Pendekatan Teknokultur Dorong Teknologi untuk Perubahan Sosial

Pendekatan Teknokultur Dorong Teknologi untuk Perubahan Sosial

Tags: ITB4People, Community Services, Pengabdian Masyarakat, SDGs7

Pendekatan ini mempertemukan teknologi dengan budaya sehingga memberikan lebih banyak dampak positif bagi masyarakat, selain lebih mudah diterima atau diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui pendekatan ini, para peneliti dari Kelompok Keahlian Ilmu Kemanusiaan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) membawa teknologi solar home system (SHS) untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Kampung Cipadung, Desa Daroyon, Kecamatan Cileles, Kabupaten Lebak, Banten.

Meski berada di beranda ibu kota, kondisi Desa Daroyon jauh berbeda dengan Jakarta. Mayoritas penduduknya merupakan warga prasejahtera. Sebagian besar anak-anak desa hanya tamat SD (392 siswa), sebagian kecil (76 siswa) menamatkan pendidikan SMP. Tidak ada yang melanjutkan ke jenjang SMA.

Di Desa Daroyon juga masih terdapat sekitar 80 keluarga yang tidak memiliki penerangan. Kondisi ini membuat Desa Daroyon sulit berkembang. Jalan jalannya gelap. Aktivitas masyarakat pun menjadi terbatas. Keterbatasan sumber energi membuat kapasitas masyarakat jadi tidak tergali optimal. Kondisi desa lain di Kecamatan Cileles masih lebih baik dan sudah banyak yang teraliri listrik dari PLN. Meskipun ada juga yang mendapat penerangan listrik tanpa memiliki saluran resmi dari PLN.

"Kondisi ini yang membuat kami ingin membantu Desa Daroyon. Harus ada pengubahan secara sosial, mudah-mudahan bisa membantu masyarakat," kata Ridwan Fauzi, M.H. dari KKIK FRSD ITB saat diwawancara pada Rabu, 28 Juli 2021. Dalam payung program pengabdian masyarakat,

ITB menghadirkan SHS untuk dipasang di Kampung Cipadung. SHS merupakan sistem penerangan secara individual atau juga desentralisasi daya dengan daya pasang yang relatif kecil. Penyediaan sumber listrik ini dengan memanfaatkan energi matahari. Pemanfaatan energi terbarukan ini menjadi solusi tepat karena sumber listriknya tersedia dengan mudah dan gratis. "SHS ini teknologi yang low maintenance, bisa dirawat bersama-sama sehingga tidak bergantung pada tim ITB dari Bandung," kata Ridwan, M.H.

Teknologi ini dirasa cocok dengan kondisi masyarakat setempat yang tidak memiliki banyak pengalaman dengan teknologi modern. Perawatan berkala pada inferter justru akrab dengan masyarakat. setempat yang sebelumnya mendapatkan listrik dari aki. SHS dipasang di pusat aktivitas warga desa. Lokasi tersebut biasa digunakan oleh warga dan anak anak berkumpul dan berkegiatan bersama. Selain bisa dimanfaatkan bersama oleh warga, SHS juga dimanfaatkan oleh Pondok Pesantren Sirojul Mutaqin.

"Pesantren ini merupakan tempat belajar masyarakat. Meski tidak sekolah, mereka belajar di pesantren," kata Ridwan, M.H. Pesantren menjadi penolong warga setempat yang tidak bersekolah formal. Mereka bisa belajar di pesantren dengan biaya murah. Bahkan para santri cukup membayar dengan beras atau makanan kepada ustaz.

Dampak hadirnya SHS terlihat mencolok, para santri bisa belajar dengan lebih nyaman. Mereka bisa menyalakan lampu di ruang belajar juga di kamar mereka. Di sinilah kehadiran teknologi demikian terasa mampu mengubah kondisi sosial. Dr. Nia Kurniasih, M.Hum. dari KKIK FSRD ITB menjelaskan pendekatan teknokultur digunakan dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini untuk melihat kebermanfaatan dari sebuah teknologi dipandang dari sudut sosial dan budaya.

