Menggali Sumber Energi Alternatif, Membangun Kemandirian Desa
Tags: ITB SDGs, Affordable and Clean Energy, Energy Efficiency, Clean Energy Technology
Ketua Pusat Pemberdayaan Desa (P2D) ITB Dr. Tri Desmana Rachmildha, S.T., M.T., menjelaskan, pada 2013-2014 ITB telah mengirimkan 150 mahasiswa mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) tematik ke Desa Cihurip, Garut.
Ketika itu, Cihurip belum teraliri listrik karena kondisi geografisnya memang tidak mudah dan lokasinya terpencil. "Kami membuat program pengembangan Desa Cihurip. Ada tiga tim besar, tim listrik, infrastruktur, dan pemberdayaan ekonomi.
Kami rekrut mahasiswa, terkumpul 150 mahasiswa," kata Dr. Tri saat diwawancara pada Sabtu (15/5/2021).
Melihat situasi lapangan saat itu, ternyata di Cihurip sudah ada turbin air bekas digunakan sebagai pembangkit listrik mikrohidro yang dibuat oleh mahasiswa Fisika ITB. Turbin tersebut sudah tidak bisa digunakan karena umurnya yang sudah lama meski struktur pengaliran air masih bisa digunakan. "Bagian paling penting dari perbaikan ini adalah kalau pembangkit ini dijalankan lagi, akan digunakan untuk apa? Jumlah (listrik yang dihasilkan) tidak besar, sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan dengan baik," tutur Dr. Tri.
Pembangkit listrik mikrohidro itu bisa menghasilkan 5 KW dan terutama dimanfaatkan untuk penerangan jalan. "Kami buat pemetaan wilayah mana saja, jalan mana saja yang biasa dilalui warga di malam hari," paparnya. Kemudian Listrik juga digunakan untuk menerangi masjid dan untuk digunakan di usaha penyisiran biji jagung.
Untuk memudahkan pengerjaan, tim listrik dibagi lagi menjadi tim pembangkitan yang mengurus generator listriknya, tim distribusi yang menyiapkan dan memasang tiang, menarik kabel dan sebagainya, serta tim beban listrik terkait dengan pemanfaatannya. "Mahasiswa latihan bekerja sama, tidak cuma tinggal pasang saja. Pembangkitkan bagaimana, mengirim, dan memanfaatkan, kerja sama dengan warga setempat. Baru kerasa memasang listrik ini tidak gampang. Akhirnya jadi terang sekali," katanya. Pada tahun berikutnya, ITB membantu memasang panel surya di sebuah pondok pesantren di Cihurip. Listrik dari tenaga surya ini mampu menjadi sumber penerangan di pesantren pada malam hari.
Dr. Tri mengatakan, mereka tidak ingin sekadar datang, lalu ditinggal begitu saja tanpa ada keberlanjutan. Setelah persoalan listrik terpecahkan, masyarakat diajak untuk berdaya lewat Huriput, merek yang terinspirasi dari Cihurip Food dari warga yang sudah mempunyai beberapa usaha makanan, seperti membuat wajik, kerupuk, dan budi daya lele. Lewat Huriput, mahasiswa ITB membantu warga untuk memproduksi abon lele, wajik, dan makanan lainnya yang lebih berdaya jual.
Upaya keras ITB turut serta membantu masyarakat dalam memenuhi sumber energi dan memanfaatkannya untuk pemberdayaan desa ini mendapat apresiasi dari para kampus yang tergabung dalam konsorsium universitas teknik se-Asia Pasifik. Mahasiswa asing yang tengah mengikuti Summer School di ITB itu diajak melihat langsung program ITB di Cihurip. "Mereka ikut di sana tiga hari. Terharu melihat bagaimana mahasiswa Indonesia membantu masyarakat sampai seperti itu," ujar Dr. Tri.
Kesuksesan di Cihurip ini kemudian diduplikasi di desa-desa lain. Pada 2015, ITB kembali membantu memasang panel surya di salah satu kantor kelurahan di Tasikmalaya. Tahun berikutnya, ITB kembali memasang panel surya di Dusun Sinar Laut, Desa Karangwangi, Kecamatan Mekarmukti, Kabupaten Garut.
Dr. Tri mengatakan, mencari sumber energi alternatif untuk desa bukan seperti mencari satu formula yang bisa diterapkan di semua desa. "Kami selalu melihat potensi desanya apa. Di Cihurip ada aliran sungai yang bagus dan sudah ada pembangkit. Di pesantrennya, letaknya jauh dari sungai, dan jauh dari tempat lain. Kalau harus menarik kabel jadi terlalu mahal, maka diputuskan untuk memasang solar cell," tuturnya.
Desa mandiri
Tahun ini P2D ITB mengembangkan tujuh program penelitian terkait dengan sumber energi, pembuatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), penataan lanskap, serta sistem informasi di Kabupaten Subang dan Bekasi. Dr. Tri mencontohkan, sumber energi yang akan digunakan di Subang nantinya berasal dari pemanfaatan biogas dari kotoran sapi. "Industrinya di sana sudah ada. Jadi nanti listrik yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk memanaskan susu atau untuk kebutuhan industri lainnya," ujar Tri.
Berbeda lagi dengan Desa Sukawijaya, Kabupaten Bekasi, sumber energi yang akan dibangun menjadi kebun energi berasal dari angin lantaran lokasinya di dekat laut. "Kami akan menginstal turbin angin. Jadi nanti anak-anak bisa belajar sumber energi dari angin. Kami akan buat display-nya, rencananya akan dipasang colokan untuk charging ditulisi bahwa listrik yang digunakan ini berasal dari angin," tuturnya.
Membangun desa, kata Tri, perlu diarahkan agar setiap desa memiliki ciri khas sesuai dengan potensinya. "Ciri khas ini penting untuk desa sehingga ativitasnya jelas. Ada yang memproduksi jagung, ada yang kuat di sektor perikanan. Desa-desa ini perlu diarahkan untuk mengetahui potensinya, kalau fokus di sana akan bisa berhasil. Mereka mengetahui jati dirinya," ucapnya.
Tugas lembaga pendidikan seperti ITB, kata Tri, mendukung upaya-upaya desa dengan membantu membuka jalan untuk mendapatkan apa yang diperlukan. Pembangunan desa, lanjutnya, tidak dimaksudkan untuk mengubahnya menjadi kota-kota baru, tetapi menjadikan desa-desa mandiri yang mampu menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi. (Deny Willy Junaidy, Ph.D./Sekretaris Bidang Pengabdian Masyarakat LPPM ITB)***