Saat ini, terminologi GPS atau Global Positioning System sebagai sistem penentuan posisi berbasis satelit sering terdengar dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan di era 90an dan awal 2000an, GPS masih terdengar cukup jarang dan hanya terdengar di bidang-bidang tertentu saja seperti di bidang survei dan pemetaan di perusahaan swasta, instansi pemerintahan, dan pendidikan. Saat ini GPS sudah ada di berbagai media, seperti: di gawai, jam tangan, mobil, alat berat, pesawat, alat dalam bidang olahraga, dan lain-lain. Menarik untuk dicermati pasar dan penggunaan teknologi GPS di dunia dan di Indonesia, termasuk kontribusinya dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Suistanable Development Goals/SDGs).
GPS merupakan sistem penentuan posisi berbasis satelit yang dapat digunakan secara kontinyu oleh semua orang dalam waktu bersamaan, tidak tergantung kepada cuaca, dan dapat diperoleh secara gratis. GPS milik Amerika merupakan sistem penentuan posisi berbasis satelit yang sudah mulai digunakan sejak tahun 1978. Seiring berjalannya waktu, teknologi penentuan posisi berbasiskan satelit mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Terdapat berbagai satelit lain yang menyediakan jasa navigasi untuk keperluan penentuan posisi baik yang sifatnya global maupun regional. GPS merupakan satelit navigasi pertama yang dikembangkan oleh Amerika Serikat yang umum digunakan di seluruh dunia. Terdapat 32 satelit yang tersebar dalam enam bidang orbit yang dapat diamati dimana pun dan kapan pun (gps.gov, 2019). Menyusul satelit GPS, GLONASS milik Rusia beroperasi sebanyak 24 satelit yang juga dapat diamati kapan pun dan dimanapun. Galileo merupakan sistem ketiga yang dikembangkan Eropa untuk menyediakan jasa penentuan posisi yang presisi dan akurat. Terdapat 30 satelit Galileo yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi. Satelit ini sudah beroperasi penuh sejak tahun 2020. Sementara untuk Beidou, satelit yang dikembangkan oleh China ini terdiri dari 35 satelit dan memiliki konstelasi yang unik jika dibandingkan dengan satelit navigasi lainnya. Saat ini sudah mulai beroperasi pula sistem yang bersifat regional yaitu Quasi Zenith Satellite System (QZSS) milik Jepang sebanyak 4 satelit dan Indian Regional Navigation Satellite System (IRNSS) atau dikenal pula dengan Navic milik India sebanyak 7 satelit. Selain itu ada satelit yang tergabung dalam Satellite-Based Augmentation Systems (SBAS), seperti: WAAS (USA), EGNOS (EU), MSAS (Japan), GAGAN (India), SDCM (Russian Federation) dan SNAS (PRC). Dengan banyaknya satelit yang beroperasi maka terminologi penentuan posisi berbasis satelit berubah menjadi lebih global dan dikenal dengan Global Navigation Satellite System (GNSS).
Saat ini sudah banyak tipe receiver GPS/GNSS yang ada di pasaran dari yang termurah tipe navigasi, tipe pemetaan single frequency L1, sampai yang termahal yakni tipe geodetik/double frequency L1/L2. Gelombang L1/L2 merupakan gelombang mikro yang membawa informasi data kode dan orbit satelit (navigation message) dari satelit ke receiver yang nantinya digunakan untuk menghitung koordinat titik di permukaan bumi. Ketelitian yang bisa dihasilkan dari sistem GPS/GNSS mempunyai spektrum yang luas dari fraksi meter sampai milimeter. Ketelitian yang dihasilkan sangat bergantung terutama pada tipe receiver dan metode penentuan posisi yang digunakan. Ada beberapa metode penentuan posisi dengan GPS/GNSS yang dikenal saat ini seperti metode absolut, statik differensial, Real Time Kinematic (RTK), Precise Point Positioning (PPP), Real-Time Precise Point Positiong (RTPPP), dan Post Processing Kinematic (PPK). Satu hal yang menarik diamati adalah bahwa kecenderungan sistem GPS/GNSS ini adalah semakin teliti, semakin cepat, semakin mudah digunakan, dan juga relatif semakin murah.
Dalam kaitannya dengan pencapaian 17 SDGs, secara umum teknologi GPS/GNSS berkontribusi untuk memberikan informasi secara teliti dan real-time data-data pengamatan bumi dan informasi geospasial yang akan bermanfaat dalam pemantauan dan pencapaian target dan indikator SDGs. Peningkatan populasi manusia yang semakin meningkat dan banyaknya bencana alam yang terjadi menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pembangunan yang berkelanjutan. Kedua faktor tersebut membutuhkan data pengamatan bumi untuk melihat bentuk dan ukuran bumi serta perubahannya secara teliti dan real-time. Teknologi GPS/GNSS merupakan salah satu teknologi yang banyak berperan selain teknologi geodesi satelit lainnya. Berikutnya akan dijelaskan secara lebih detil pengembangan receiver GPS berbiaya rendah untuk pemantauan bahaya penurunan muka tanah yang dilakukan oleh Kelompok Keilmuan (KK) Geodesi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pengembangan Receiver GPS Berbiaya Rendah Untuk Pemantauan Penurunan Muka Tanah
Penurunan muka tanah merupakan fenomena pergerakan tanah yang didasarkan atas suatu datum tertentu dengan berbagai variabel penyebab. Beberapa kota besar telah mengalami penurunan muka tanah yang cukup besar seperti Jakarta, Semarang, Bandung, dan beberapa kota sepanjang Pantai Utara Jawa. Penurunan muka tanah di Indonesia diduga terjadi akibat eksploitasi berlebihan pada penggunaan air tanah, kompaksi alamiah, beban bangunan, dan juga tektonik. KK Geodesi ITB sudah sejak tahun 1997 melakukan pemantauan penurunan muka tanah di beberapa kota besar di Indonesia dengan Teknologi GPS. Penelitian pembuatan purwarupa GPS berbiaya rendah sudah dimulai sejak tahun 2017.
