Pesantren sebagai Social Lab untuk Inovasi
Tags: ITB4People, Community Services, Pengabdian Masyarakat, SDGs9
Social lab atau 'laboratorium masyarakat' ialah istilah lazim dalam kegiatan inovasi. Istilah itu mengacu tatkala kondisi ketika suatu inisiasi, bisa dari penelitian atau pengabdian masyarakat universitas, berjumpa dengan kompleksitas permasalahan ketika diujicobakan dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dalam kerangka jejaring inovasi, Yuliar (Transformasi Peneli!ian ke dalam lrwvasi, 2011) menawarkan konsep 'pembentangan ruang pembelajaran' yang menyempurnakan konsep inisiasi-adopsi dalam difusi inovasi dari Rogers (Diffusion of Innovation, 1962). Pada kenyataannya, proses difusi inovasi tidak berlangsung linier. Banyak terjadi variasi lintasan gagasan dan aktivitas. Bahkan, sering hasil inovasi muncul dari proses interaksi antarpelaku yang bisa jadi berubah dari inisiasi awal. Dengan begitu, yang perlu jadi perhatian ialah terjadinya perluasan jejaring inovasi karena adanya pembentangan ruang pembelajaran.
Hal itu antara lain tampak ketika adanya inisiasi inovasi dari universitas yang melibatkan masyarakat pesantren. Misalnya, saat pelaksanaan inisiasi tentang penciptaan pasar tani di perdesaan lewat kegiatan pengabdian masyarakat ITB, pada 2015, dengan melibatkan Pesantren Al Ittifaq di Ciwidey, Jawa Barat. Pesantren ini dikenal sebagai pesantren yang berdakwah lewat pertanian selayaknya 'Tarekat Sayuriyah' (Mansur, Entrepreneur Organik, 2005).
Ide awalnya ialah penciptaan pasar wisata betema penanian dengan menggabungkan kekuatan pesantren dan potensi wisata di Ciwidey. Namun, desain pasar yang dihasilkan belum bisa terlaksana karena kompleksitas permasalahan saat irnplementasi. Kendati begitu, proses interaksi antara tim peneliti dan pesantren mampu menghasilkan pembentangan ruang-ruang pembelajaran yang menghasilkan produk inovasi di luar inisiasi awal. Produk produk tersebut di antaranya desain dan pembangunan minimarket, juga kuliah publik Islam dan perubahan masyarakat, yang menunjukkan terjadinya perluasan jejaring antara tim ITB dan pesantren.
Contoh lain ialah pada Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT) 2018-2019 temang pasar bertema astronomi di kawasan eduwisata lmah Noong, Lembang, Jawa Barat. Ide awalnya ialah menciptakan pasar temperer bertajuk Pasar Purnama yang melibatkan masyarakat sekitar sekaligus memanfaatkan wisatawan yang ingin menyaksikan fenomena astronomi tertentu di kawasan ini. Namun, setelah uji coba pertama, ternyata animo pengunjung untuk membeli dagangan minim. Pasar Purnama versi 1.0 hanya ramai oleh penduduk sekitar.
Kemudian, karena kebetulan pemilik Imah Noong merupakan alumni ITB yang juga alumni Pesantren Tebuireng, jejaring pesantren akhirnya digunakan untuk menarik massa lebih besar. Momentumnya ialah kegiatan tablig akbar yang menyertai event astronomi tertentu. Kombinasi momentum itu akhirnya membuat Pasar Purnama menjadi ramai dan mampu memberikan dampak ekonomi signifikan terhadap masyarakat sekitar walau belakangan belum bisa dilanjutkan karena pandemi.
Modal budaya
Berbagai pengalaman dalam berinteraksi dengan kalangan pesantren mendatangkan temuan bahwa ternyata religiositas bisa menjadi modal budaya dalam pengembangan inovasi. Lewat Seri Kuliah Publik Islam dan Pengembangan Masyarakat oleh Studia Humanik.a Salman ITB 2019,disusun berbagai pengalaman praktis pelaku keagamaan dalam pengembangan masyarakat. Dalam forum tersebut, muncul pertanian terpadu sebagai isu yang mempertemukan religiositas, inovasi, dan pengembangan masyarakat. Forum ini kemudian berlanjut pada berbagai forum yang mempertemukan peneliti dengan mitra pesantren, termasuk forumforum daring yang menjadi intensif pada saat pandemi.
Isu pertanian terpadu lalu mulai dikembangkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat pada 2020. Kegiatan itu melibatkan Badan Wakaf Muhammadiyah Jawa Barat dalam pengembangan fasilitas eduwisata pertanian di kawasan Cisarua, Cimahi. Keterkaitan dengan pesatren ialah adanya seorang santri yang mengembangkan pertanian terpadu dengan dukungan teknologi yang dikembangkan peneliti ITB, yaitu pupuk cair Masaro. Dalam proses pengabdian masyarakatini, temyata teknologi Masaro bisa menyatukan perhatian pada isu penanian terpadu oleh kelompok Muhammadiyah dengan kekuatan wakafnya dan kelompok Nahdlatul Ulama dengan kekuatan pesantrennya.
Berbagai forum daring antara tim peneliti dan pesantren ternyata mendorong aneka kegiatan pengabdian, termasuk di masa pandemi. Misalnya, ketika terjadi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 2020, tim peneliti bisa tetap melaksanakan pengabdian masyarakat lewat koordinasi daring dengan pengelola pesantren di lapangan.
