Pendampingan Masyarakat Pesisir Kabupaten Lebak untuk Mencapai Indikator UNESCO-IOC Tsunami Ready Berbasiskan Sains dan Seni

Pendampingan Masyarakat Pesisir Kabupaten Lebak untuk Mencapai Indikator UNESCO-IOC Tsunami Ready Berbasiskan Sains dan Seni

Tags: ITB4People, Community Services, SDGs4

Indonesia merupakan wilayah yang sangat berpotensi bencana gempa dan tsunami. Kajian ilmiah dari tim Institut Teknologi Bandung (ITB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dipublikasikan di Scientific Reports pada tahun 2020, menyatakan bahwa pesisir pantai selatan Kabupaten Lebak merupakan salah satu zona berisiko tinggi bencana gempa dan tsunami. Dari hasil pemodelan yang dilakukan menggunakan data Global Positioning System di Pulau Jawa, potensi gempa megathrust dapat mencapai magnitudo 8,9 yang berpotensi memicu tsunami di sepanjang pesisir selatan Jawa. Estimasi tinggi tsunami bahkan mencapai 20 meter.

Hasil kajian ini meresahkan masyarakat, khususnya di wilayah pesisir selatan Kabupaten Lebak, Banten. Salah satu komunitas masyarakat yang peduli dengan kondisi bencana gempa dan tsunami yang dapat berdampak di wilayahnya adalah Gugus Mitigasi Lebak Selatan (GMLS). Abah Lala, ketua komunitas GMLS ini, menyadari bahwa masyarakat di pesisir selatan Lebak tersebut saat ini tidak memiliki kapasitas yang baik untuk bertindak, bahkan sebelum bencana gempa dan tsunami megathrust tersebut benar-benar datang. Mereka memerlukan dukungan, bimbingan, dan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) gempa dan tsunami serta membangun resiliensi di Kabupaten Lebak, Banten.

Pada 7 Februari 2021, terjalin komunikasi awal antara GMLS dengan Kelompok Keahlian Geofisika Global (KKGG) Institut Teknologi Bandung (ITB), BRIN (saat itu masih LIPI), dan U-INSPIRE untuk upaya penguatan kapasitas masyarakat di pesisir selatan Lebak. Selanjutnya, dengan didukung oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), BRIN, U-INSPIRE Indonesia, Tim ITB melaksanakan Program Pengabdian Kepada Masyarakat untuk pembuatan peta area pemukiman di Cimangpang dan Sukarena/Cikumpay, pemodelan inundasi tsunami, pemetaan eksposure dengan Unmanned Aerial Vehicle (UAV), pembuatan desain papan informasi publik mengenai tsunami yang disusun secara partisipatif, survei kondisi existing sumber daya desa dan digitalisasi peta rute evakuasi kampung menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Google Map.

Untuk kegiatan yang dilaksanakan di tahun 2022, ITB melalui kerangka Program Pengabdian Masyarakat, bekerja sama dengan GMLS, BRIN, BMKG, U-INSPIRE Indonesia, Kodam III/ Siliwangi, Korem 064/Maulana Yusuf, PMI, RAPI, dan Dompet Dhuafa, untuk membangun kesiapan masyarakat pesisir selatan Lebak dalam menghadapi tsunami. Peningkatan kapasitas masyarakat ini mengacu pada indikator Desa Tangguh Bencana, UNESCO-IOC Tsunami Ready, dan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) melalui kegiatan penyiapan materi pendidikan kesiapsiagaan gempa tsunami untuk SMA, workshop mitigasi gempa dan tsunami, perencanaan dan pelatihan tanggap bencana gempa dan tsunami di sekolah, fasilitasi penyusunan Standard Operating Procedure (SOP) sekolah, penyiapan tempat evakuasi sementara dan akhir, pembentukan tim gugus mitigasi sekolah, pelatihan tanggap darurat tsunami dan kemampuan menerima dan menyampaikan peringatan dini 24/7. Fokus utama kegiatan adalah membangun kapasitas GMLS serta kapasitas sekolah dengan pilot project di SMA Negeri 1 Panggarangan.

