Mengembangkan Wastra Papua dengan Teknik Guta Tamarin

Mengembangkan Wastra Papua dengan Teknik Guta Tamarin

Tags: ITB4People, Community Services, Pengabdian Masyarakat, SDGs4

Pada April lalu, tim dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB), melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di Buti, Samkai, Me­rauke, Papua. Buri adalah sebuah kampung di Kelurahan Samkai, Kabupaten Merauke. Merauke merupakan kabupaten terluas sekaligus paling timur di Indonesia, sangat dekat dengan perbatasan Papua Nugini. Ja­rak dari Jayapura ditempuh kira-kira selama 2 jam dengan pesawat atau sekitar 10 jam dengan kendaraan. Wilayah ini berkembang cukup baik dan sedang melakukan pemba­ngunan dengan adanya rencana pemekaran menjadi kota madya.

Sungai-sungai besar merupakan potensi swnber air tawar untuk pengairan dan digu­nakan sebagai prasarana angkutan antarke­camatan dan desa. Lingkungan geografis dengan dataran mbur yang luas menjadi modal bagi mata pencaharian masyarakat untuk bertani. Tidak mengherankan jika wilayah ini merupakan penghasil padi terbesar di Papua. Selain bertani, sebagian penduduk juga bekerja sebagai nelayan. Mereka menjual hasil potensi laut karena dekat dengan pantai yang potensial juga sebagai kawasan wisata. Sayangnya, hal itu belum dikelola maksimal. Selain potensi wisata alam dan pantai, ada wisata lain yang atraktif, yakni kawasan perbatasan dengan negara Papua Nugini. Di wilayah itu ada kondisi yang unik, yakni bagaimana masyarakatnya berinteraksi barter barang dan benda-benda cendera mata dengan penduduk Papua Nugini.
 
Penduduk di wiilayah ini terdiri atas cam­puran beberapa suku yang cukup beragam karakter dan kebiasaannya. Suku asli yang terbesar populasinya ialah Marind-anim. Selain itu, ada suku Dani, Asmat, Korowai, Huli, dan Muyu. Selain susu-suku asli ini, ada pula para pendatang transmigran dari beberapa wilayah Indonesia bagian barat. Hal tersebut menjadikan penduduk asli Merauke terlihat berbaur dan toleran. Ke­banyakan penduduk transmigran bermata pencaharian di bidang kuliner. Ada pula sebagian lainnya yang bertani.

Potensi produk buatan masyarakat Merauke antara lain anyaman lidi berupa alat-alat rumah tangga produk suku Dani dan patung kayu produk suku Asmat yang sangat terkenalke mancanegara. Budi daya bunga anggrek juga menjadi unggulan utama karena potensi bunga langka dan liar di wilayah ini sangat beragam. Potensi lainnya ialah tradisi merajah dan melukis tubuh yang masih dilakukan di Papua se­hingga banyak yang memiliki kemampuan menggambar dengan sangat baik.

Atas dasar pengamatan ini, tim staf pengajar dari Program Studi Seni Rupa ITB tertarik mencari kemungkinan meman­faatkan kemampuan menggambar suku Papua yang potensial ini untuk diterapkan dalam produksi wastra (tekstil/kain) melalui pembelajaran teknik guta tamarin, yakni teknik baru mewarnai kain yang mirip dengan pembuatan motif batik colet (cap/tulis). Teknik inovatif ini sangat mudah dan ekonomis serta ramah lingkungan. Selain itu, belum ada produk kerajinan wastra di Papua. Potensi lainnya ialah motif khas Papua yang diterapkan padabatik tulis/cap/colet. Motif ini sangat diminati oleh turis lokal maupun internasional, tapi sayangnya hanya diproduksi di Jawa.

Kegiatan yang yang dilakukan tirn FSRD ini mendapat pendanaan melalui Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat ITB. Tujuan­nya melaksanakan program pembelajaran membatik teknik wastra guta tamarin yang diikuti puluhan siswa SMP, SMA, remaja putus sekolah, dan ibu rwnah tangga yang memiliki kernampuan rnerajut dan rneng­anyam. Suk.u-suku di Papua rata-rata me­miliki kecakapan dalarn seni dan kerajinan. Produk budaya seni dan desainnya berupa pa tung, senjata, alat musik, dan lainnya yang sudah dikenal luas bahkan ke mancanegara. Dengan begitu, tidak sulit bagi rim ITB untuk mengenalkan dan memotivasi pembuatan wastra guta tamarin ini. Program ini adalah upaya mengangkat kemampuan penduduk Papua untuk mengembangkan wastra khas seternpat melalui teknik guta tamarin. Teknik ini memungkinkan untuk dipelajari, dipro­duksi, sehingga berpeluang memulihkan ekonorni masyarakat di masa pandemi.

