PM ITB dan Unand di Desa Matotonan, Mentawai: Waswas Naik Sampan, Badai Sempat Tunda Kepulangan

KOLABORASI keduanya dimulai sejak 2019 lalu. Waktu itu, pengabdian difokuskan pada melihat potensi keaneka-ragaman hayati. Setelah tertunda setahun akibat merebaknya pandemi Covid-19, tahun lalu kegiatan dilakukan di Desa Mailepet, Kecamatan Siberut Selatan. Di sini, tim memperkenalkan cara pemanfaatan ikan tak bernilai ekonomi menjadi kecap ikan. Termasuk, mengawetkan ikan menjadi ikan budu bernilai ekonomi lebih tinggi.  

Nah, tahun ini tim terdiri dari Prof Dr Tati Suryati Syam-sudin MS DEA (SITH-ITB), Ir Ahim Ruswandi MP (SITH-ITB), Dr Asep Hidayat (SITH-ITB) dan Dr Mairawita (Biologi, FMIPA-Unand) ditambah dua mahasiswa Rahayu dan Nabila (Prodi Rekayasa Perta-nian SITH-ITB), masuk ke daerah pedalaman ke Desa Matotonan. “Untuk mencapai lokasi, kami menempuh perjalanan cukup panjang. Sesampai di Padang via Bandung, kami menginap dulu. Setelah sem-pat berkunjung ke Unand ke-esokan harinya, kami pun bertolak ke Mentawai di hari berikutnya. Butuh waktu tujuh jam sebelum merapat di Dermaga Meillepet, Pulau Siberut. Lalu, berkendara menuju pengina-pan di Muara Siberut,” ujar Prof Tati.

Setelah beristirahat satu malam, rombongan barulah merasakan sensasi perjalanan tak biasa keesokan harinya. Bukan lagi kapal atau perahu, namun menggunakan sampan. Lebih menegangkan lagi, sampannya berukuran kecil selebar satu orang duduk, kapasitasnya 2 orang penumpang per sampan (termasuk bawaan perlengkapan pribadi). Perjalanan ditempuh dalam waktu 2-3 jam dengan kondisi terjemur cukup melelahkan, setiap gerakan tubuh membuat perahu bergoyang tak seimbang.

“Sekitar 20 menit sebelum tiba, cuaca berubah, hujan turun dengan derasnya. Kami tiba di Desa Matotonan dengan kondisi basah. Sore itu, kami menata sekaligus menyiap-kan bahan-bahan untuk dibawa kee-sokan harinya,” kata Prof Tati. Keeso-kan harinya, tim melapor ke kepala desa dan berkoordinasi dengan dengan Lili (penyuluh pertanian). Kegiatan sendiri melibatkan lima dusun masing-masing mengirim lima orang perwakilan.

Pelatihan sendiri memanfaatkan sumberdaya hayati lokal guna menunjang kebutuhan keluarga. Kali ini, tim memilih memberi pencerahan pengelolaan pascapanen ke-adi (umbi talas lokal) berupa pembuatan tepung talas, lewat pemanfaatan teknologi dan fermentasi. Tanaman ini dijadikan konsumsi harian di samping sagu.

“Kedua cara pengolahan ini sangat simpel dan mudah dicoba masyarakat. Di mana, pengeringan talas yang sudah diiris tipis-tipis menggunakan cahaya matahari. Lalu, digiling dan diayak. Kemudian, tepung dikemas dengan kemasan tertutup,” terang Prof Tati lagi. Tim juga menunjukkan cara mengolah resep-resep kue berbahan tepung talas. Di antaranya, membikin kue bolu, donat, bolu lapis, brownies, getuk dan dodol. Sambil menunggu tepung dikeringkan, tambah Ir Ahim, keesokan harinya tim mencontohkan cara menanam bibit-bibit sayuran yang dapat menunjang kebutuhan keluarga.

“Kami menunjukan cara mengolah lahan dan bibit sayuran (kacang panjang, terong, cabai merah, cabai rawit) dan talas yang kami bawa sebagai contoh untuk demo pascapanen. Bibit talas yang kami bawa masa panennya bisa lebih singkat (sekitar 3 bulan) dari talas lokal. Hal ini disambut antusias ibu-ibu PKK setempat,” terang dia. Mujurnya, perjalanan pulang menuju tempat penginapan di Muara Siberut tidak terlalu menegangkan kendati sama-sama menggunakan sampan kecil.

"Perjalanan relatif cepat karena air sungai lagi banjir. Setelah dua jam tiba di Dusun Rokdog, dari sana menuju Desa Muara Siberut via darat. Kami menginap semalam di Muara Siberut dan menunggu kapal untuk kembali ke Padang,” ujarnya.

Namun, keesokannya tim kembali dihadapi kabar tak menggembirakan. Ternyata, kapal cepat tak bisa datang karena cuaca di Padang sangat buruk. Sehingga, kami kembali ke Padang menggunakan kapal ferry yang melaju selama semalam, dan besok paginya tiba di Pantai Bungus,” jelas Ir Ahim.

Untuk memantau perkembangan pengabdian, menurut Ir Ahim, dua mahasiswa yang dilibatkan Rahayu dan Nabila tinggal selama satu bulan di Matotonan. Tiga hari setelah tim sampai di Bandung, pihaknya mendapat informasi bahwa tepung talas sudah siap dan dapat diolah.(***)

768

views