Optimasi Penempatan Posisi Rumpon Tingkatkan Hasil Tangkapan Ikan
Tags: ITB4People, Community Services, SDGs14
Laut Sulawesi merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 716 yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 18/PERMEN-KP/2014. Selain Laut Sulawesi, wilayah geografis WPP 716 meliputi sebelah utara Pulau Halmahera dan berbatasan dengan wilayah tiga negara sahabat, yaitu Malaysia, Filipina dan Palau(Nasution et al., 2019). WPP 716 memiliki potensi perikanan yang melimpah, sehingga menjadi basis penangkapan ikan-ikan ekonomis dan pemijakan ikan yang berskala rakyat maupun berskala industri. Ikan yang banyak terdapat di WPP 716 yaitu jenis ikan pelagis kecil, ikan pelagis besar, ikan demersal, udang dan krustasea lainnya (Nasution et al., 2019).
Di perairan laut Sulawesi terdapat sejumlah alat bantu yang biasa disebut masyarakat sekitar dengan nama rumpon. Rumpon tersebut digunakan oleh nelayan untuk mengumpulkan ikan di suatu tempat sehingga mudah ditangkap (PERMEN-KP 26/2014). Alat bantu penangkapan ikan ini merupakan alternatif untuk mengatasi masalah ketidakpastian lokasi pencarian ikan yang dilakukan di perairan dangkal maupun di perairan dalam. Berdasarkan penelitian mengenai efektivitas pemasangan rumpon di Teluk Tomini, didapatkan hasil penggunaan rumpon belum efisien dalam meningkatkan hasil penangkapan ikan (Asrudin & Nasriani, 2018).
Dalam perspektif pemangku kebijakan, penggunaan rumpon menimbulkan berbagai masalah. Fungsi rumpon yang meningkatkan potensi peningkatan hasil tangkapan ikan menyebabkan jumlah pemasangan rumpon yang tidak terkendali, banyak rumpon yang tidak terdaftar sehingga pengelolaannya menjadi tidak efektif karena ketidaksesuaian data dengan jumlah di lapangan. Potensi overfishing sebagai akibat dari jumlah rumpon yang banyak menyebabkan stok ikan yang tidak berkelanjutan. Rumpon sendiri sudah diatur dalam PERMEN-KP Nomor 26/2014 tentang Rumpon yang salah satu regulasinya adalah terkait jumlah kepemilikan rumpon yang dibatasi maksimal tiga, atraktor dari bahan yang mudah terurai dan jarak antar rumpon sejauh 10 mil laut. Pada kenyataannya di lapangan hanya bagian atraktor saja yang dipenuhi. Rendahnya tingkat kepatuhan terhadap aturan-aturan tersebut disebabkan karena kurang mengertinya nelayan tentang dampak negatif rumpon apabila tidak dikelola, rendahnya tingkat pengawasan, dan tidak adanya sanksi pelanggaran (Wudianto et al., 2019).
Bagi nelayan sendiri, kepemilikan rumpon yang banyak tidak menjamin hasil tangkapan ikan yang besar. Terutama pada saat terjadi fenomena “Arus Pisau”, rumpon milik nelayan bisa hilang begitu saja terbawa arus sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar. Mengacu pada kondisi tersebut, regulasi yang ada belum menjawab kebutuhan nelayan sehingga banyak terjadi pelanggaran. Oleh karena itu, permasalahan penempatan rumpon perlu diteliti lebih lanjut sehingga penggunaannya optimal.
Metode, Hasil dan Analisis
Salah satu metode ex-situ yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya potensi perikanan di suatu bagian tertentu dari permukaan laut adalah menggunakan citra satelit penginderaan jauh. Potensi perikanan dapat dideteksi dengan mengamati tiga parameter utama, yakni sebaran klorofil dalam permukaan air, keberadaan thermal front, dan keberadaan fenomena upwelling (Simbolon et al., 2013).
Thermal front dapat diartikan sebagai garis gradien yang dibentuk oleh perbedaan suhu permukaan air laut sebesar 0.5 derajat celsius dalam jarak 3 km permukaan laut. Sedangkan fenomena upwelling dapat diartikan sebagai pergerakan massa perairan dalam menuju ke permukaan air yang dibantu oleh angin. Upwelling membawa massa perairan dalam yang lebih dingin dan lebih banyak mengandung nutrien seperti plankton ke permukaan air, yang dapat menarik kawanan ikan. Dengan adanya tiga parameter di atas, dapat disimpulkan bahwa sebuah daerah di permukaan air tersebut potensial untuk dijadikan zona penangkapan ikan.