SMA Negeri 1 Panggarangan merupakan salah satu sekolah di pesisir selatan Lebak yang hanya berjarak 300 meter dari tepi laut. Selain sekolah tersebut, terdapat 28 sekolah lainnya yang berada pada zona merah rendaman tsunami di sepanjang pesisir selatan Lebak. Tidak ada penghalang atau barisan vegetasi yang bisa meredam laju ombak dari laut menuju sekolah. Kondisi ini tentunya menjadi hal yang perlu diantisipasi oleh pihak sekolah, apa yang harus mereka siapkan dan lakukan mulai dari saat ini. Tak ada seorang pun yang  mengetahui waktu terjadinya sebuah bencana, namun kita bisa memilih untuk memiliki kesiapan kapan pun bencana itu terjadi. 

Kegiatan pendampingan penguatan kapasitas masyarakat untuk pengurangan risiko bencana ini dilakukan selama 9 hari, dimulai dari tanggal 28 Juni 2022 hingga 6 Juli 2022. Tim Program Pengabdian Masyarakat ITB terdiri dari dosen dan mahasiswa Program Studi Teknik Geofisika ITB, yaitu Dr. Endra Gunawan, Medina Apriani, Fichri Firmansyah, Tania Suara Ning Tyas, Muhammad Raya Fadhillah, Luthfi Wira Wicaksana, dan Rahmat Hidayat, kemudian dosen dan mahasiswa Program Studi Seni Rupa ITB dan Program Studi Desain Komunikasi Visual ITB yaitu Ardhana Riswarie, S.Sn., M.A., Bagas Mahardika, Qanissa Aghara, Krisna Julian, Aura Fakhira Astiana, Achmad Afief Aulia Shadiqa, Rifqi Zuhdi Afifi, dan dibantu oleh Peneliti di Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG) BRIN yaitu Dr. Rahma Hanifa, dan dari U-INSPIRE Indonesia, yaitu Aan Anugrah, Tinitis Rinowati, Wina Natalia dan Tri Nugroho. Tim ini menyusun serangkaian kegiatan yang diawali dengan membangun pemahaman hingga mengekspresikan pemahaman tersebut dalam bentuk materi edukasi berbasis sains, seni, dan kearifan lokal. Rangkaian upaya peningkatan kapasitas ini dimulai dengan mengenalkan warga sekolah terkait proses alam terjadinya gempa dan tsunami.

Pengenalan proses alam dilakukan untuk membangun pemahaman dasar mitra lokal sekaligus penerima manfaat utama kegiatan yakni GMLS dan tim gugus mitigasi sekolah. Selanjutnya terdapat kegiatan pelatihan evakuasi gempa dan tsunami, pengembangan SOP kedaruratan gempa tsunami, susur rencana jalur evakuasi, simulasi evakuasi dan tanggap darurat tsunami, pengujian penerimaan dan diseminasi informasi peringatan dini tsunami, serta pengembangan materi edukasi partisipatif dengan siswa dan guru SMA berbasis sains, seni, dan kearifan lokal.

Pengenalan sekaligus praktik asesmen infrastruktur sekolah dilakukan dalam konsep Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) dan pendampingan penguatan kapasitas gugus mitigasi bencana sekolah. Selain itu, ada satu materi yang diisi oleh perwakilan masyarakat Lebak melalui GMLS, tentang tradisi lisan yang ditemukan di beberapa titik wilayah Lebak selatan. Tradisi lisan ini memuat istilah “Caah Laut” yang secara harfiah memiliki arti banjir laut. Istilah ini kemudian ditafsirkan lebih luas menjadi suatu fenomena datangnya air laut ke daratan pada masa lalu. Masyarakat di pesisir selatan Kabupaten Lebak kemudian meyakini bahwa Caah Laut dan tsunami memiliki konteks serupa.