Lewat komunikasi daring, peneliti bisa membanm keterlibatan pesantren, yang pada kasus ini ialah Pesamren Sirojul Huda di Soreang, dalam program Citarum Harum lewat desain kawasan eduwisata perikanan. Pada 2021, pengabdian masyarakat Citarum Harum dikembangkan dengan melibatkan banyak pesantren di Kabupaten Bandung di bawah koordinasi asosiasi pesantren setempat. lsu yang diangkat ialah bagaimana menyinergikan konservasi area sungai dengan pertanian terpadu.
Interaksi mutual
Secara organisasi, aneka proses bottom-up agar pesantren bisa menjadi social lab bagi pengembangan inovasi di ITB kemudian mendapatkan dukungan institusional. Diawali dengan diskusi antara dosen ITB dan ketua PW GP Ansor Jabar, H Deni Ahmad Haidar, tentang potensi sinergi ITB dengan pesantren untuk pengembangan masyarakat. Diskusi dilanjutkan dengan focus group discussion di Imah Noong Lembang sebagai contoh bagaimana teknologi mendorong pengembangan masyarakat-·yang dihadiri sivitas ITB, PW Ansor Jabar, kiai muda se-Bandung Raya, dan perwakilan dari Kodam III Siliwangi sebagai koordinator Citarum Harum.
Dapat disimpulkan bahwa sinergi ITB-pesantren dalam pengembangan masyarakat di sekitar DAS Citarum akan berdampak signifikan untuk kelestarian sungai Citarum. Diskusi akademik kemudian dilanjutkan dengan melibatkan beberapa dosen dari Program Studi Pembangunan ITB, dan di sini dipilih terpadu merupakan teknologi yang paling tepat umuk diujicobakan di pesantren.
Teknologi tersebut kemudian didiseminasikan dalam lokakarya daring Pesantren, Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat kepada 30 kiai muda yang memimpin pesantren di Jawa Barat. Inovasi serupa kemudian dibawa ke tingkat nasional setelah terdapat kesepahaman antara ketua LPPM ITB, Dr Joko Sarwono, dan asosiasi pesantren Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI PBNU), KH Abdul Ghofarrozin. Adapun sinergi ITB sebagai penyedia teknologi dan pesantren-pesantren RMI sebagai social lab diawali dengan lokakarya daring: Karsa Loka Spesial Ramadan dengan tema Pesantren sebagai social lab untuk inovasi berbasis pertanian terpadu.
Dari webinar Karsa Loka yang diselenggarakan pada 7 Mei 2021, ada beberapa catatan yang menjadi pembelajaran dan potensi untuk tindak lanjut. Dalam UU No 18/2019 tentang Pesantren, disebutkan bahwa ruang lingkup fungsi pesantren tidak terbatas pada pendidikan dan dakwah saja, tetapi juga pemberdayaan masyarakat. Menurut data Kementerian Agama RI pada 2020 terdapat setidaknya 26.973 pesanmn di Indonesia. Jawa Barat dengan jumlah pesantren terbesar mencapai lebih dari 8 ribu, disusul Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, Aceh, dan NTB.
Sementara itu, RMI pada minggu penama Mei 2021 melakukan asesmen terhadap lebih dari 130 pesamren dari beberapa provinsi dan kabupaten/kota. Didapat data bahwa pesantren di lingkungan NU selain menyelenggarakan fungsi mama seperti pendidikan dan tahfiz (hafalan Alquran), juga memiliki spesialisasi atau program unggulan di bidang pertanian (45,6%), kewirausahaan (41,9%), peternakan (27,2%), perikanan (23,5%), dan teknologiinformasi (19,9%). Potensi pengembangan dan inovasi pemanfaata n teknologi bagi pesantren juga didukung adanya lahan milik pesantren, baik untuk kegiatan pertanian, peternakan, maupun perikanan, yang mayoritas belum dimanfaatkan maksimal.
Potensi pesantren menjadi peluang bagi ITB untuk menjalankan fungsi penelitian dan pengabdian masyarakatnya. Pesantren yang memiliki modal ekonomi sosial budaya seperti lahan, sumber daya manusia (santri), dan sikap resiliensi terhadap perubahan zaman dan juga modal kapital. Di sisi lain, pesantren akan mendapatkan manfaat yang dapat meningkatkan potensi ekonomi dan kemandiriannya.
Sebagai social lab, ada potensi interaksi mutual antara peneliti ITB dan masyarakat pesamren. Dengan pendekatan jejaring inovasi, peneliti perlu memilih lintasan-lintasan yang bersifat terbuka dan reversible agar responsif terhadap dinamika dan kompleksitas masyarakat pesantren. Bagi masyarakat pesantren, religiositas bisa menjadi modal budaya agar aneka teknologi yang diujicobakan bisa bermanfaat untuk peningkatan kapasitas pesantren secara berkelanjutan. Beberapa semangat inovasi yang berasal dari pesantren, seperti istiqra (riset) untuk sa'adaruddarain (kesejahteraan dunia dan akhirat) (Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, 1994), perlu terus digali demi terwujudnya taswir al afkar (kebangkitan pemikiran) dan nahdat al tujjar (kebangkitan ekonomi) bagi pesantren dan bangsa Indonesia. (M-2)