Perjalanan Panjang Menuju Bali Net Zero Emission 2060

Perjalanan Panjang Menuju Bali Net Zero Emission 2060

Tags: ITB4People, Community Services, SDGs8

Pesona keindahan alam Bali yang tidak terbantahkan lagi merupakan modal utama berkembangnya industri pariwisata di pulau tersebut. Hal ini tercermin dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi Bali dimana industri jasa mendominasi sebesar 70%. Nilai tersebut menyumbang sebesar 1,29% dari PDB Indonesia tahun 2021. Tingginya PDRB di Bali perlu didukung oleh pasokan listrik yang memadai, terutama dalam memenuhi kebutuhan listrik Bali yang relatif tinggi, khususnya di sektor komersial. Pada tahun 2021, tercatat penjualan listrik Bali tertinggi di sektor bisnis dan rumah tangga yang mencapai 88% dari total penjualan listrik 4,7 TWh. Kebutuhan listrik Bali saat ini dipenuhi dari pembangkit listrik off-grid, Independent Power Producer (IPP) yang terhubung dengan jaringan JAMALI (Jawa Madura Bali), dan pasokan listrik dari jaringan JAMALI yang diperoleh dari Jawa melalui kabel bawah laut (sub-sea cable). Pada tahun 2021, produksi listrik mencapai 5,6 TWh dengan 72% disuplai dari pembangkit lokal, dan sisanya 28% diimpor dari jaringan JAMALI melalui kabel laut.

Ketergantungan pada pasokan listrik dari kabel laut akan menempatkan Bali pada posisi dengan tingkat kerentanan yang tinggi, yaitu terputusnya pasokan listrik (black out) apabila terjadi gempa atau bencana alam lainnya. Demi menjaga ketahanan pasokan listrik Bali, Bali harus mandiri dalam menyuplai listrik. Pemerintah Provinsi Bali mempunyai visi untuk mengutamakan pengembangan dan pemanfaatan pembangkit listrik energi terbarukan dan energi bersih (bahan bakar yang lebih sedikit emisi karbon). Penerapan energi terbarukan dan bahan bakar rendah emisi karbon juga dapat dianggap sebagai langkah mitigasi yang dapat dimasukkan dalam komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi GRK seperti yang tertuang dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) 2022 di bawah Perjanjian Paris.

Potensi Energi Terbarukan di Bali

Dalam penyusunan rencana pembangunan energi hijau serta memastikan pertumbuhan ekonomi regional di wilayah Bali maka diperlukan pemetaan potensi energi terbarukan di wilayah tersebut. Beberapa rencana pembangunan ketenagalistrikan nasional dan khususnya di Bali telah dilakukan oleh berbagai pihak, diantaranya dituangkan dalam RUPTL (Rencana Pembangkitan Listrik PLN) 2021-2030, RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) 2019-2038, dan RUED (Rencana Umum Energi Daerah) Bali 2020-2050. Tiap tiap rencana pembangunan tersebut mencakup adanya peningkatan energi terbarukan pada bauran pasokan listrik dalam memenuhi Bali green dan independent. Namun, masih diperlukan analisis pasokan listrik dari pembangkit lokal yang bersumber dari energi terbarukan hingga 2060 untuk menilai apakah Bali dapat mencapai Bali green dan independent terhadap pasokan listrik.

Energi surya merupakan jenis energi terbarukan yang memiliki potensi paling tinggi di Bali, yaitu mencapai 1.254 MW. Pemanfaatan potensi solar PV di atap bangunan komersial berpeluang menjadi salah satu EBT andalan di Bali. Energi angin merupakan potensi terbesar kedua di Bali, mencapai 1.019 MW.