Tahap kegiatan

Kegiatan ini dipimpin Dr Nuning Y Dama­yanti rnewakili ketua tim yang berhalangan hadir. Kegiatan dilaksanakan selama 3 hari, setiap hari dimulai pada pukul 08.00 hingga 16.00 WIT. Pada hari pertama rim menjelas­kan teknik wastra guta tamarin, pengenalan bahan-bahan dasar, dan cara membuat guta tamarin. Caranya dengan mencampur tepung yang dibuat dari biji asam jawa (tamarin) dengan air hangat, min yak nabati/ mentega, dan asam cuka dengan takaran tertentu, kemudian diaduk sampai menjadi menjadi gel/pasta. Guta tamarin adalah pengganti lilin panas sehingga teknik ini sering kali juga disebut teknik batik lilin dingin. Guta tamarin berupa gel harus di­diamkan minimal 4 jam.

Tahap kedua ialah mernberi tugas kepada peserta untuk memilih objek dan meng­garnbar pada kertas, terutama memilih objek-objek sangat khas di Merauke atau Papua. Motif yang digambarkan seperti burung cenderawasih, kasuari, alat musik tifa, bunga anggrek, alat tangkap ikan lokal, atau alam Papua.

Pada tahap ketiga, para peserta diminta membentangkan kain dan menguncinya dengan hekter pada frame kayu yang su­dah disiapkan berukuran 40 x 60 cm untuk selendang dan 100 x 200 cm untuk kain sinjang. Selanjutnya memindahkan objek gambar ke permukaan kain. Setelah garnbar selesai dibuat, tahap selanjutnya ialah meng­alirkan gel guta tamarin pada permukaan kain sesuai dengan gambar yang dibuat. Tahap ini adalah tahap yang tersulit karena peserta belwn terbiasa mengalirkan gel pada garis objek gambar. Mungkin karena pada dasamya mereka sudah terlatih membuat produk kria, kebanyakan peserta dengan mudah menguasainya. Setelah selesai me­nerapkan guta tamarin, penjemuran harus dilakukan sampai guta merekat dengan baik dan mengering sehingga meyerupai garis-­garis seperti lilin kering pada batik rulis.

Pada hari kedua dilanjutkan ke tahap pewamaan. Peserta diajari cara mengencer­kan bibit warna, menggunakan kuas, dan beberapa teknik membuat tekstur dengan garam dan busa untuk mewarnai bidang yang besar. Proses pewamaan adalah proses yang sangat menyenangkan karena ada unsur surprise. Ketika sudah mengering dan dipanaskan dengan menyetrikanya, wama menjadi sangat kuat dan cerah. Se­telah disetrika lalu diplorod dengan cara mencuci tanpa detergen agar guta tamarin dibilas dan menjadi bersih. Selanjutnya dikeringkan dan bisa langsung kering dengan cara dijemur. Setelah kering, harus disetrika kembali dan pekerjaan selesai. 

Sayangnya, di hari ketiga atau hari terakhir kegiatan, ada kendala karena tiba-tiba hujan lebat sehingga ada sebagian karya yang be­lum kering dan terpaksa harus dikeringkan tanpa matahari. Meskipun ada kendala hujan, melihat dan menilai hasil program pelatihan tahap pertama ini sungguh di luar dugaan. Peserta membuat karya-karya yang unik dan ti.dak ada yang gagal. Pelatihan dan pembelajaran teknik wastra guta tamarin bisa dengan cepat bis a dipelajari dan diprak­tikkan langsung oleh sernua peserta.
 
Melihat antusiasme yang tinggi dari peserta, Tim FSRD merasa optimistis apa­bila program ini berkelanjutan dan peserta dibekali bahan dasar untuk terus berkarya, mereka bisa mengembangkannya secara mandiri. Hal itu sangat memungkinkan karena teknik ini sangat mudah dipelajari dan sangat efisien serta ekonomis. Efisiensi waktu didapat karena pengerjaannya lebih cepat selesai daripada pembuatan batik tradisional. (M-4)

787

views