Rekacipta ITB Edisi 8 Juni 2021 - Media Indonesia

Sukses Konsolidasi Tanah Pascabencana

Tags: ITB SDGsIndustry, Innovation, and Infrastructure, Infrastructural Development

Bencana gempa Lombok pada Juli-Agustus 2018, membawa pekerjaan rumah soal rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah permukiman. Dusun Montong di Kabupaten Lombok Utara merupakan salah satu area yang terdampak bencana. Hampir seluruh bangunan di dusun tersebut mengalami kerusakan, baik dari tingkat kerusakan sedang sampai berat.

Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar korban meninggal akibat tertimpa runtuhan bangunan yang tidak memenuhi standar bangunan tahan gempa. Selain itu, kondisi permukiman yang padat dengan gang yang sempit dan beberapa bagiannya buntu, mengakibatkan sulitnya evakuasi. Hal itu berkontribusi dalam menambah jumlah korban jiwa di Dusun Montong.

Hingga akhir tahun 2019, proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Dusun Montong belum berjalan, terutama disebabkan belum rampungnya administrasi. Hal ini menyedihkan karena bukan saja hampir seluruh masyarakat Dusun Montong masih tinggal di tempat tinggal sementara, melainkan permukiman mereka juga tidak memiliki ketahanan terhadap bencana gempa.

Pada 2019, Pusat Studi Agraria ITB (PSA ITB) Menjalankan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) di Dusun Montong. Kegiatan yang dilaksanakan tim inti yang ter- diri dari Dr rer Pol Rizqi Abdulharis. Dr Alfita Puspa Handayani, Dr Irwan Meilano, dan Ivan Akbar, BSc, MT ini berhasil mendapatkan beberapa penyebab dari belum selesainya administrasi.

Penyebab pertama adalah belum adanya perencanaan penggunaan ruang Dusun Montong yang sesuai dengan karakteristik dusun tersebut, terutama yang telah mempertimbangkan kerawanan terhadap bencana gempa bumi. Penyebab berikutnya ialah belum adanya lembaga yang secara langsung terlibat dalam mendampingi pelaksanaan penyiapan administrasi maupun pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Konsolidasi tanah

Konsolidasi tanah ialah salah satu solusi terbaik untuk penuntasan proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Kegiatan itu dilakukan untuk mengoptimalkan penggu naan tanah dalam hal pemanfaatan, peningkatan produktivitas, dan konservasi lingkungan.

Cara konsolidasi tanah, antara lain dengan penataan, penggeseran, pertukaran, pemecahan, penggabungan, penghapusan, serta pengubahan letak persil tanah yang disempurnakan dengan adanya pembangunan fasilitas umum seperti jalan, ruang terbuka hijau, dan sebagainya.

Dari situ pula suatu wilayah menjadi teratur, lengkap dengan prasarana dan kelengkapan pemenuhan kebutuhan kehidupan dengan tujuan untuk kepentingan pembangunan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pemeliharaan sumber daya alam.

Berbeda dengan pembebasanta nah, konsolidasi tanah lebih mengutamakan optimalisasi kondisi yang sudah ada dengan peran serta masyarakat. Partisipasi aktif masyarakat merupakan kunci keberhasilan karena salah satu bagian terpenting pada proses ini ialah kerelaan masyarakat untuk "menyumbangkan" tanahnya demi fasilitas umum, terutama pembangunan akses jalan utama dan akses jalan evakuasi. Dengan begitu, konsolidasi tanah dijalankan tanpa merugikan pihak mana pun.

Berdasarkan UU 1/2011 tentang Pe rumahan dan Kawasan Permukiman Perumahan, konsolidasi tanah dapat dilaksanakan apabila paling sedikit 60% dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi paling sedikit 60% dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi menyatakan persetujuannya. Kesepakatan paling sedikit 60% tersebut tidak mengu rangi hak masyarakat sebesar 40% untuk mendapatkan aksesibilitas.

