wisata yang populer. Dampak positif dari kondisi ini adalah perekonomian di sekitar pesisir Kabupaten Pangandaran yang relatif lebih maju. Namun, dampak negatifnya adalah kawasan ini berpotensi mengalami polusi yang relatif tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya, termasuk berkurangnya vegetasi akibat air yang tercemar. Oleh karena itu, pemantauan kondisi vegetasi di wilayah pesisir Kabupaten Pangandaran di salah satu Kawasan nusawiru misalnya menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Nusawiru merupakan Kawasan bandara dan dermaga yang merupakan banyak aktivitas transportasi di kawasan pesisir laut serta muara sungai yang dapat berpotensi menimbulkan pencemaran.
Pengambilan data mengenai vegetasi dan sanitasi di pesisir pantai sangat penting untuk dapat memahami kondisi aktual dan ideal dari ekosistem laut di wilayah pesisir tersebut. Sanitasi yang baik dapat membantu mempertahankan keseimbangan ekosistem laut, termasuk vegetasi di sekitar lingkungan agar dapat terus memperoleh banyak manfaat dari kelestarian pesisir pantai.
Pengambilan data mengenai vegetasi dan sanitasi di pesisir pantai sangat penting untuk dapat memahami kondisi aktual dan ideal dari ekosistem laut di wilayah pesisir. Sanitasi yang baik dapat membantu mempertahankan keseimbangan ekosistem laut, termasuk vegetasi di sekitar lingkungan. Dengan demikian, manusia dapat terus memperoleh banyak manfaat dari kelestarian pesisir pantai.
Keadaan aktual dari vegetasi di pesisir pantai menurut pengamat cukup memprihatinkan dimana terdapat cukup banyak sampah organik dan anorganik. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pembangunan pantai, pembuangan limbah, dan penangkapan ikan yang berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan dari ekosistem laut yang kemudian berdampak negatif terhadap kehidupan laut dan manusia di wilayah pesisir. Keadaan ideal dari vegetasi dan sanitasi di pesisir pantai adalah ketika ekosistem laut di pesisir pantai menggunakan vegetasi pesisir sebagai habitat dan memberikan keanekaragaman spesies di tempat tersebut.
Penentuan lokasi vegetasi pesisir dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik dan jenis vegetasi yang akan diteliti. Lokasi penelitian harus memiliki vegetasi pesisir yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pada percobaan ini, lokasi penelitian berada pada daerah pesisir pantai Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.
Pengambilan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Pengamatan dimulai dari 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat dengan mengukur nilai kerapatan, frekuensi, dan dominasi. Pembuatan blok/jalur dilakukan dengan ukuran 10x10 meter dengan arah tegak lurus tepi laut. Blok/jalur tersebut dibagi menjadi enam petak, dimana tiap petak dibuat sub petak dengan ukuran:
Identifikasi jenis vegetasi dilakukan dengan menggunakan buku kunci determinasi tumbuhan. Identifikasi dilakukan dengan melihat bentuk daun, buah, dan bunga. Pengukuran diameter batang juga diperlukan untuk kategori dalam tingkat semai, pancang/belta, dan pohon. Setelah mengidentifikasi, dihitung jumlah individu di tiap blok/jalur. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk memperoleh gambaran kondisi vegetasi pada petak-petak penelitian. metode statistik digunakan untuk memperoleh informasi tentang kondisi vegetasi pada lokasi Nusawiru.
Berdasarkan hasil pengolahan data vegetasi pesisir, diperoleh nilai KR(i) sebagai kerapatan relatif jenis, DR(i) sebagai dominasi relatif jenis, FR(i) sebagai frekuensi relatif jenis, dan INP(i) sebagai indeks nilai penting. Dari nilai-nilai tersebut akan digunakan dalam menghitung indeks keragaman umum Shannon-Weaver yang berguna sebagai tolak ukur indeks keragaman dan ditulis sebagai H. Sehingga, berdasarkan hasil perhitungan secara menyeluruh diperoleh nilai H sebesar 1,935 untuk. Nilai H dengan rentang 1,0 - 3,322 menunjukan bahwa daerah tempat hdilakukannya sampling vegetasi merupakan daerah dengan keanekaragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang dan tekanan ekologis sedang.
