Pandemi Covid-19 telah mengubah segala tatanan kehidupan manusia, tak terkecuali dunia pendidikan. Sistem pembelajaran tatap muka berganti dengan dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) melalui jaringan digital. Namun, tidak pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan, karena tidak semua daerah di Indonesia bisa menjangkau sinyal telekomunikasi, terutama daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Muncul kemudian berbagai cerita mengenai siswa yang harus naik ke atas bukit di belantara atau proses belajar mengajar yang tidak berlangsung sebagaimana mestinya, mengingat area tersebut tidak memungkinkan mengakses konten elektronik atau kelas jarak jauh. Membantu pemerintah dan masyarakat menjawab tantangan tersebut, tim Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Mikroelektronika (PUI PT Mikroelektronika) Institut Teknologi Bandung (ITB) mengembangkan perangkat base transceiver station (BTS) untuk menyediakan koneksi data kecepatan tinggi berbasis teknologi 4G LTE. "Jadi sebenarnya kami sudah hampir 12 tahun mengembangkan teknologi 4G dari tahun 2008. Ketika 4G itu di awal-awal. Ketika negara-negara lain belum memakai teknologi 4G, kami sudah mulai mengembangkannya," ujar Guru Besar ITB Prof. Trio Adiono S.T., M.T., Ph.D di Bandung.
Proyek pembangunan sinyal 4G ini didanai oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kemendikbud dan didukung oleh Kemenristek, Kemenkominfo, dan Kemenko Kemaritiman dan Investasi RI untuk melaksanakan deployment perangkat dan pengembangan industri telekomunikasi.
Menurut Prof. Trio, ada sekitar 9.000-18.000 titik sekolah yang tidak bisa mendapatkan akses internet. Oleh karena itu, pihaknya mencoba terlebih dulu membuat titik di daerah 3T di Maluku dan Nusa Tenggara Timur."Solusi ini harapannya bisa memberikan sinyal internet kepada anak anak sehingga bisa melakukan pembelajaran jarak jauh," ujar Prof. Trio yang pernah menjadi Ketua Pusat Mikroelektronika selama 10 tahun dan Ketua Komisi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Senat Akademik ITB ini.
Prof. Trio mengatakan, proyek mulai dijajaki sejak Agustus 2020, kemudian dilaksanakan bulan September dan dilakukan instalasi pada Desember 2020. Proyek ini melibatkan tim yang besar, dari mulai alumni, mahasiswa, sampai bekerja sama dengan pihak asing. Tim mulai mempelajari algoritmanya dan mengimplementasikan di hardware. "Tingkat komponen dalam negeri (TKDN)-nya kita ukur sekitar 42,5%," katanya.
Prof. Trio menjelaskan, secara fisik pembangunan proyek ini cukup kompleks. Karena pembangunannya di daerah terpencil, tim harus menyediakan semua suplai agar kalau listrik mati, bisa bertahan sampai 6-8 jam untuk tetap memberikan layanan. Pengadaan dan pengiriman logistik ke daerah hanya dapat dilakukan dengan moda transportasi yang sangat terbatas, sedangkan penyediaan alat masih harus dilakukan dari Jakarta, seperti tower dan power supply yang besar.
"Kita baru membangun sedikit, baru 2 tower dan 3 base station. Kebutuhan dari Dikti lebih banyak lagi. Untuk selanjutnya, kami masih menunggu keinginan Dikti. Kemarin mereka menyambut dengan positif, ada ratusan wilayah yang membutuhkan itu," kata Prof. Trio.
Untuk lingkup towering, lingkup area, dan akses siswa yang bisa dengan mudah mengakses, Prof. Trio mengatakan belum bisa mengukur secara langsung, tetapi didesain untuk jarak sekitar 2 km. "Ini tergantung kondisi lapangan. Supaya jangkauan cukup luas kami juga mengembangkan towernya 30 meter. Kami berusaha untuk terus meningkatkan dayanya. Target kami jangkauannya sekitar 2,5 km," katanya.
Tim juga mengembangkan software pengelolaan sinyal digital dan teknologi teknologi tinggi yang sama dengan yang diproduksi negara-negara maju. Uniknya, hal seperti ini dijual oleh perusahaan yang besar sekali, omzetnya mungkin puluhan triliun. "Ini bisa dihasilkan oleh universitas dan menurut saya merupakan sebuah pencapaian. Kemudian kita men-deliver-nya komplet sebagai sebuah sistem, jadi bisa stand alone. Kalau di perusahaan-perusahaan ini dilakukan oleh perusahaan yang berbeda dan dijual oleh perusahaan yang berbeda pula.
BTS-nya siapa, antenanya siapa, power siapa, jadi si perusahaan harus menggabungkan lagi. Kami memang lebih kecil, power lebih rendah, tapi bisa stand alone, tak memerlukan yang lain," katanya.
BTS yang dapat diakses melalui smartphone, tablet, komputer, dan perangkat lainnya ini memakai nama InfiniteBe, yang artiny ITB tanpa batas. Prof. Trio berharap, deng. terealisasinya proyek ini dapat menjadi bukti nyata bahwa bangsa Indonesia dap merancang perangkat dengan teknologi t seperti 4G LTE, sekaligus menjawab kebut masyarakat. Ia juga berharap perangkat in dapat diduplikasi di sekolah-sekolah yang belum memiliki akses seluler dan internet dapat mengembangkan industri elektroni Indonesia.
"Harapan kami sebenarnya produk ini bisa dimanfaatkan di Indonesia, di rural ata urban. Kami mengharapkan produk ini unt bisa masuk ke sana. Terus terang kompetisi ranah ini tinggi karena kami main di teknol tinggi. Kami juga berharap pemerintah memberikan semacam sandboxing. Mengujicobakan perangkat hasil inovasi tanpa harus bersaing, tidak harus apple to apple dengan produk asing. Dengan demiki produk ini bisa mencapai level di produksi massal dan kualitasnya bisa menyamai bahkan mengungguli produk asing," ujarnya. (Deny Willy Junaidy, S.Sn.,MT.,Ph.D., Sekretar Bidang Pengabdian Masyarakat LPPM ITB)*