Tantangan dari implementasi Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) ialah karakteristik energi angin yang fluktuatif (bersifat intermittent). Bali memiliki potensi tenaga air termasuk minihidro dan mikrohidro sebesar 639 MW. Pulau Bali dikelilingi oleh laut sehingga terdapat potensi energi arus laut (Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut, PLTAL) sebesar 320 MW yang sangat cocok dikembangkan. Contoh lokasi yang disarankan yaitu di perairan Toyapakeh Nusa Penida dimana kondisi kecepatan arus lautnya 2,5-3,0 m/detik dengan durasi 9-18 jam/hari. Pembangunan dan pengoperasian PLTAL tidak merusak ekosistem di Bali, sehingga Bali tetap dapat mempertahankan karakteristiknya sebagai daerah tujuan wisata yang terkenal dengan keindahan alamnya. Potensi energi panas bumi di wilayah Bali tersebar di 6 lokasi, yaitu Banyuwedang, Seririt Buleleng, Batukaru, Tabanan, Buyan-Bratan Buleleng, dan Kintamani Batur dengan potensi sebesar 262 MW. Pemanfaatan energi panas bumi melalui pembuatan galian ke perut bumi pada kedalaman tertentu hingga tercapai titik panas bumi. Energi panas yang dihasilkan dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin yang kemudian memutar generator. Namun demikian, eksplorasi panas bumi di tanah Bali bersentuhan dengan ranah kearifan lokal dan keagamaan, sehingga diperlukan sosialisasi kepada masyarakat Bali. Potensi pengembangan energi biomassa sangat menarik sebab potensi sumber bahan bakunya yang melimpah. Pengembangan PLT Biomassa dapat ditujukan untuk memenuhi kebutuhan listrik pada wilayah yang belum terjangkau jaringan listrik PLN (off-grid) ataupun sebagai bahan bakar campuran dalam Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU melalui skema co-firing. Potensi biogas di Bali tergolong kecil, yaitu sebesar 44,7 MW. Walaupun demikian biogas dapat diaplikasikan di tingkat rumah tangga sehingga penggunaan LPG berganti ke sumber terbarukan.

Rendahnya Implementasi Pembangkit Listrik Energi Terbaru di Bali

Hingga Juni 2021 tercatat implementasi penggunaan pembangkit listrik energi terbarukan yang sudah dipasang di Bali hanya mencapai 6 MW (sekitar 0,2% dari potensi) yang didominasi oleh pemasangan energi surya hingga 5 MW.

Beragam target penggunaan EBT telah disusun, namun implementasinya tergolong sangat rendah. Di dalam Program Prioritas Bidang Energi Listrik Bali yang tercantum dalam Misi Provinsi Bali, dinyatakan salah satu skema pendanaannya berasal dari APBD Provinsi. Pada anggaran belanja Provinsi Bali tahun 2022, tercatat target belanja Kegiatan Pelaksanaan Konservasi Energi di Wilayah Provinsi dalam Program Pemenuhan Kebutuhan Energi dengan Mengutamakan Peningkatan Energi Baru Terbarukan sebesar 186 juta rupiah, nilai tersebut hanya sebesar 0,003% dari target belanja total APDB Bali 2022 (Perda Provinsi Bali No. 11/201 tentang APBD Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun Anggaran 2022). Rendahnya alokasi pendanaan pembangunan energi berbasis EBT menjadi salah satu penyebab minimnya implementasi pembangunan EBT di Bali, mengingat nilai investasi energi berbasis EBT tergolong lebih mahal dibandingkan energi berbasis fosil.

Ditambah lagi, dengan adanya rencana pensiun dini PLTU Celukan Bawang, dimana apabila rencana tersebut ingin diwujudkan, maka diperlukan skema yang didukung dengan pendanaan yang cukup atas biaya kompensasi asset yang terbengkalai dan juga biaya decommissioning (penutupan) pembangkit tersebut. Selain itu, diperlukan juga rencana pembangunan pembangkit baru agar pasokan listrik tetap aman dan didukung dengan teknologi yang efisien, serta jaringan transmisi yang mumpuni. Agar energi bersih di Bali bisa terwujud, maka diperlukan skema pembiayaan yang mendukung, misalnya dengan mengoptimalkan investasi swasta yang disertai dengan iklim investasi yang sehat dalam pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT.

Mengapa harus ada target menuju energi bersih?