"Kadang ada teknologi yang canggih, tetapi penggunaannya secara optimal kurang dipahami dan perawatannya tidak bagus sehingga setelah itu jadi tidak bermanfaat. Teknokultur ini kajian di kelompok keahlian kami. Saat teknologi diciptakan dan dilempar ke masyarakat, perlu dilihat bagaimana keberterimaan dan dampaknya bagi masyarakat tersebut. Segi manfaatnya apa, sisi negatifnya apa, kekurangannya apa, lalu persoalan apa yang muncul di tengah masyarakat sebagai akibat dari teknologi itu. Atau justru sebaliknya, teknologi seperti apa yang hadir diperlukan untuk merespons kebutuhan masyarakat," papar Dr. Nia.

"Kami meresponsnya dengan melihat teknologi ini dari sisi sosial budayanya. Para senior kami juga menyebut pendekatan ini dengan istilah sosioteknologi yang sifatnya transdisiplin sehingga bisa menautkan berbagai bidang ilmu," lanjutnya.

Pendekatan teknokultur ini, kata Dr. Nia, tidak sekadar mengedepankan kecanggihan suatu teknologi, tetapi juga sisi humanisnya. Dengan demikian, terlihat bagaimana dampak teknologi tersebut bagi masyarakat. Pendekatan teknokultur memerlukan pemahaman terhadap masyarakat yang nantinya menjadi pengguna teknologi itu. Itu sebabnya, pemasangan SHS di Daroyon tidak sekadar datang, pasang, lalu pulang. Pemasangan SHS merupakan buah dari hubungan harmonis antara ITB dan masyarakat setempat yang telah terjalin lama. 

Sejak 2017, ITB sudah memulai baktinya di desa tersebut. Pendekatan dengan tokoh masyarakat dan pendekatan kultural berperan signifikan. Masyarakat menjadi nyaman dengan kehadiran ITB di desa tersebut dan menerima dengan terbuka segala informasi juga pengetahuan baru. Kegiatan di Daroyon pada 2017 diawali dengan pembangunan jembatan yang dijuluki Jembatan Cinta, membantu pengemasan dan pemasaran produk UMKM setempat, hingga memberi bantuan pemasangan seperangkat TV di ruang publik.

Semua kegiatan itu dilaksanakan berkat aspirasi warga. Selain itu, semuanya melibatkan masyarakat. Ridwan, M.H. menekankan soal keterlibatan masyarakat ini karena keterlibatan itulah yang membuat semua hasil pengabdian ini akan berumur panjang. "Kami bisa bangunkan jembatan, tapi perawatan lebih penting karena itu sepanjang waktu. Makanya, kami berikan pemahaman bagi mereka agar umurnya lama memang harus dirawat, bagaimana pembersihan berkala, mencegah korosi. Jangan sampai kegiatan ini hanya berumur pendek, hanya seremonial. Bagaimana saat berakhir masih merasa manfaatnya dengan bekal yang sudah diberikan kepada masyarakat," tuturnya.

Begitu pula pada pemasangan SHS, masyarakat diajak terlibat sejak awal. ITB juga memberikan penyuluhan dan sosialisasi tentang manfaat dan pemeliharaan SHS. Rasa kebersamaan dibangun sehingga masyarakat bisa memanfaatkan dan bertanggung jawab bersama. ITB juga mendampingi masyarakat menyusun prosedur standar operasional dalam penggunaan dan pemeliharaan peralatan agar awet sehingga bisa digunakan untuk jangka waktu yang lama.

Dr. Nia mengatakan, pendekatan teknokultur ini justru membuka mata apa saja yang masih dibutuhkan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Perlu solusi transdisiplin untuk mengentaskan masyarakat dari taraf prasejahtera. Itu sebabnya pendekatan teknokultur ini menjadi penting agar kemudian aksi lintas bidang memungkinkan untuk dilaksanakan. Termasuk jika harus menggandeng pemangku kebijakan lain yang berada di luar kewenangan perguruan tinggi. (Deny Willy Junaidy, Ph.D., Sekretaris Bidang Pengabdian Masyarakat LPPM ITB).***

1100

views