Program Pengabdian Masyarakat ITB ini juga berkolaborasi dengan PMI untuk pelatihan keterampilan pertolongan pertama yang didukung pula oleh Puskesmas Desa Panggarangan. Selain itu, keterampilan lain yang dilatihkan ialah perakitan dan pemanfaatan dapur umum oleh Detasemen Perbekalan Angkutan Korem 064/Maulana Yusuf. Keterampilan ini kemudian dipraktikkan oleh siswa dan guru pada saat simulasi evakuasi dan penyelenggaraan tanggap darurat yang dilakukan pada tanggal 2 dan 3 Juli 2022.

Jejaring Kemitraan dalam Upaya Membangun Ketangguhan Jangka Panjang

Sebagian besar mitra program telah menjalin kerja sama dalam kerangka membangun kapasitas masyarakat di selatan Lebak sejak tahun 2021, melalui kegiatan luring maupun daring. Salah satu aktivitas yang dilakukan adalah pelaksanaan sosialisasi mitigasi gempa dan tsunami, serta asesmen kesiapan SMAN 1 Panggarangan terhadap gempa dan tsunami melalui metode STEP-A (https://inarisk2.bnpb.go.id/step-a/) pada aplikasi resmi asesmen risiko yang dikelola oleh BNPB. Misi dari kegiatan tersebut adalah meningkatkan kesiapsiagaan sekolah menghadapi bahaya tsunami yang telah menjadi salah satu fokus pemerintah melalui Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (Seknas SPAB). Seknas SPAB berada di bawah arahan dan koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan BNPB. Aplikasi STEP-A dikembangkan secara kolaboratif oleh UNDP Indonesia bekerja sama dengan UNESCO, BRIN (saat itu masih LIPI dan BPPT), ITB dan lainnya, untuk melakukan penilaian kapasitas kesiapsiagaan sekolah menghadapi bencana tsunami.

Hasil asesmen STEP-A di SMAN 1 Panggarangan yang melibatkan kepala sekolah, guru, dan 35 siswa pada tanggal 15 Juni 2021 di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, secara umum, pengetahuan sekolah ini masih rendah sehingga diperlukan urgensi peningkatan pengetahuan komunitas sekolah agar mampu melakukan kesiapsiagaan bencana. Kedua, parameter rencana tanggap darurat sekolah ini masih rendah, sehingga diperlukan urgensi peningkatan perencanaan tanggap darurat komunitas sekolah agar mampu melakukan tindakan yang efektif dan efisien ketika terjadi bencana. Ketiga, sistem peringatan dini sekolah ini masih rendah, sehingga diperlukan urgensi diperlukan peningkatan pemahaman komunitas sekolah terhadap sistem peringatan dini yang telah disepakati agar mampu merespon sistem peringatan dini di sekolah.

Sebagai tindak lanjut hal tersebut, pada Maret 2022 pihak sekolah berinisiatif membangun gugus mitigasi bencana tingkat sekolah dan secara proaktif meminta dukungan khususnya kepada ITB dan BRIN untuk meningkatkan kapasitas mereka. Program Pengabdian Masyarakat tahun ini kemudian memfokuskan tim gugus mitigasi bencana sekolah, di samping GMLS, untuk mengambil peran sebagai aktor utama penyelenggaraan PRB di lingkungan sekolah, yang diperkuat wewenang dan tanggung jawabnya dalam skema SOP.

SOP yang telah disusun kemudian diuji melalui kegiatan Table Top Simulation (TTS) dengan menekankan pentingnya fungsi komando, koordinasi, dan inisiatif tiap peran dalam menyikapi skenario kejadian bencana. TTS yang dilakukan mencakup peran gugus mitigasi sekolah yang meliputi tim evakuasi, keamanan, kesehatan, logistik, diseminasi informasi, dan kesiapsiagaan, ditambah peran-peran lain seperti guru, siswa, ketua OSIS, dan sebagainya.

Gladi Simulasi dan Gladi Posko Tanggap Darurat.

Fungsi koordinasi antara GMLS, selaku pemegang kendali operasi di titik akhir simulasi evakuasi, dan ketua gugus sekolah diperlukan saat bencana gempa dan tsunami terjadi. Melalui koordinasi ini, pengkondisikan unsur-unsur yang perlu disiapkan akan dapat dilakukan dengan lebih terarah dan terstruktur. Hal inilah yang menjadi salah satu poin utama saat simulasi tersebut dilakukan.