Jika dibandingkan dengan keadaan pesisir pantai lain berdasarkan literatur, dapat diketahui bahwa vegetasi umum yang terdapat pada pesisir daerah pantai adalah mangrove. Data pada pesisir Pantai Kepulauan Karimunjawa diketahui terdapat 7 spesies mangrove dalam 3 famili (Ulyah et al., 2022). Berdasarkan literatur milik Adnan dan Purnomo tahun 2023, pada daerah hutan Pantai Pangandaran pada Cagar Alam Pananjung diketahui bahwa Barringtonia asiatica mendominasi daerah hutan pantai pada tingkat pohon dengan INP sebesar 78,57% (Adnan & Purnomo, 2023). Kondisi pada setiap daerah memiliki perbedaan dalam berbagai aspek salah satunya jenis tanah sehingga dapat mempengaruhi jenis vegetasi yang tumbuh di daerah tersebut.
Berdasarkan pada pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh nilai DR(i) yang bervariasi. Nilai DR(i) merupakan tolak ukur dalam menentukan jenis tanaman yang paling dominan pada area sampling. Untuk Persebaran Vegetasi pada Pesisir Pantai Nusawiru Kabupaten Pangandaran diperoleh nilai DR(i) yang paling tinggi pada tanaman jenis picea, sehingga tanaman jenis ini merupakan yang paling dominan keberadaannya dalam wilayah sampling yang dilakukan. Tanaman dengan jenis picea memiliki beberapa manfaat bagi pesisir pantai diantaranya sebagai pengendalian erosi tanah, habitat bagi satwa liar, manfaat ekonomi bagi masyarakat pesisir, penyerapan karbon untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan sebagai tempat wisata karena pohonnya yang rindang.
Pemilihan lokasi untuk sanitasi pesisir dilakukan dengan mempertimbangkan daerah pesisir yang dekat dengan kawasan pemukiman karena daerah pesisir seperti ini akan menjadi gambaran aktivitas manusia yang tinggal di daerah pesisir dengan kondisi lingkungan pesisir.
Daerah pengambilan data dilakukan dengan membentuk transek dengan ukuran 5m x 5m ke arah darat dan laut yang didalamnya terdiri dari transek kecil yang berukuran 1m x 1m, sehingga totalnya berjumlah 25 transek kecil. Teknik pengambilan data dengan cara mengambil dan mencatat sampah berdasarkan jenis yang sama pada lima transek kecil secara acak kemudian sampah ditimbang beratnya berdasarkan jenisnya yaitu plastik, logam, tekstil, kertas, logam, kaca, karet, B3, dan sampah lain.
Sampah yang dianalisis merupakan sampah yang berukuran > 2,5 cm dan dikumpulkan dalam kantong plastik. Analisis data dilakukan dengan metode statistik. Data jenis sampah yang terberat dari hasil pemungutan sampah di dalam transek digunakan untuk analisis kondisi sanitasi dan lingkungan dari daerah pantai tersebut terkait jumlah dan berat dari sampah.
Kondisi sanitasi perairan pesisir Nusawiru juga mengkhawatirkan. Jumlah sampah yang ditemukan bervariasi. Terdapat pula beberapa jenis sampah lainnya yang terlihat seperti sampah logam, sampah limbah B3 dan sampah karet. Sampah plastik meliputi tutup botol plastik, kemasan gelas plastik, alat makan plastik, dan jenis plastik lainnya. Sampah logam meliputi potongan besi dan sampah limbah B3 meliputi sarung tangan medis dan korek api/lighter. Berdasarkan jenis sampah tersebut, dapat dilihat bahwa kebanyakan sampah berasal dari aktivitas masyarakat setempat maupun pengunjung, dan juga mungkin merupakan sampah yang terbawa arus dari tempat lain.