Untuk masyarakat yang baru saja mengalami bencana dan kehilangan harta benda, bahkan kehilangan anggota keluarga, kewajiban di atas jelas tidak mudah. Segala sesuatu yang terkait dengan tanah, sering kali menjadi isu yang sensitif dan berisiko konflik. Untuk mengatasi hal tersebut, metode pendekatan etnografi dapat menjadi metode pendekatan yang efektif untuk di gunakan pada kondisi konflik pertanahan pascabencana.

Etnografi

Metode etnografi, berasal dari bahasa Yunani ethnos yang berarti rakyat dan graphia yang berarti tulisan. Etnografi dikenal sebagai bagian dari ilmu sejarah yang mempelajari masyarakat/ kelom pok/ formasi etnik, termasuk etnogenesis yang merupakan proses menciptakan perbedaan-perbedaan sosiokultural, komposisi, perpindahan tempat tinggal, karakteristik kesejahteraan sosial Juga budaya material dan spiritual mereka.

Dalam proses konsolidasi tanah, konstrain yang sangat besar, muncul dari pihak masyarakat yang harus direlokasi dan merasa tidak diperlakukan adil karena harus menyerahkan luasan tanahnya untuk fasilitas umum dan infrastruktur baru penunjang evakuasi. Dalam kondisi inilah pendekatan etnografi dapat berperan besar.

Pendekatan etnografi dilakukan dalam upaya membangun komunikasi efektif dengan seluruh masyarakat menggunakan etnografi komunikasi dan dalam upaya penyusunan desain konsolidasi pertanahan dengan menggunakan pendekatan kearifan lokal dalam pola permukiman tradisional.

Tatanan kehidupan sosial komuni tas di Dusun Montong dan Lombok Utara pada umumnya berada dalam tatanan sosial adat yang terikat pada aturan adat yang dipimpin para pemangku adat, dan dalam lingkup religious keagamaan yang tunduk pada kiai. Kedua pemimpin ini memegang peran yang sangat besar dalam membentuk pola ber pikir dan pengambilan keputusan masyarakat. Agar pesan dan tujuan konsolidasi tanah dapat diterima masyarakat, harus dijalankan kearifan komunikasi sosial yang menggabungkan peran pemangku adat dan kiai.

Dalam etnografi, pola permukiman masyarakat adat di daerah Lombok Utara dipengaruhi oleh bentuk topografi kawasan dan sistem ke kerabatan. Terdapat elemen-elemen dasar pembentuk pola perumahan yang diterapkan masyarakat yaitu adanya Bale atau tempat tinggal utama yang berupa ruang tertutup, Beruzaq atau bangunan berupa gazebo terbuka untuk menerima tamu dan kegiatan adat, dapur, lumbung untuk menyimpan hasil panen yang posisinya terpisah dari bale, dan kandang. Dengan sistem kekerabatan yang kuat, susunan letak rumah dalam satu keluarga terus diturunkan dengan memba ngun rumah baru di lahan yang sama secara terus-menerus.

Elemen material tradisional yang digunakan sebagai bahan dasar rumah adat juga merupakan kekuatan dari kearifan lokal di Lombok Utara. Ketika gempa, rumah-rumah adat yang dibangun dengan kearifan lokal masih tetap berdiri tegak tanpa mengalami kerusakan apa pun. Rumah adat itu dibangun dengan atap jerami, dinding anyaman bambu (bedek), dan lantai dari tanah liat yang dicampur kotoran kerbau atau kuda dan abu Jerami.

Pendekatan etnografi untuk me nyusun rencana konsolidasi tanah pascabencana di Lombok Utara, terbukti berhasil. Komunikasi dapat berjalan lebih efektif ketika jalur komunikasi dilakukan dengan musyawarah yang melibatkan tetua adat dan kiai.

Analisis Informasi Geospasial

Dalam konsolidasi tanah untuk penataan kawasan pascabencana, terdapat dua bagian penting yang harus dipenuhi. Pertama, memas tikan lokasi relokasi untuk daerah khusus yang ada dalam zona bahaya bencana geologis. Kedua, desain pola permukiman masyarakat yang aman dengan kemudahan menuju akses jalan dan tempat berkumpul (muster point).