Selama bertahun-tahun, para ilmuwan dunia meyakini dan telah memperingatkan bahwa dampak perubahan iklim itu pasti. Diyakini bahwa akan terjadi bencana iklim jika dunia mengalami peningkatan suhu 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Menurut World Research Institute (WRI), temperatur global sejauh ini telah meningkat sebesar 1,1°C dan dampak perubahan iklim sudah terlihat nyata seperti peningkatan bencana alam seperti banjir, angin topan, dan peristiwa lainnya.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2022 memperingatkan bahwa dunia akan mencapai peningkatan temperatur pada tingkat 1,5°C dalam dua dekade mendatang dan mengatakan bahwa hanya pengurangan emisi karbon yang paling drastis dari sekarang yang akan membantu mencegah bencana lingkungan.

Hasil studi WRI menyebutkan bahwa tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2020 mencapai 47.515 juta ton CO2e, dimana 10 (sepuluh) negara penghasil emisi GRK di dunia berkontribusi terhadap 68,71% emisi GRK global. Posisi Indonesia termasuk ke dalam 8 (delapan) besar dunia dengan kontribusi sebesar 2,03% dari emisi GRK dunia.

Sektor energi termasuk sektor penghasil emisi GRK terbesar di Indonesia, terutama di sub-sektor pembangkit listrik. Dalam rangka mengurangi emisi GRK, salah satu mitigasi yang paling penting dan signifikan perannya yaitu mitigasi di sub-sektor pembangkitan listrik. Tingginya permintaan energi listrik mengakibatkan perlunya pasokan energi yang tinggi pula. Berkaitan dengan tujuan dan kepentingan perubahan iklim, penyediaan pasokan energi serta perencanaan pembangunannya perlu memperhatikan dan mempertimbangkan sumber sumber energi terbarukan maupun energi yang bersifat rendah emisi karbonnya. Melalui perencanaan pembangunan pembangkit listrik dengan porsi energi terbarukan yang semakin tinggi dalam bauran energi, niscaya tujuan mencapai energi bersih dan penurunan emisi GRK akan dapat dicapai.

Perlunya Regulasi untuk Bauran Energi Pembangkit di Bali

Pemenuhan kebutuhan energi di suatu wilayah tidak terlepas dari kondisi sosial-ekonomi wilayah tersebut. Seringkali intensitas energi digunakan sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan suatu wilayah. Di dalam RUED Bali 2020-2050 disebutkan bahwa intensitas pemakaian energi listrik di Bali pada tahun 2015 mencapai 1.102 kWh/kapita, dan mengalami sedikit penurunan di 2021 menjadi 1.067 kWh/kapita. Nilai tersebut tergolong rendah jika dibandingkan kota-kota besar di dunia.

Saat ini, perekonomian Bali bertumpu pada industri pariwisata. Agar tingkat perekonomian masyarakat terus meningkat, diperlukan sumber-sumber pendapatan baru selain sektor pariwisata. Dalam menggali informasi ini diperlukan kerjasama dari berbagai pihak yang berkepentingan agar arah kebijakan yang disusun juga tepat sasaran. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, maka pendapatan per kapita masyarakat Bali meningkat dan kebutuhan energi juga semakin meningkat.

Regulasi yang disusun oleh pemerintah Bali diharapkan merupakan penjabaran rencana lintas sektor yang memberikan dampak signifikan dalam mencapai sasaran kebijakan energi bersih dan independen dengan memaksimalkan dan mengutamakan pemanfaatan energi lokal. Kementerian ESDM telah mendorong pembangunan PLTS lebih besar dibandingkan RUPTL, mengingat harga pembangunannya yang semakin murah dan mendukung pencapaian target 23% bauran EBT pada 2025. Agar bisa berkembang, EBT di Indonesia perlu dilindungi dengan regulasi sehingga bisa berkompetisi dengan energi fosil yang telah mendominasi sistem ketenagalistrikan selama ini. Contoh regulasi yang sudah memberikan lampu hijau untuk pengembangan PLTS seluas-luasnya untuk komersial dan rumah tangga adalah Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.26/2021. Namun, pada prakteknya PLN memberikan pembatasan dengan hanya memperbolehkan 10-15% kapasitas.