Kehadiran sampah plastik yang dominan ini cukup mengkhawatirkan karena ditemukan di banyak titik pada pesisir pantai. Selain karena membutuhkan waktu yang lama untuk terurai, sampah plastik yang terbawa arus juga dapat menjadi partikel mikro dan nano yang rentan dikonsumsi oleh organisme di laut dan menyebabkan kematian organisme tersebut. Hal ini dapat mengancam bahkan merusak ekosistem laut (Suryono, 2019). Penelitian World Wild Fund (WWF) menunjukkan sebanyak 25% spesies ikan laut mengandung bahan mikroplastik di dalam tubuhnya (Sukarna, 2022). Kehadiran sampah B3 juga perlu diwaspadai, walaupun dalam penelitian ini hanya sedikit ditemukan. Jika terbawa ke perairan, dapat terjadi pencemaran dan memusnahkan makhluk hidup di dalamnya karena sifatnya yang toksik. Selain itu, sampah B3 juga memiliki dampak negatif terhadap lingkungan pesisir. Jika terserap tanah maka akan mengkontaminasi kandungan dalam tanah sehingga vegetasi di pesisir terganggu. Penelitian terkait sanitasi pesisir di daerah Pantai Pangandaran juga pernah dilakukan oleh Ashuri dan Kusiasih (2019). Pada penelitian tersebut, diuraikan bahwa sampah plastik mendominasi daerah Pantai Pangandaran sejumlah 23,90% untuk plastik daur ulang dan 4,42% untuk plastik residu . Sampah tersebut sampai ke pantai karena terbawa oleh ombak laut. Masalah sanitasi pesisir dapat menyebabkan penurunan produktivitas ekosistem pesisir yang akan menghambat kegiatan perikanan dan aktivitas manusia. Sanitasi pesisir berpengaruh terhadap kesehatan pesisir sehingga harus diperhatikan dan dijaga baik karena dapat mempengaruhi kualitas air laut dan kehidupan organisme di dalamnya. Masalah sanitasi pesisir perlu mendapatkan perhatian lebih terutama dari masyarakat sekitar. Tidak jauh dari area tempat pengambilan sampel terdapat banyak tambak warga. Oleh karena itu, penanggulangan masalah sampah perlu dilakukan segera agar tidak mempengaruhi tumbuh kembang dan kualitas ikan yang dibesarkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi jumlah sampah di daerah pesisir dapat dilakukan dengan melakukan aksi pemungutan sampah bersama-sama. Meskipun begitu, cara ini tidak dapat menanggulangi kemungkinan adanya sampah susulan di waktu mendatang. Aksi ini sebaiknya juga didukung oleh sosialisasi kepada masyarakat di sekitar pesisir sungai mengenai pengelolaan sampah rumah tangga. Hal ini mengingat bahwa sampah yang terdapat pada area pengambilan sampel merupakan sampah rumah tangga yang kemungkinan besar terbawa oleh aliran air sungai. Penelitian yang dilakukan oleh Marojahan (2015) menunjukkan adanya korelasi antara pengetahuan masyarakat mengenai sampah dengan perilaku mengelola sampah. Pengetahuan masyarakat mengenai sampah yang baik menunjukkan adanya pengelolaan sampah yang baik pula. Pengelolaan sampah pada daerah pesisir sungai yang baik diharapkan dapat mengurangi jumlah sampah yang terbawa melalui aliran sungai menuju laut. Berdasarkan data yang diperoleh, tingginya sampah masih banyak dijumpai di pesisir pantai. Sampah yang paling banyak dijumpai adalah sampah plastik. Tidak sedikit sampah plastik yang berada di pesisir pantai berasal dari laut. Banyaknya sampah di pesisir ini sudah menyita perhatian pemerintah. Beragam upaya dilakukan oleh pemerintah selama beberapa tahun terakhir untuk mengurangi sampah plastik di perairan
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi limbah dengan Reduce, Reuse, dan Recycle. Komitmen tersebut diwujudkan dengan menggemborkan kampanye untuk menggunakan kantong belanja, membawa botol minum sendiri, dan menghindari alat makan yang hanya sekali pakai. Selain itu, gerakan nasional peduli sampah di laut juga dilakukan pemerintah kepada para pelajar, mahasiswa, dan pendidik agar selalu menjaga kebersihan laut dan sekitarnya. Beberapa wilayah di Indonesia tepatnya di Kabupaten Ponorogo, Bandung, Cimahi, Malang, Kabupaten Takalar, dan Kabupaten Manggarai Barat diadakan pelatihan oleh pemerintah untuk pemilahan dan pemanfaatan sampah plastik. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) mengadakan pengendalian sampah di sektor industri. Solusi yang diberikan oleh pemerintah dapat diterapkan juga di wilayah Pangandaran untuk menjaga laut dan pesisir pantai.