Setelah mendapatkan data zona bahaya bencana geologis dan data hasil pendekatan etnografi barulah konsolidasi tanah untuk penataan kawasan bencana dapat dilakukan dengan menggunakan analisis informasi geospasial. Dari hasil analisis informasi geospasial, didapatkan hasil bahwa Dusun Montong terletak pada sebuah bukit kecil, dengan seluruh bangunan terletak pada bukit tersebut. Dusun Montong memiliki kepadatan yang sangat tinggi dan dikelilingi lahan pertanian warga.

Warga lebih memilih melaksana kan pembangunan di dalam dusun daripada melaksanakan konversi lahan pertanian karena khawatir kan mengganggu mata pencaharian utama mereka. Sebagian besar ba ngunan di Dusun Montong tidak me miliki ketahanan terhadap bencana gempa bumi. Hal itu mengakibatkan timbulnya korban jiwa akibat runtuhnya bangunan-bangunan tersebut.

Infrastruktur Dusun Montong tidak memadai untuk melaksanakan respons terhadap bencana gempa bumi. Akses di dalam dan ke luar Dusun Montong berupa gang-gang yang memiliki lebar antara 1 sam pai 1,5 meter. Karakteristik gang memilikiibelokan yang patah dan ruas yang pendek karena dibangun mengikuti kondisi eksisting bangunan yang sudah ada.

Bentuk gang itu mengakibatkan terhambatnya evakuasi warga saat kejadian gempa bumi yang berujung pada tambahan korban jiwa. Sebagian besar bidang tanah di Dusun Montong juga tidak memiliki akses langsung ke gang-gang yang melayani akses ke luar dusun tersebut. Akses ke bidang-bidang tanah tersebut hanya dilayani pekarangan tetangga yang sewaktu-waktu dapat ditutup pemiliknya.

Untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat dan mendapatkan desain perencanaan tata ruang yang paling sesuai, desain awal konsoli dasi tanah Dusun Montong disusun dengan memperhatikan faktor faktor struktur ruang permukiman berbasis kearifan lokal, topografi wilayah, dan ketersediaan lokasi evakuasi.

Desain pola perumahan dibuat sesuai dengan nilai budaya masyarakat Lombok Utara yang me miliki pola perumahan berjajar dengan arah atap sejajar jalan. Struktur pola ruang utama tetap disusun berdasarkan kebutuhan pemenuhan ritual keagamaan dan kekeluargaan dengan menempatkan masjid, masyarakat, tokoh agama dan pemangku adat dalarh satu pusat keterdekatan, dan meletakkan Gazebo sebagai tempat berkumpul yang dalam hal ini juga digunakan sebagai tempat kumpul evakuasi ketika terjadi bencana.

Desain konsolidasi tanah Dusun Montong juga memasukkan usulan penggunaan ruang di puncak Bukit Montong sebagai tempat evakuasi, sekaligus dapat dimanfaatkan se bagai ruang kegiatan warga. Akses setiap bidang tanah terhadap jalan, sebagai salah satu bagian krusial dalam proses konsolidasi tanah te lah mampu memberikan akses ke jalan untuk setiap bidang tanah di dusun tersebut.

Usulan perubahan konstruksi gang juga dilaksanakan dalam rang ka mempermudah evakuasi dalam keadaan gawat darurat. Tahapan ini dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2020.

Pada akhirnya, konsolidasi tanah memang dapat menjadi proses yang panjang dan sulit bagi pihak-pihak yang terlibat. Sebab itulah, budaya, kepercayaan, dan kearifan lokal memiliki i peran yang sangat penting untuk menjembatani jurang yang tercipta antara usaha pemerintah dengan harapan masyarakat. Ke mampuan mengimplementasikan pendekatan etnografi ke dalam akuisisi data geospasial akan meng hasilkan suatu model konsolidasi tanah pasca bencana yang terbukti meminimalisasi munculnya konflik di lapangan. (M-1)

1300

views