Thermal front dan upwelling merupakan nilai turunan yang pada dasarnya dapat diekstrak dari citra satelit penginderaan jauh yang mengandung informasi Suhu Permukaan Laut (SPL). Informasi SPL dapat diukur secara langsung, selama satelit yang mengambil citra tersebut memiliki sensor thermal infrared. Dalam konteks di Indonesia, informasi seperti ini sudah diterbitkan secara berkala dalam bentuk informasi ZPPI (Zona Potensi Perikanan Indonesia) yang diterbitkan dan dikelola oleh Lapan (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional).
Lapan mengekstrak informasi SPL dari citra satelit Terra/Aqua-MODIS dan SNPP-VIIRS (Hamzah et al., 2014). Berikut ini merupakan diagram alir penerbitan informasi ZPPI dari citra satelit hingga diterbitkan dan digunakan secara langsung oleh pengguna.
Informasi ZPPI diterbitkan secara bulanan untuk setiap WPP (Wilayah Potensi Perikanan) di Indonesia, dan merupakan salah satu contoh pengaplikasian teknologi penginderaan jauh dalam membantu mendeteksi potensi perikanan di Indonesia.
Metode yang digunakan untuk mendapatkan lokasi rumpon yang optimal, dilakukan pertampalan (overlay) data dari parameter-parameter yang berpengaruh terhadap penempatan rumpon. Dari hasil pertampalan parameter-parameter tersebut, didapatkan lokasi yang direkomendasikan dan tidak direkomendasikan untuk menempatkan rumpon.
Dari hasil overlay data diperoleh bahwa terdapat sepuluh rumpon yang masuk pada area berbahaya. Sepuluh rumpon ini perlu diperhatikan sehingga dapat mengurangi dampak dari arus pisau. Selain itu ditentukan pula area rekomendasi penempatan rumpon yang baik yang memenuhi tiga kriteria yang ditetapkan yakni bebas dari area rawan arus pisau, terdapat potensi perikanan sepanjang tahun, dan juga masih masuk di daerah administrasi provinsi Gorontalo. Seperti pada gambar di atas, dapat dilihat area rekomendasi penempatan rumpon agar optimal. Selain area rekomendasi, terdapat juga area lokasi rumpon yang terdampak arus pisau.
Survei Lapangan
Survei lapangan di Pelabuhan Gorontalo dilakukan untuk memvalidasi data arus dan memperjelas mengenai penggunaan Rumpon oleh Nelayan Pelabuhan Gentuma khususnya dan Nelayan di Provinsi Gorontalo secara umum.
Nelayan Pelabuhan Gentuma menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan. Penggunaan rumpon diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2014 tentang Rumpon. Dalam Peraturan ini, terdapat ketentuan pembatasan kepemilikan rumpon paling banyak 3 rumpon. Peraturan ini sudah disosialisasikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, akan tetapi penerapannya masih ditangguhkan, dikarenakan pelaku usaha yang sudah beroperasi sebelum diterbitkannya Peraturan ini.
Pelaku usaha mengeluhkan hasil tangkapan ikan yang tidak optimal dengan kepemilikan rata-rata 10 rumpon, hal ini disebabkan karena metode penangkapan ikan yang biasa dilakukan adalah 1 Day Fishing sehingga membutuhkan banyak rumpon. Syarat untuk mengoperasionalkan rumpon adalah mempunyai kapal, akan tetapi pada pelaksanaannya di Gorontalo banyak pelaku usaha rumpon yang tidak memiliki kapal.
Rumpon di Provinsi Gorontalo memiliki biaya operasional beragam disesuaikan dengan kedalaman di lokasi penempatan rumpon. Rumpon bisa ditempatkan di kedalaman 3000-4000 m di Teluk Tomini, dengan biaya sampai Rp 80.000.000,00 dengan perawatan untuk mengganti rakit setiap 5-6 bulan sekali. Rumpon ditujukan untuk menangkap ikan pelagis yang berada cukup jauh dari pantai. Tali yang digunakan untuk rumpon adalah jenis PE dengan nomor 21,22, dan 23. Dalam pemasangannya, 100 meter bagian paling atas dari tali rumpon dilindungi oleh selang untuk mengantisipasi gesekan dengan senar nelayan. Selang tersebut juga digunakan pada 100 m paling bawah tali rumpon untuk melindungi tali dari gesekan dengan karang. Tali rumpon yang disiapkan perlu dilebihkan dari kedalaman laut, supaya rumpon bias menyesuaikan dengan pergerakan arus di lokasi tersebut.