Receiver GPS yang digunakan pada penelitian ini merupakan salah satu modul GPS OEM (Original equipment manufacturer) yang berasal dari U-Blox. OEM merupakan sebuah barang atau produk dari perusahaan yang kemudian dijual kembali oleh oleh perusahaan lain menggunakan nama atau brand sendiri. Modul GPS OEM merupakan GPS dengan single frekuensi L1 yang mampu menangkap sinyal GPS 1575,42 MHz. Modul GPS tersebut dapat digunakan untuk keperluan pengukuran untuk penentuan posisi secara absolut maupun differensial.
Dalam menjalankan kinerja dari receiver, dibutuhkan mikrokontroler Arduino. Mikrokontroler ini berfungsi mengatur kinerja dari receiver seperti, menyimpan data pengamatan ke dalam kartu memori, melakukan pemotongan data pengamatan dan lain – lain.
Chip yang digunakan dalam modul GPS ini adalah chip buatan Ublox dengan seri NEOM8T0. Antena yang digunakan memiliki frekuensi 1575,42 MHz berfungsi dengan daya 3-5V dengan arus DC. Antena tersebut memiliki nilai low noise amplifier (LNA) sebesar 28dB. Penelitian GPS berbiaya rendah ini menggunakan microstrip antenna. Biaya yang digunakan untuk membuat purwarupa ini adalah sekitar 5 juta. Receiver dan antenna berbiaya rendah dapat dilihat pada Gambar 1.
Untuk pemantauan penurunan muka tanah, titik referensi (yang diangap stabil) yang digunakan adalah stasiun Continuosly Operating Reference Station (CORS) GPS milik Badan Informasi Geospasial (BIG) Pengukuran dilakukan dengan metode statik differensial menggunakan skema jaring.
Ujicoba dilakukan di titik pengamatan GPS yang ditempatkan di lokasi yang mengalami penurunan cukup besar berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Jumlah titik pengamatan sebanyak 5 stasiun meliputi titik TK01, TK02, TK03, TK04, dan TK05. Titik-titik pengamatan tersebut dipasang pada rumah – rumah karena terkait keamanan alat, kebutuhan daya listrik untuk menyalakan modul GPS, dan pemasangan antena yang membutuhkan area terbuka dan memiliki obstruksi minimum sehingga data pengamatan yang dihasilkan akan maksimal terhindar dari kesalahan multipath.
Pada periode Maret – Desember 2021, stasiun pengamatan di titik TK01, TK02, TK03, TK04), dan TK05 mengalami penurunan muka tanah yang cukup besar. Nilai laju penurunan muka tanah di stasiun pengamatan beserta ketelitiannya adalah sebagai berikut: TK01 sebesar -14.6 cm/tahun ±0.32 cm/tahun, TK02 sebesar -15.4 cm/ tahun ±1.29 cm/tahun, TK03 sebesar -11.3 cm/tahun ±0.5 cm/tahun, TK04 sebesar -11.7 cm/tahun ±0.97 cm/tahun, dan TK05 sebesar -9.2 cm/tahun ±0.88 cm/tahun. Grafik penurunan untuk beberapa titik pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2. Perbedaan hasil GPS ini dengan teknologi pemantauan menggunakan metode Interferomentry Syntetic Aperture Radar (InSAR) berkisar antara 0.5 – 1.6 cm. Keterbatasan dari purwa rupa GPS berbiaya rendah ini adalah jarak yang terbatas antara titik stasiun pemantauan dengan titik referensi yang diangap stabil. Hal ini dikarenakan keterbatasan gelombang pembawa yang digunakan hanya L1 dan menggunakan hanya satelit GPS saja. Berdasarkan hasil ini, dapat disimpulkan bahwa pengembangan purwarupa GPS berbiaya rendah dapat mendeteksi penurunan muka tanah di area studi yang mempunyai rata-rata penurunan cukup besar setiap tahunnya. Receiver GPS berbiaya rendah ini dapat diaplikasikan untuk bahaya-bahaya yang lain seperti pergerakan tanah.
Tulisan Pendukung
- Receiver GPS berbiaya rendah (bawah) beserta antenna (atas) untuk pemantauan penurunan muka tanah.
- Grafik penurunan muka tanah di masing-masing stasiun pengamatan. Garis jingga menunjukan tren penurunan muka tanah.