Batok Kelapa, Energi Alternatif dan Pengawet Alami
Tags: ITB SDGs, Affordable and Clean Energy, Energy Efficiency, Clean Energy Technology
Keberadaan bahan bakar sebagai energi merupakan hal vital bagi masyarakat di setiap daerah. Namun, kondisi geografis Indonesia dengan begitu banyak pulau yang tersebar membuat distribusi bahan bakar minyak -yang paling banyak dikonsumsi publik dewasa ini bukan hal mudah. Kondisinya bahkan relatif cukup sulit untuk daerah-daerah tertinggal, terpencil, dan terluar (3T). Di sana, bahan bakar bukan saja terbatas, harganya pun terbilang lebih mahal karena proses distribusi. Lantaran dua faktor itu, banyak warga pulau pada umumnya memakai kayu sebagai bahan bakar untuk keperluan memasak.
Kayu memang lebih mudah untuk didapat dan digunakan. Namun, beberapa tahun belakangan, tekanan terhadap hutan sangat berat. Persediaan kayu sebagai bahan bakar berangsur berkurang. Oleh karena itu, masyarakat perlu sumber bahan bakar alternatif pengganti kayu.
Cara pemanfaatan limbah tersebut lah yang kemudian disosialisasikan Tim Pengabdian kepada Masyarakat ITB kepada warga Desa Kote, Kecamatan Singkep Pesisir, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Forum dihelat pada Sabtu, 3 Oktober 2020, dalam bentuk workshop Pembuatan riket Kelapa dan Pengawet Asap Cair. Tim ini di gawangi Dr Susanna, MT, dan Faizal Ade R Abdullah, MSi, dari Kelompok Keahlian Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB.
Pulau Singkep memiliki garis pantai cukup panjang. Sebagian besar pantainya, termasuk di wilayah Desa Kote, memiliki banyak pohon kelapa. Umum nya, warga sebatas mengambil isi buah kelapa, sedangkan batok/tempurungnya diabaikan, menjadi sampah.
Selain masalah limbah kelapa, lokasi pulau yang cukup jauh dari ibu kota provinsi membuat suplai bahan bakar minyak atau gas untuk keperluan memasak sulit didapat. Jika ada, harganya lebih mahal daripada harga di Ibu Kota.
Dengan kondisi-kondisi itu, peman faatan limbah tempurung kelapa sebagai bahan bakar alternatif dapat menjadi solusi bagi warga pulau. Ada sejumlah keunggulan dari briket yang berasal dari tempurung kelapa, seperti lebih ekonomis, menghasilkan panas yang tinggi, tidak berisiko meledak, juga tidak bising.
Limbah tempurung kelapa juga punya faedah lain bagi masyarakat Desa Kote yang umumnya berprofesi sebagai nelayan. Di sana, nelayan dapat menangkap ikan berlimpah. Namun, karena hasil tangkapan ikan mereka langsung untuk dijual ke luar pulau, para nelayan tidak dapat menikmati harga yang kompetitif.
Untuk itu, diperlukan teknik pengelolaan hasil tangkapan ikan mentah menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi lebih. Salah satu caranya bisa dilakukan dengan pengawetan ikan menggunakan asap cair dari tempurung kelapa. Pengawetan ini bersifat alami sehingga tidak akan membahayakan kesehatan.
Pakai barang bekas
Dalam membuat briket dan asap cair, masyarakat dapat memanfaatkan barang bekas seperti drum, yang dibentuk menyerupai dua chamber dengan pipa sebagai penghubung (Gambar 2).
Chamber pertama merupakan ruang pembakaran limbah batok kelapa, yang nantinya juga akan menghasilkan asap pekat. Bubuk hasil dari pembakaran ba tok kelapa ini akan direkatkan dengan tepung sagu untuk kemudian dicetak menjadi briket. Dalam proses ini harus dipastikan agar tempurung kelapa dalam kondisi bersih, tidak busuk, atau tidak dalam kondisi rusak.
Hasil pembakaran biasanya berkisar satu banding lima. Artinya, pembakaran kurang lebih 5 kilogram tempurung kelapa bisa menghasilkan 1 kilogram briket. Dengan briket tersebut, warga tidak perlu lagi mencari atau bahkan menebangi pohon untuk mendapatkan kayu bakar.
Sementara itu, melalui proses destilasi pada pipa penghubung dan chamber kedua, asap pekat hasil pembakaran batok kelapa dapat dimanfaatkan untuk membuat asap cair. Asap cair ini mengandung fenol dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan antioksidan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet makanan dan pestisida alami. Adapun manfaat dari asap cair tergantung pada grade-nya.
Briket telah banyak digunakan karena tidak menghasilkan polusi.
Antusias
Program pengabdian masyarakat di Pulau Singkep ini sebenarnya sudah berjalan sejak awal 2020. Namun, karena adanya pandemi, pendampingan di lapangan baru dapat dilakukan mulai Oktober hingga akhir 2020.
Dalam workshop tersebut, paling tidak ada 50 peserta dari berbagai latar belakang. Mulai Kepala Desa Kote, para tokoh dan perwakilan masyarakat, karang taruna, nelayan, serta guru guru sekolah di Desa Kote.
Dari pantauan tim, warga Desa Kote sangat antusias menyaksikan demonstrasi pengolahan limbah tempurung kelapa yang dilakukan. Setelah menyimak workshop, warga kini dapat berlatih atau bahkan memproduksi secara mandiri dengan adanya seperangkat alat pembuat briket yang telah dihibahkan tim ITB.
Di samping faedahnya, warga juga berupaya mencari tahu nilai ekonomi dari briket kelapa yang diyakini tim cukup tinggi. Hal itu lantaran di sejum lah negara maju, briket telah banyak digunakan karena tidak menghasilkan polusi. Tentunya, diperlukan pengelolaan dan pendampingan secara lebih komprehensif agar warga pulau bisa mengelola potensi tersebut menjadi sumber perekonomian baru, melalui ekspor misalnya.
Dengan begitu, yang terpenting saat ini ialah membiasakan masyarakat dengan teknologi pengolahannya terlebih dulu. Setelah kebiasaan itu terbentuk, briket kelak bisa jadi salah satu alternatif bahan bakar ramah lingkungan, khususnya di wilayah pesisir. Ditambah dengan sifatnya yang ekonomis, briket dapat mendukung pencapaian konsep berkelanjutan sekaligus peningkatan kesejahteraan warga. (Pro/M-2)