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, potensi EBT tertinggi di Bali adalah energi surya. Namun, sumber energi ini memiliki keterbatasan karena bersifat intermittent. Oleh karena itu, pembangunan PLTS dapat dibarengi dengan menggunakan smart micro-grid dan digabungkan dengan pembangkit listrik lain (hybrid), misalnya energi angin, tenaga air, dll. Pembangkit berbasis EBT terus mengalami peningkatan. Namun, perlu dicatat bahwa porsi EBT dalam bauran energi terus menurun karena porsi pembangkit listrik berbasis fosil tetap lebih tinggi.

Partisipasi Akademisi dalam Pembangunan Wilayah

Kegiatan yang dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui Program Pengabdian kepada Masyarakat oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) merupakan salah satu bukti nyata pengabdian para akademisi kepada masyarakat. Kegiatan yang dilakukan pada program ini bertujuan untuk memberikan pandangan secara ilmiah berdasarkan potensi wilayah Bali untuk memanfaatkan sumber dayanya dalam mencapai mimpi besar Bali menuju energi bersih, independent dan net zero emission 2060. Hal ini dituangkan dalam dokumen naskah akademik yang diserahkan kepada pemerintah Bali diwakili oleh Gubernur Bali Bapak Dr. Ir. I Wayan Koster, M.M. Di dalam dokumen tersebut dituangkan serangkaian hasil kajian yang dapat dijadikan referensi bagi pemerintah Bali dalam menyusun rencana pembangunan di masa depan yang bersifat lebih ramah lingkungan.

Kontribusi Bali dalam Forum Transisi Energi G20

2022 merupakan tahun penting bagi Indonesia dengan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang dilaksanakan di Bali pada November 2022. Transisi energi menjadi salah satu isu prioritas yang dibahas pada Presidensi G20 Indonesia 2022. Momentum ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mempercepat transisi energi ke energi hijau. Didorong oleh komitmen nasional dalam mempercepat transisi energi menuju energi bersih, BUMN PLN bertekad akan mulai mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara pada 2025. Agar menghasilkan energi yang lebih bersih, PLN saat ini menggencarkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di gedung perkantoran maupun perumahan. PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Bali merencanakan pembangunan PLTS Atap berkapasitas 890,55 kWp di 33 lokasi gedung kantor milik UID Bali & 1 gedung PT Indonesia Power, dan 3,5 MW PLTS Hybrid, dengan luas 4,5 hektare (Ha) milik PT Indonesia Power (IP) di Desa Suana Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, dan 100 kWp PLTS Terapung di Muara Tukad, Denpasar.

Selain PLN, pihak swasta juga ikut berpartisipasi dalam ajang G20 ini. Pada akhir Agustus lalu, telah diluncurkan PLTS Atap di kawasan pabrik Danone-AQUA Mambal, Kabupaten Badung, Bali dalam kerangka presidensi G20. Pembangungan PLTS ini merupakan kerjasama dengan Berkeley Energy Commercial Industrial Solutions (BECIS) dengan kapasitas 704 kWp yang mampu menghasilkan listrik sebesar 1.050 MWh per tahun. Dengan adanya pemasangan beberapa PLTS tersebut, maka hingga akhir 2022 kapasitas total PLTS terpasang mencapai 10,35 MW yang diperkirakan mampu menghasilkan listrik sebesar 18 GWh, serta diperkirakan berpotensi menurunkan emisi GRK sebesar 16,8 ribu ton CO2 setelah beroperasi selama 1 tahun penuh. Porsi EBT di dalam bauran energi pembangkit listrik menjadi meningkat dengan hadirnya PLTS baru di Bali dari 0,2% menjadi 1%. Walaupun peningkatannya tergolong kecil, namun diharapkan dapat menjadi katalis bagi pembangunan energi terbarukan lainnya di masa mendatang.

820

views