Kegiatan pariwisata merupakan salah satu cara pemanfaatan jasa lingkungan, yang mempunyai peran signifikan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sektor ini selain dapat menyediakan keuntungan ekonomi dan sosial juga mampu menjadi alat yang efektif untuk pelestarian lingkungan alam dan budaya. Pariwisata telah banyak dimanfaatkan sebagai strategi yang penting untuk pembangunan pedesaan (Frederik, 1993; Fleischer dan Felsenstein, 2000; Briedenhann dan Wickens, 2004; Edgell, dkk., 2008). Pariwisata tersebut dikembangkan sebagai alternatif dari sektor pertanian (Fleischer dan Tchetchik, 2005).
Sebanyak 75% dari populasi orang miskin di dunia hidup di perdesaan (Nedelea, dan Okech, 2008). Minimnya industri manufaktur, rendahnya hasil pertanian serta tingginya migrasi generasi muda berpendidikan menjadi problematika yang dihadapi pedesaan. Namun demikian pedesaan memiliki hamparan tanah yang luas, sumber air yang memadai, serta topografi yang menarik untuk kegiatan wisata (Edgell, dkk., 2008). Sehingga melalui sektor pariwisata masyarakat pedesaan dapat meningkatkan net benefit-nya dari partisipasi mereka dalam mengelola produk pariwisata.
Desa memiliki potensi sebagai destinasi wisata yang berbasis komunitas dan berlandaskan pada kearifan lokal kultural masyarakatnya dan juga dapat sebagai pemicu peningkatan ekonomi yang berprinsip gotong royong dan berkelanjutan.
Hal ini sesuai dengan konsep membangun dari pinggiran atau dari desa untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia dengan menggali potensi lokal dan pemberdayaan masyarakatnya yang dicanangkan oleh pemerintah sebagai program prioritas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa yang menjelaskan bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah tingkat desa memiliki otonomi sendiri untuk mengelola sumber daya dan arah pembangunannya.
Kearifan lokal adalah roh utama dalam pengelolaan desa wisata. Nilai kearifan lokal terwujud dalam masyarakat melalui nilai keunikan budaya maupun tradisi yang dimiliki oleh masyarakat, nilai keotentikan yang sudah mandarah daging dalam budaya masyarakat setempat, serta keaslian nilai-nilai tradisi yang muncul di masyarakat. Nilai - nilai ini yang akan menarik wisatawan mengunjungi Desa Wisata. Salah satu model pengembangan pariwisata yang memberdayakan masyarakat dengan Community Based Tourism (CBT) adalah pengembangan desa wisata.
Pembangunan kepariwisataan, khususnya model desa wisata, memerlukan dukungan dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan di bidang pariwisata. Masyarakat adalah salah satu unsur penting pemangku kepentingan untuk bersama-sama dengan pemerintah dan kalangan usaha/ swasta bersinergi melaksanakan dan mendukung pembangunan kepariwisataan. Oleh karena itu pembangunan kepariwisataan harus memperhatikan posisi, potensi dan peran masyarakat baik sebagai subjek atau pelaku maupun penerima manfaat pengembangan, karena dukungan masyarakat turut menentukan keberhasilan jangka panjang pengembangan kepariwisataan.
Dukungan masyarakat dapat diperoleh melalui penanaman kesadaran masyarakat akan arti penting pengembangan kepariwisataan. Untuk itu dibutuhkan proses dan pengkondisian untuk mewujudkan masyarakat yang sadar wisata. Masyarakat yang sadar wisata akan dapat memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai penting yang terkandung dalam Sapta Pesona, yaitu : Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah dan Kenangan. Yang merupakan 7 (tujuh) unsur pesona yang harus diwujudkan bagi terciptanya lingkungan yang kondusif dan ideal bagi berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat yang mendorong tumbuhnya minat wisatawan untuk berkunjung.
Peningkatan peran masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan memerlukan berbagai upaya pemberdayaan (empowerment), agar masyarakat dapat berperan lebih aktif dan optimal serta sekaligus menerima manfaat positif dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan untuk peningkatan kesejahteraannya.
Pemberdayaan Masyarakat dalam konteks pembangunan kepariwisataan dapat didefinisikan sebagai :
“Upaya penguatan dan peningkatan kapasitas, peran dan inisiatif masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan, untuk dapat berpartisipasi dan berperan aktif sebagai subjek atau pelaku maupun sebagai penerima manfaat dalam pengembangan kepariwisataan secara berkelanjutan”. (Renstra Dit. Pemberdayaan Masyarakat, 2010)
Definisi tersebut menegaskan posisi penting masyarakat dalam kegiatan pembangunan, yaitu masyarakat sebagai subjek atau pelaku pembangunan, dan masyarakat sebagai penerima manfaat pembangunan.
