Latar Belakang dan Tantangan Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah organik menjadi tantangan utama di Kabupaten Bandung Barat (KBB), khususnya setelah kebakaran di TPA Sarimukti pada Agustus 2023 yang mengurangi kapasitas penampungan sampah secara drastis. Dari sebelumnya menerima 40 ritase sampah per hari, kini hanya mampu menampung 17 ritase. Pemerintah KBB mulai menggalakkan program pilah sampah, menginstruksikan kepala desa untuk menyosialisasikan pentingnya pemilahan sampah organik dan non-organik. Sampah organik, yang sebagian besar berasal dari dapur rumah tangga, memiliki potensi besar untuk diolah menjadi pupuk atau pakan ternak.
Di tengah upaya ini, sebuah survei dilakukan di Komplek Perumahan Nevada Downtown dan Eureka di Desa Gadobangkong, Kecamatan Ngamprah. Perumahan ini dihuni oleh sekitar 150 keluarga, sebagian besar keluarga muda berusia 25-45 tahun. Dari survei tersebut ditemukan bahwa rata-rata rumah menghasilkan 400 gram sampah organik per hari, namun 93% warga masih bergantung pada jasa pengangkut sampah. Meskipun 55% warga telah memilah sampah, mayoritas belum memahami pengelolaan sampah organik menggunakan maggot.
Pemanfaatan Maggot sebagai Solusi
Maggot atau larva Black Soldier Fly (BSF) diperkenalkan sebagai alternatif pengolahan sampah organik yang ramah lingkungan. Maggot mampu mengurai sampah organik hingga 50 kali berat tubuhnya dalam sehari tanpa menghasilkan bau menyengat. Selain itu, maggot dewasa mengandung protein tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Menurut Dr. Indria Herman, dosen dari Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB, 66% warga mendukung pengelolaan sampah organik dan bersedia menggunakan fasilitas tersebut jika tersedia. Namun, masih banyak kekhawatiran mengenai dampaknya, terutama di lingkungan dengan banyak anak-anak.
Langkah Awal Pengelolaan Sampah di Perumahan Gadobangkong
Tim pengabdian masyarakat dari ITB yang diketuai oleh Dr. Indria Herman bekerja sama dengan berbagai fakultas lainnya, termasuk Dr. Ramadhani Eka Putra (SITH), Dr. Slamet Riyadi dan Dr. Intan Prameswari (FSRD), serta Dr. Suhendri (SAPPK). Mereka menginisiasi integrasi fasilitas umum dengan fasilitas pengolahan sampah organik. Salah satu bentuk inovasi adalah menggunakan raised bed (bedengan) untuk menanam tanaman hias sekaligus mengolah sampah organik yang menjadi nutrisi bagi tanaman.
"Kami memilih raised bed karena dapat menjadi fasilitas multifungsi. Selain mempercantik lingkungan, bedengan ini juga mendukung pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan," ujar Dr. Indria Herman. Tim juga menyadari pentingnya edukasi masyarakat tentang pengolahan sampah organik, sehingga dilakukan sosialisasi di tingkat perumahan.
Manfaat Jangka Panjang dan Harapan
Program ini diharapkan mampu mengurangi volume sampah yang dikirim ke TPA Sarimukti sekaligus meningkatkan kesadaran lingkungan di masyarakat. Dengan potensi pengelolaan sampah organik menggunakan maggot, perumahan modern seperti Gadobangkong dapat menjadi contoh keberhasilan pengelolaan sampah mandiri.
_"Langkah ini mungkin kecil, tetapi dampaknya besar dalam menjaga lingkungan kita dan menciptakan nilai ekonomi baru,"_ pungkas Dr. Indria Herman.
Berita Terkait:
1. rri.co.id: Warga Komplek Gadobangkong Manfaatkan Maggot dalam Pengolahan Sampah
2, rri.co.id: Tim ITB Menginisiasi Pengolahan Sampah Organik Secara Mandiri