Menjembatani Petani dengan Akademisi di Kebun Penelitian ITB

Menjembatani Petani dengan Akademisi di Kebun Penelitian ITB

Tags: ITB SDGsQuality Education, Educational EnvironmentDevelopment Aid

Salah satu perwujudan ruang itu berupa kebun seluas tiga hektare milik Institut Teknologi Bandung (ITB) di Sumedang. Di kebun itu, teknologi terapan sederhana (applied technology) pertanian dicobakan dan ditularkan kepada masyarakat untuk meningkatkan produksi pertanian dan usaha pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Salah satu kebun ITB terletak di Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang yang sejak 1987 sudah dikelola ITB dan sejak 2020 pengelolaannya diserahkan kepada Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB. Dosen SITH ITB Dr. Taufikurahman menjelaskan, pengelolaan kebun ITB menawarkan konsep sistem pertanian dan peternakan terintegrasi (integrated farming) serta pengembangan metode-metode baru yang menjembatani praktik tradisi dan pengetahuan ilmiah.

Salah satu bentuk integrasi antara pertanian dan peternakan adalah pengelolaan limbah peternakan untuk pertanian, dan sebaliknya, limbah pertanian juga bisa dimanfaatkan untuk peternakan. Sistem ini sebenarnya sama sekali bukan hal yang baru. Secara tradisional, masyarakat sudah menerapkannya, kotoran sapi atau ayam bisa dijadikan pupuk organik dan serasah tumbuhan dijadikan sebagai kompos.

"Kami tambahkan dengan memasukkan mikroorganisme untuk mempercepat proses pelapukan material organik menjadi kompos. Lalu kami juga menunjukkan beberapa manfaat pupuk organik cair yang dibuat dari urine sapi yang kemudian difermentasi dengan bakteri dan dicampur dengan daun-daunan," tuturnya. Peternakan dan ikan yang dibudidayakan warga bisa mendapat sumber protein tinggi dari larva black soldier fly (BSF) yang juga dikembangkan di kebun.

Pengetahuan seperti itu tidak hanya disampaikan, tetapi juga dilatihkan kepada masyarakat sehingga petani mempunyai alternatif dalam bertani maupun berternak. Sistem yang diperkenalkan ini sejatinya menggunakan teknologi yang sederhana. Teknik-teknik yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan dan problem yang dihadapi masyarakat sekitar kebun.

Masyarakat di sana mengelola lahan yang tidak luas, rata-rata hanya mengelola sekitar setengah hektare lahan. Kondisi itu cocok dengan sistem pertanian terintegrasi, pertanian di lahan sempit tetap bisa dilakukan optimal dan hasilnya pun maksimal. Sudah ada sekitar 300-an kepala keluarga di desa tersebut. Sejauh ini, sudah 70 KK yang terjangkau dengan berbagai pelatihan ini. "Setelah pelatihan, sudah ada masyarakat yang mengaplikasikan. Mereka jadi mendapat alternatif yang lebih baik untuk menggarap lahannya," kata Dr. Taufikurahman.

Tidak mudah merangkul masyarakat yang sudah bertani dengan cara tradisional secara turun temurun. Sebagian besar petani juga berada pada ujung usia produktif. Mempelajari teknologi baru tentu tidak mudah dan belum semua petani terbiasa menggunakan berbagai referensi untuk menunjang aktivitasnya. "Jalan yang paling bisa ditempuh ialah memberi mereka contoh-contoh. Di kebun ITB inilah para petani bisa melihat contoh itu. Warga bisa melihat sistem pertanian terintegrasi di kebun ITB," ujarnya.

Dr. Taufikurahman mengatakan, usaha untuk memperkenalkan sistem pertanian alternatif ini tidak serta-merta mengubah total aktivitas bertani atau beternak warga. Sebaliknya, warga diajak untuk mengoptimalkan usaha yang sudah berjalan. la mencontohkan, masyarakat Desa Haurngombong banyak yang sudah beternak sapi dan mendapatkan penghasilan dari menjual susu. Selanjutnya yang diperkenalkan ialah bagaimana masyarakat bisa mengelola limbah kotoran sapi dengan menjadikan sebagai biogas untuk keperluan memasak.