Hal lain, sekolah yang berada di Desa Sukajadi menuju Tempat Evakuasi Akhir (TEA) di Command Centre GMLS di Desa Kiarapayung, akan melewati rute Desa Hegarmanah. Secara birokratis, hal ini perlu disiapkan apabila memang tempat ini menjadi TEA yang dimuat di dalam SOP sekolah. Sebab dalam situasi tanggap darurat, perlu adanya kejelasan administratif yang selaras dengan tugas dan tanggung jawab pemerintah desa sebagai pihak yang memiliki wewenang resmi. Misalnya, dalam kondisi tanggap darurat pihak desa perlu pendataan pengungsi untuk mendistribusikan bantuan. Di sini, perlu ada legitimasi yang menguatkan para siswa dan guru yang berdomisili di desa lain untuk mendapatkan hak yang sama dengan warga Desa Kiarapayung lainnya saat terjadi bencana. Konten ini selain memperkaya wawasan peserta simulasi evakuasi juga untuk menguji kembali SOP sekolah maupun GMLS yang telah disusun sebelumnya.

BMKG, melalui Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Geofisika BMKG Tangerang, Bapak Urip Setiyono, hadir di proses simulasi evakuasi tersebut. Beliau, yang pada saat simulasi evakuasi dan tanggap darurat bertindak sebagai otoritas pemberi peringatan dini, sekaligus sebagai pengamat mengutarakan hasil pengamatannya, melihat kurangnya respons saat informasi gempa susulan disampaikan. Padahal, apabila perserta evakuasi tersebut berjalan melalui jalan berpasir, gempa akaa dapat teramplifikasi sehingga guncangan terasa lebih kuat.

Sebagai tanggapan, Rahma Hanifa, Peneliti dari PRKG BRIN membenarkan informasi tersebut. Rahma berbagi pengalamannya merasakan gempa magnitudo 9 saat di Jepang tahun 2011 dengan peserta simulasi evakuasi. Kesulitan untuk berdiri dirasakannya saat gempa-gempa susulan terjadi dengan durasi hampir setiap 5 menit. Salah satu hal positif yang tercatat dalam simulasi evakuasi yang dilakukan, adalah kemampuan untuk melewati zona merah dalam waktu kurang dari 20 menit pada simulasi pertama yang dilakukan ini. Walaupun begitu, diharapkan durasi waktu melewati zona merah ini akan semakin pendek seiring dengan kegiatan simulasi evakuasi yang dilakukan di masa yang akan datang.

Selain BMKG dan BRIN, kegiatan simulasi evakuasi dan tanggap darurat juga melibatkan unsur RAPI, sebagai bagian komunikasi yang menjalankan skenario komunikasi di tengah kondisi tanpa sinyal penyedia layanan komunikasi. Selain RAPI, kebutuhan komunikasi juga didukung oleh Detasemen Perhubungan Korem 064/Maulana Yusuf yang sekaligus bertugas sebagai pengaman jalur dari segala risiko yang ada, berhubung jalur yang dilalui mesti menempuh jalan-jalan kecil yang jarang dilalui masyarakat. Setelah rombongan peserta simulasi sampai di TEA, mereka berbagi tugas untuk membuat tenda dan mengatur kebutuhan akomodasi dan mengelola dapur umum oleh Detasemen Perbekalan Angkutan Korem 064/Maulana Yusuf, melakukan pendataan dibantu oleh tim U-INSPIRE Indonesia, juga triase kesehatan dengan PMI sebagai pengarah.

