Pelestarian Rumah Majapahit di Trowulan
Tags: ITB4People, Community Services, Pengabdian Masyarakat, SDGs9
Institut Teknologi Bandung tidak hanya melakukan penelitian terkait teknologi. Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB telah mengembangkan pula inovasi dalam penelitian pelestarian cagar budaya terkait dengan perencanaan dan perancangan arsitektur, serta penyusunan kebijakan terkait.
Dinamika zaman menunjukkan terjadinya pergeseran paradigma di dalam kegiatan pelestarian. Pelestarian bukan sekadar penghormatan terhadap romantisme sejarah masalalu.
Pendekatan pelestarian yang semula berbasis monumen, objek tunggal, dan bersifat fisik, diperluas menjadi her basis lingkungan dan nilai atau nonfisik. Pelestarian juga melingkupi pertimbangan dan relevansi terhadap kebutuhan masyarakat, pelibatannya, dan partisi pasti untuk memastikan keberlanjutan.
Penelitian tentang kawasan ibu kota Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, menjadi salah satu topik penelitian Catrini Pratihari Kubontubuh, program doktor arsitektur SAPPK-ITB tahun 2014-2021 di bawah bimbingan Prof Widjaja Martokusumo, Ketua Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur.
Trowulan adalah ibu kota Majapahlt, kerajaan terbesar di Nusantara yang berdiri pada 1293. Trowulan terletak sekitar 50 kilometer barat daya Kata Surabaya, Jawa Timur. Sejak keruntuhan Majapahit pada 1478, Kota Trowulan semakin terbengkalai. Saat ini, sebagian besar objek cagar budaya berada dalam kondisi tak utuh, bahkan ada yang masih terpendam di bawah lapisan tanah.
Penduduk Trowulan saat ini merupakan pendatang yang sangat heterogen. Salah satu faktor penarik. utama pendatang ialah industri gula di Jawa Timur.
Walaupun bukan darah keturunan langsung Majapahit, penduduk Trowulan yang kini sudah mencapai generasi ke-5 memahami sejarah Majapahit dengan baik. Namun, mereka kerap merasa tidak didengarkan dalam kegiatan pelestarian. Beberapa kebijakan yang salah arah telah sering dikritisi oleh masyarakat, tetapi pemerintah selalu bergeming.
Program Rumah Majapahit
Salah satu kasus penelitian yang menarik di kawasan ibu kota Majapahit di Trowulan ialah program Rumah Majapahit. Penelitian ini menunjukkan bagaimana tantangan dalam upaya pelestarian objek cagar budaya yang tidak umh lagi, dan bahkan tidak ada wujudnya lagi di masa kini seperti rumahrumah dari masa Kerajaan Majapahit di abad ke-13 dan 14.
Program Rumah Majapahit diluncurkan pada 2014. Rekonstruksi rumah dari masa Kerajaan Majapahit yang dimaksudkan bukanlah pembangunan sebuah rumah lengkap, tapi hanya menambahkan fasad 'autentik' di depan rumah penduduk eksisting.
Dalam program itu penduduk desa ditawari hibah untuk membangun Rumah Majapahit berupa fasad dengan material kayu dan bata merah. Ukurannya ialah 5 x 4 meter persegi yang dibangun di depan rumah eksisting mereka. Peneliti Oesman (1999) merekonstruksi desain Rumah Majapahit berdasarkan gambar dari relief batu yang ditemukan di Trowulan.
Program pembangunan 600 unit Rumah Majapahit dibiayai oleh pemerintah provinsi dan kabupaten. Gelombang pertama pembangunan dilakukan pada 2014-2015 untuk 296 rumah, dengan perincian 200 unit di Desa Bejijong, 46 unit di Desa Jatipasar, dan 50 unit di Desa Sentonoredjo. Gelombang kedua sebanyak 300 unit dibangun pada 2015-2016 di Desa Trowulan, Temon, dan Watesumpak.