Masyarakat sebagai subyek atau pelaku pembangunan, mengandung arti, bahwa masyarakat menjadi pelaku penting yang harus terlibat secara aktif dalam proses perencanaan dan pengembangan kepariwisataan, bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait lainnya baik dari pemerintah maupun swasta. Dalam fungsinya sebagai subjek atau pelaku masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab untuk bersama-sama mendorong keberhasilan pengembangan kepariwisataan di wilayahnya.
Masyarakat sebagai penerima manfaat, mengandung arti, bahwa masyarakat diharapkan dapat memperoleh nilai manfaat ekonomi yang berarti dari pengembangan kegiatan kepariwisataan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat yang bersangkutan.
Dalam kerangka pembangunan kepariwisataan tersebut, salah satu aspek mendasar bagi keberhasilan pembangunan kepariwisataan adalah dapat diciptakannya lingkungan dan suasana kondusif yang mendorong tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat. Iklim atau lingkungan kondusif tersebut terutama dikaitkan dengan perwujudan Sadar Wisata dan Sapta Pesona yang dikembangkan secara konsisten di kalangan masyarakat yang tinggal di sekitar destinasi pariwisata.
Sadar wisata dalam hal ini digambarkan sebagai bentuk kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam 2 (dua) hal berikut, yaitu :
Terwujudnya ketujuh unsur Sapta Pesona dalam pengembangan kepariwisataan di daerah akan bermuara pada:
Sadar Wisata dan Sapta Pesona sebagai unsur penting dalam mendukung pengembangan destinasi pariwisata tentu tidak dapat terwujud secara otomatis tanpa adanya langkah dan upaya-upaya untuk merintis, menumbuhkan, mengembangkan dan melaksanakan secara konsisten di destinasi pariwisata. Oleh karena itu, perlu ditumbuhkan peran serta masyarakat secara aktif dalam mengembangkan Sadar Wisata dan Sapta Pesona bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait lainnya.
Dukungan masyarakat dapat diperoleh melalui penanaman kesadaran masyarakat akan arti penting pengembangan kepariwisataan. Untuk itu dibutuhkan proses dan pengkondisian untuk mewujudkan masyarakat yang sadar wisata. Masyarakat yang sadar wisata akan dapat memahami dan mengaktualisasikan nilai- nilai penting yang terkandung dalam Sapta Pesona.
Mengembangkan kelompok masyarakat yang dapat berperan sebagai motivator, penggerak serta komunikator dalam upaya meningkatkan kesiapan dan kepedulian masyarakat di sekitar destinasi pariwisata atau lokasi daya tarik wisata agar dapat berperan sebagai tuan rumah yang baik bagi berkembangnya kepariwisataan, serta memiliki kesadaran akan peluang dan nilai manfaat yang dapat dikembangkan dari kegiatan pariwisata untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Dalam hal ini Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) atau kelompok penggerak pariwisata sebagai bentuk kelembagaan informal yang dibentuk anggota masyarakat (khususnya yang memiliki kepedulian dalam mengembangkan kepariwisataan di daerahnya), merupakan salah satu unsur pemangku kepentingan dalam masyarakat yang memilki keterkaitan dan peran penting dalam mengembangkan dan mewujudkan Sadar Wisata dan Sapta Pesona di daerahnya.
Pokdarwis merupakan salah satu komponen dalam masyarakat yang memiliki peran dan kontribusi penting dalam pengembangan kepariwisataan di daerahnya. Keberadaan Pokdarwis tersebut perlu terus didukung dan dibina sehingga dapat berperan lebih efektif dalam turut menggerakkan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di sekitar destinasi pariwisata.
Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, mempunyai perhatian sangat besar dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan dengan model desa wisatanya. Melalui program pengabdian pada masyarakat, para dosen dibidangnya berusaha membantu dan mendampingi masyarakat desa untuk mengembangkan model desa wisata yang berkelanjutan.
Tim Dosen SITH-ITB yang diketuai oleh Dr. Yooce Yustiana melalui program pengabdian pada masyarakat Bottom Up LPPM-ITB 2023 melakukan pengembangan desa wisata di Kampung Gamta dan Kampung Magey Distrik Misool Barat Kabupaten Raja Ampat Papua Barat. Tujuan dari pelaksanaan program Pengabdian Masyarakat ini adalah :
(1) Pembentukan dan penguatan kapasitas manajemen dan kelembagaan kelompok sadar wisata Kampung Gamta dan Kampung Magey, sehingga tujuan pembentukan kelompok sadar wisata yaitu :
a. Meningkatkan posisi dan peran masyarakat sebagai subjek atau pelaku penting dalam pembangunan kepariwisataan, serta dapat bersinergi dan bermitra dengan pemangku kepentingan terkait dalam meningkatkan kualitas perkembangan kepariwisataan di daerah.
b. Membangun dan menumbuhkan sikap dan dukungan positif masyarakat sebagai tuan rumah melalui perwujudan nilai-nilai Sapta Pesona bagi tumbuh dan berkembangnya kepariwisataan di daerah dan manfaatnya bagi pembangunan daerah maupun kesejahteraan masyarakat.
c. Memperkenalkan, melestarikan dan memanfaatkan potensi daya tarik wisata yang ada di masing-masing daerah.
bisa terbangun dan melembaga.