Hasil amatan dari lintas sudut pandang, serta kolaborasi dengan berbagai mitra, program memosisikan pihak GMLS dan SMAN 1 Panggarangan untuk saling berinteraksi langsung. Hal ini linier dengan salah satu hasil pertemuan global terkait PRB pada Mei 2022 lalu di Bali. Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) ketujuh itu menghasilkan Agenda Bali untuk Ketangguhan, yang salah satu poinnya ialah mengenai dialog dan komunikasi risiko. Hambatan komunikasi perlu diatasi melalui solusi yang kreatif selain perlu adanya transformasi digital. Lebih khusus dalam agenda tersebut dinyatakan bahwa pesan yang disampaikan harus memiliki konteks yang spesifik dan ramah komunitas. Konteks spesifik yang menghimpun karakter ruang, jenis risiko, dan kondisi sosial suatu tempat tentu tidak sama antara satu dengan wilayah atau komunitas lainnya. Pada aspek inilah jejaring kemitraan menjadi salah satu simpul penting yang mampu membangun pemahaman konteks yang spesifik. Simpul ini kemudian menjadi peta sumber daya yang dapat dioptimalkan dalam melakukan upaya PRB pada tiap fase kejadian bencana.

Dalam agenda tersebut disebutkan pula kebutuhan untuk mempromosikan kapasitas tradisional dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Tujuan besarnya, hal tersebut akan memperkuat praktik PRB dan pengetahuan ilmiah dalam upaya meningkatkan kesadaran dan pendidikan. Secara jangka panjang, peta sumber daya yang menyerap pemahaman konteks, kapasitas tradisional, dan kearifan lokal yang spesifik, akan memperkokoh akar resiliensi komunitas tersebut.

Seni untuk Edukasi Kebencanaan

Pengalaman dan pembelajaran yang warga sekolah terima saat terlibat dalam kegiatan simulasi ini diharapkan dapat melanggengkan ingatan terkait risiko gempa dan tsunami di wilayah mereka. Persepsi dan pemahaman dari  kegiatan ini kemudian diperkuat melalui saluran ekspresi seni yang pembuatannya dipandu oleh dosen dan mahasiswa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Selain sebagai monumen memori yang dapat dengan mudah diindra secara fisik, juga ada format lainnya yang secara khusus ditujukan sebagai materi edukasi yang dapat di replikasi. Materi yang disusun secara partisipatif ini ditujukan untuk mendukung upaya keberlanjutan ikhtiar dalam bidang PRB berbasis sekolah.

Ada tiga bentuk akhir dari materi edukasi yang diperkaya dengan seni. Karya pertama berupa buku "Edukasi Siaga Caah Laut" yang berisi fenomena alam terkait bencana tsunami, cerita kearifan lokal, dan pengalaman para siswa setelah mengikuti simulasi evakuasi tsunami dan pengungsian. Karya kedua adalah sebuah pagelaran tari yang diiringi oleh kidung berbahasa Sunda yang ditulis, dinyanyikan, dan dipertunjukkan oleh para siswa. Yang terakhir adalah karya instalasi berjudul "Mitigarium" yang terbuat dari benda-benda yang dapat ditemukan di sekolah dan disusun sedemikian rupa untuk mengekspresikan kejadian bencana tsunami, evakuasi, dan suasana di pengungsian, dan disimpan dalam sebuah lemari kaca.

Dengan dilaksanakannya Program Pengabdian Masyarakat ITB ini, penguatan mitra lokal GMLS dan tim gugus mitigasi sekolah akan menjadi benih resiliensi yang baik di Lebak selatan. Tindak lanjutnya, merekalah yang harapannya dapat terus menyebarkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk melakukan upaya-upaya mitigasi gempa dan tsunami berbasis masyarakat secara mandiri. Dengan demikian wilayah ini yang telah mendapatkan pengakuan resmi dari BMKG sebagai komunitas Tsunami Ready awal tahun 2022, dapat juga memperoleh pengakuan dari UNESCO-IOC. Lebih jauh dari itu, upaya yang membuahkan predikat komunitas Tsunami Ready ini juga berkontribusi pada agenda Global PRB dan UN Decade for Ocean yang memiliki target 100% wilayah pesisir tangguh tsunami pada 2030. Yang lebih penting lagi, semoga kapasitas ini dapat  menyelamatkan lebih banyak jiwa sekiranya gempa dan tsunami terjadi di masa yang akan datang, dengan inovasi berbasis sains, seni, dan kearifan lokal.

560

views