Program Rumah Majapahit hanya diimplementasikan pada 596 unit rumah atau kurang dari target 600 unit. Beberapa warga menolak untuk berpartisipasi dengan berbagai alasan. Tidak hanya itu, saat penelitian dilakukan pada 2017, sebagian 'Rumah Majapahit' tersebut kosong dan tidak dimanfaatkan penduduk. Terdapat papan bertuliskan 'Dijual' atau 'Disewakan' di depan beberapa rumah.
Dalam survei lapangan, ditemukan pula 20 unit yang digunakan untuk tujuan ekonomi seperti homestay, toko kerjinan, toko bahan makanan, dan warung makan.
Dalam focus group discussion (FGD) yang tim penulis adakan pada 26 November-18 Desember 2017 didapatkan beberapa masukan dari peserta. Pertama, peserta memberikan kritik soal soal bujet yang terbatas dan kurangnya proses konsultasi selama pembangunan. Akibatnya, masyarakat tidak bisa melengkapi dengan toilet dan fasilitas yang diperlukan.
Masyarakat juga mengemukakakn perlunya panduan dari pemerintah untuk mengoptimalkan pemanfaatan Rumah Majapahit. Kedua, sebanyak 70 dari 100 peserta FGD menyatakan program dilaksanakan dengan sistem top down. Sistem itu dinilai tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat soal desain dan apresiasi terhadap nilai-nilai budaya lokal.
Pelajaran
Dengan capaian pembangunan yang di bawah target serta banyaknya rumah yang tidak termanfaatkan, timbul pertanyaan mendasar terkait konsep nilai budaya dan autentisitas.
Ketidakberhasilan program itu didugan berakar dari desain yang belum bisa diterima masyarakat sebagai desain yang menunjukkan autentisitas dan implementasi program yang tanpa pelibatan masyarakat.
Jelas bahwa program Rumah Majapahit tidak memberikan kesempatan untuk membangun proses yang transparan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengungkapkan pendapat. Masyarakat juga tidak memiliki ruang untuk memperdebatkan prohram dalam pertemuan terbuka dengan para pemangku kepentingan. Kurangnya perhatian terhadap autentisitas dan signifikansi budaya menjadi inti permasalahan pelestarian cagar budaya yang termanifestasi dalam praktik-praktik di Trowulan.
Seharusnya pemerintah lebih berhatihati dalam menerjemahkan autentisitas. Nilai-nilai nonfisik perlu dipertimbangkan termasuk tradisi dan kearifan budaya setempat. Pemahaman masyarakat terhadap sejarah dari kawasan tempat tinggalnya juga harus menjadi bagian penting dalam implementasi kebijakan pelestarian.
Pelajaran dari program Rumah Majapahit ialah pentingnya pelibatan masyarakat lokal, lembaga pemerimah, dan pihak terkait lainnya. Kepedulian akan mendorong timbulnya partisipasi sehingga memastikan keberlanjutan saat program telah usai.
Upaya untuk mendefinisikan kembali autentisitas dan signifikansi budaya harus didasarkan pada kebutuhan masyarakat lokal. Pengakuan nilai-nilai budaya lokal dalam tradisi yang hidup merupakan semangat autentisitas. Keterkaitan dengan tempat dapat muncul dari hubungan antara aspek nonfisik. dan fisik.
Di samping itu, hams ada ruang fleksibilitas dalam memperluas cara di mana konsep autentisitas dan signifikansi budaya diinterpretasikandi antara para pemangku kepentingan. Berdasarkan penelitian di Trowulan, kami menyimpulkan bahwa pelestarian kawasan cagar budaya yang memiliki objek cagar budaya yang tidak utuh lagi baru dapat tercapai melalui bentuk pelestarian yang mengintegrasikan autentisitas, nilai budaya, serta kepedulian masyarakat yang mendorong partisipasinya unruk memastikan keberlanjutan.
Kepedulian dan partisipasi masyarakat adalah kata kunci untuk praktik. pelestarian yang tepat. Hanya dengan demikian, masyarakat setempat dengan pakar bisa beketja bersama dan mencapai hasil yang berkelanjutan. (M-1)