Pengembangan peternakan di kebun ITB juga melihat dari usaha-usaha yang sudah dilakukan masyarakat. Misalnya saja ternak domba, ayam, kelinci, bebek, dan burung puyuh. Masyarakat diberi berbagai alternatif beternak yang lebih baik. Mereka bisa memilih yang sesuai dengan kemampuan dan minat mereka.

Kebun ITB juga menjadi laboratorium untuk mengembangkan berbagai metode atau teknik pertanian. Misalnya akuaponik yang menggabungkan akuakultur dengan hidroponik. Usaha membiakkan ikan bisa dilakukan sambil membudidayakan tanaman bermedia air. Teknik ini juga mampu menyiasati lahan kering atau kekurangan air. Metodenya menggunakan teknologi yang sederhana sehingga mudah diduplikasi oleh masyarakat.

Dialektika petani-akademisi

Tantangan terbesar dalam menjalankan program di masyarakat, kata Dr. Taufikurahman, ialah soal keberlanjutan program. Menyadari hal itu, pihaknya berupaya agar berbagai program untuk masyarakat ini disesuaikan dengan memahami kondisi sosiokultural masyarakat setempat sehingga masyarakat tidak resisten dengan berbagai hal baru yang ditawarkan.

Selain itu, program yang dilaksanakan harus bisa menjawab kebutuhan dan permasalahan masyarakat setempat. Misalnya saja mengatasi lahan kering dengan air yang terbatas, di antaranya dengan memilih komoditas yang tidak memerlukan banyak penyiraman seperti buah naga, dan singkong. Selain itu, para peneliti memperkenalkan sistem irigasi yang bisa digunakan di lahan kering, misalnya dengan teknik pengairan tetes (drip irrigation). Diperkenalkan pula lahan petanian tanpa perlu mencangkul (no dig farming) dengan pembuatan bak tanaman (raised garden bed) yang menggunakan kotak berbentuk segi empat dengan pembatas berupa kayu atau batu bata sebagai wadah media tumbuh tanaman. Selain itu, teknik permakultur yang ramah lingkungan dan kombinasi penanaman tanaman semusim dan menahun juga dicontohkan.

Saat ini di kebun ITB sudah ada contoh green house yang menjadi tempat pembibitan. Green house tersebut dibuat dari bahan yang murah. Masyarakat bisa belajar melakukan pembibitan yang baik dan mengurangi serangan hama.

Kebun ITB ini dirancang sebagai tempat bagi para akademisi untuk mengembangkan berbagai riset, terutama untuk penelitian terkait dengan pertanian, budi daya tumbuhan obat-obatan, tanaman hias, dan lainnya. Di kebun ini pula masyarakat bisa belajar langsung dan saling berbagi pengalaman dengan para akademisi untuk mendapatkan hasil pertanian yang lebih baik. Pengalaman petani merupakan kearifan lokal (local wisdom) yang bisa menjadi inspirasi para akademisi untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Dr. Taufikurahman mengatakan, pada masa yang akan datang, kebun ITB di desa Haurngombong ini akan ditata lebih baik. Lanskap akan didesain lebih rapi dan menarik sehingga bisa menjadi tempat wisata edukasi bagi pelajar dan mahasiswa. Kebun ini juga akan menjadi showcase untuk berbagai metode dan teknologi yang telah dikembangkan dan bisa diadopsi oleh masyarakat. Dialektika antara akademisi, peneliti, dan masyarakat inilah yang diciptakan dari pengelolaan kebun ITB dan menjadi proses yang penting untuk mewujudkan pertanian yang lebih menguntungkan dan berkelanjutan. (Deny Willy Junaidy Ph.D./Sekretaris Bidang Pengabdian Masyarakat LPPM ITB).***

1193

views