Kemudian terdapat metode lain yakni Floating Treatment Wetlands (FTW), yang mana FTW merupakan salah satu dari teknologi bioremediasi. FTW memanfaatkan dan menggunakan tanaman untuk membersihkan dan mendegradasi polutan yang ada di air dan tanah, seperti nutrien, pestisida, bahan organik terlarut, dan logam berat maupun unsur-unsur seperti nitrogen dan fosfat. Tanaman yang dimanfaatkan haruslah memiliki kemampuan untuk menyerap nutrisi dan polutan dari air dan tanah agar dapat mengolahnya menjadi zat yang lebih aman atau bahkan menghancurkannya sepenuhnya. Meningkatkan kualitas air dan menumbuhkan keanekaragaman hayati pada lingkungan juga merupakan peran dari FTW (Indriatmoko & Prahoro, 2016). Meskipun metode ini dapat menjadi salah satu solusi, tetapi perlu diperhatikan jenis tanaman dengan kecocokannya terhadap cuaca, serta ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman. Selain kedua metode tersebut, dapat digunakan metode remediasi elektrokinetik dalam pengolahan tanah terkontaminasi dengan penyesuaian pH analit. Seperti yang sudah diketahui, pH memiliki dampak yang kuat terhadap pengembangan proses fisiokimia, seperti pengendapan, pelarutan, adsorpsi, desorpsi, dan pertukaran ion (Vizcaíno dkk, 2018). Prinsip dari metode ini adalah dengan memanfaatkan arus listrik yang diberikan pada tanah atau air tanah yang terkontaminasi. Metode remediasi elektrokinetik telah terbukti efektif dalam mendegradasi sejumlah polutan, seperti logam berat, senyawa organik, dan bahan kimia anorganik. Hal ini dikarenakan arus listrik yang dilewatkan akan menyebabkan perpindahan ion-ion bermuatan dan molekul terlarut dari tanah ke arah elektroda yang berlawanan di mana akan membawa polutan yang terkandung dalam tanah atau air tanah yang tercemar. Kemudian, polutan tersebut akan diendapkan pada elektroda dan diangkat dari tanah atau air tanah. Terlepas dari beberapa keuntungannya, metode ini juga memiliki kelemahan seperti mahalnya biaya yang dibutuhkan dan juga membutuhkan waktu yang cukup lama agar polutan tersebut dapat hilang
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di pesisir Pantai Tanjung Cemara dan Nusawiru, terdapat masalah sanitasi yang didominasi oleh kategori sampah plastik sekali pakai diikuti sampah daur ulang,sampah logam, sampah limbah B3 dan sampah karet. Dalam setiap 5x5 m luas area pantai, ditemukan rata-rata 65 buah sampah plastik sekali pakai. Masalah sanitasi ini terjadi karena adanya aktivitas pengunjung dan masyarakat setempat, serta sampah yang terbawa oleh gelombang laut. Solusi permasalahan sanitasi yang dapat dilakukan yaitu mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, Floating Treatment Wetlands (FTW), bioremediasi dengan mikroorganisme dan remediasi elektrokinetik.
Solusi lain yang dapat dilakukan sebagai mahasiswa Kimia salah satunya adalah dengan menggunakan proses bioremediasi, yaitu penggunaan mikroorganisme untuk mendegradasi polutan di lingkungan. Bioremediasi dapat dipercepat menggunakan pupuk untuk menumbuhkan mikroba yang akan mendekontaminasi lingkungan (Rosa & Triguis, 2007). Pada prosesnya, organisme hidup dimanfaatkan sebagai pemecah molekul polutan menjadi senyawa yang lebih sederhana dan aman. Apabila dibandingkan dengan metode lainnya seperti pembakaran atau dengan menggunakan bahan kimia, proses bioremediasi memiliki beberapa keuntungan, yaitu di antaranya lebih ekonomis, lebih ramah lingkungan, dan fleksibel sehingga dapat diterapkan pada berbagai jenis polutan.