Selain Rumpon, alat bantu untuk mencari ikan juga pernah digunakan data prediksi dari Lapan. Pada tahun 2017-2019, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo bekerja sama dengan Lapan. Dinas mengalokasikan unit Handphone khusus untuk para nelayan. Alur informasi berawal dari Lapan kemudian disampaikan pada Pusat Komando di Dinas Provinsi Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, kemudian disebarkan ke Handphone nelayan yang sudah dibagikan sebelumnya dengan masa berlaku data 3 hari. Akan tetapi, keakuratan data yang diberikan masih diragukan oleh nelayan di Gorontalo. Risiko yang dipertaruhkan oleh nelayan cukup besar untuk data yang menurut mereka tidak terlalu akurat, sekali berlayar minimal mengalokasikan biaya sebesar Rp 5.000.000,00. Upaya yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo untuk optimalisasi penggunaan data Lapan adalah dengan melakukan studi banding ke Indramayu yang sudah menggunakan data tersebut.
Berdasarkan keterangan dari pihak Lapan, data ZPPI sangat membantu untuk mengarahkan Nelayan untuk menangkap ikan. Setelah di lokasi yang ditunjukkan, baru nelayan menggunakan pengetahuan dan pengalamannya melihat variabel yang tercermin langsung pada kondisi arus, suhu, warna laut dan gelembung yang muncul dari bawah air. Harapan dari Nelayan yang telah menggunakan data ZPPI, informasi ZPPI yang dirinci lebih spesifik menjadi per spesies ikan yang ditangkap, atau dirinci berdasarkan kemampuan alat tangkap ikan.
Untuk mengevaluasi data ZPPI, Lapan mengadakan bimbingan teknis untuk informasi ZPPI di suatu wilayah tertentu, biasanya akan ada verifikasi bersama nelayan menuju lokasi ZPPI terdekat untuk membuktikan kebenaran informasi ZPPI. Berdasarkan Bimtek yang selama ini sudah dijalankan, didapati adanya ikan secara verifikasi visual maupun menggunakan alat bantu seperti fish finder. Hal tersebut sudah cukup membuktikan keakuratan informasi ZPPI. Terkait keberhasilan penangkapan itu merupakan urusan yang berbeda. Proses verifikasi dan validasi yang dilakukan Lapan selama ini terkendala ketiadaan data operasi tangkapan ikan di lapangan, dikarenakan para nelayan belum memiliki kesadaran untuk melakukan pencatatan dan seberapa pentingnya rekapitulasi data tersebut. Logbook yang diberikan oleh KKP tidak berjalan pencatatannya di lapangan.
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah yaitu:
Referensi
Asrudin, & Nasriani. (2018). Efisiensi Teknis Pemasangan Rumpon di Perairan Bone Bolango Provinsi Gorontalo. 1(2), 85–92.
Hamzah, R., Prayogo, T., & Harsanugraha, W. K. (2014). Identifikasi Thermal Front Dari Data Satelit Terra / Aqua Modis Menggunakan Metode Single Image Edge Detection ( Sied )( Studi Kasus : Perairan Utara Dan Selatan Pulau Jawa ). Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014, 2014.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 26/PERMEN-KP/2014 tentang Rumpon, Pub. L. No. 26/PERMEN-KP/2014, Nomor 26/Permen - KP/2014 (2014).
Nasution, Z., Amri, K., Arifin, T., Pranowo, W. S., D, J. H., Wibowo, S., Zulham, A., Syamdidi, Nugraha, B. A., Sumiono, B., Erlania, & Nurman, L. (2019). Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPP NRI 716. In Researchgate.Net. Amafradpress - Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.
Simbolon, D., Silvia, S., & Wahyuningrum, P. I. (2013). Pendugaan Thermal Front dan Upwelling sebagai Indikator Daerah Potensial Penangkapan Ikan di Perairan Mentawai (The Prediction of Thermal Front and Upwelling as Indicator of Potential Fishing Grounds in Mentawai Water). Marine Fisheries : Journal of Marine Fisheries Technology and Management, 4(1), 85. https://doi.org/10.29244/jmf.4.1.85-95
Wudianto, W., Widodo, A. A., Satria, F., & Mahiswara, M. (2019). Kajian Pengelolaan Rumpon Laut Dalam Sebagai Alat Bantu Penangkapan Tuna Di Perairan Indonesia. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, 11(1), 23. https://doi.org/10.15578/jkpi.1.1.2019.23-37