(2) Untuk rencana keberlanjutan program, kelompok sadar wisata tersebut dapat dijadikan Mitra bagi Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai laboratorium lapangan untuk menunjang proses belajar mengajar di ITB. Juga dapat dijadikan tempat pengabdian pada masyarakat secara berkesinambungan (Desa Wisata Binaan) serta dijadikan sebagai lokasi penelitian baik bagi para dosen maupun mahasiswa
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pengembangan desa wisata tersebut diantaranya : (1) memberikan pelatihan tentang manfaat ekonomi, social dan lingkungan desa wisata, serta bagaimana cara mengidentifikasi potensi dan mengembangkannya sehingga terpelihara keberlanjutan dalam pengusahaannya ; (2) mendampingi masyarakat dalam pembentukan POKDARWIS , struktur organisasinya dan job description dari mulai ketua sampai dengan seksi-seksinya ; (3) mendampingi menyusun rencana kerja atau Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD ART) POKDARWIS ; (4) mendampingi cara mengidentifikasi potensi wisata yang dapat dikembangkan, tantangan dan permasalahannya serta solusinya ; (5) mendampingi bagaimana cara membangun jaringan dengan pelaku usaha pariwisata pihak swasta ; dan (6)mendampingi pembuatan surat permohonan dari kepala kampung yang ditujukan kepada Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat untuk mengukuhkan POKDARWIS yang telah dibentuk.
Nama POKDARWIS Kampung Gamta adalah “GAMTA BASEFTIN” dan sebagai ketuanya adalah Hasbid Jemformasi , sedangkan nama POKDARWIS Kampung Magey adalah “MAGEY MAT WOLOS” yang diketuai oleh Yahya Jemput. Kedua pokdarwis tersebut, dengan dibantu tim dosen SITH-ITB sudah memperoleh Surat Keputusan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat Tentang Pengukuhan Kelompok Sadar Wisata dengan Nomor : 11/SK/KSW/DISPAR-RA/2023 untuk Kampung Gamta, dan Nomor : 12/SK/KSW/DISPAR_RA/2023 untuk Kampung Magey. Semoga dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pengukuhan POKDARWIS dari Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat ini dapat meningkatkan posisi dan peran masyarakat Kampung Gamta dan Kampung Magey sebagai subyek atau pelaku penting dalam pembangunan kepariwisataan, serta dapat bersinergi dan bermitra dengan pemangku kepentingan terkait dalam meningkatkan kualitas perkembangan kepariwisataan di daerahnya.
Respon positif dari Masyarakat Kampung Gamta dan Kampung Magey dalam menerima sosialisasi dan mengimplentasikan program desa wisata ditunjukkan dari semangat pokdarwis dengan aparat kampung juga distrik yang sudah mulai bersinergi menyusun program kerja dengan membenahi kampungnya, diantaranya meningkatkan kebersihan kampungnya, yang semula tidak tersedia tempat sampah, sekarang di setiap jarak tertentu sudah tersedia tempat sampah. Menggali potensi jasa/produk wisata local yang akan dikembangkan, seperti di Kampung Gamta akan mengembangkan wisata mancing ikan black bush, kerajinan bambu, dan wisata mangrove, sedangkan di Kampung Magey akan mencoba mengembangkan wisata bird watching cendrawasih dan air terjun.
Tim dosen SITH-ITB pun membuat jaringan untuk menyambungkan antara POKDARWIS di kampung Gamta dan Kampung Magey dengan pelaku swata bidang pariwisata di daerahnya. Respon positif dari pelaku pariwisata swasta, yaitu “Lalelkai Nature Logde – Misool” yang dikelola oleh Ir. Edhi Yansyah, bahwa apabila atraksi/produk wisata yang akan dikembangkan di Kampung Gamta dan Kampung Magey sudah siap, maka ke-2 Desa Wisata tersebut menjadi bagian dari paket wisata yang ditawarkan untuk dikunjungi oleh wisatawan-wisatawan baik WNA maupun WNI yang berkunjung dan menginap di resort-nya. Menurut Bapak Edhi Yansyah, Bahkan untuk atraksi wisata “Bird Watching” burung cendrawasih sudah banyak wisatawan asing yang berkunjung ke resort-nya, menanyakan dan ingin menikmati atraksi wisata tersebut.
Langkah awal ITB dalam program mengembangkan desa wisata di wilayah Misool Barat Raja Ampat, diharapkan jadi pondasi untuk program-program peningkatan kesejahteraan masyarakat berbasis desa untuk selanjutnya. Akan terus dilakukan peningkatan kapasitas masyarakat dan pokdarwis kampung/desa wisata dalam hal pemanfaatan teknologi tepat guna untuk menghasilkan produk/atraksi wisata serta unsur penunjang kegiatan pariwisata lainnya, juga peningkatan kapasitas manajemen dan bisnis untuk menjadikan kampung/desa wisata di wilayah Raja Ampat sebagai pelaku penting dalam pembangunan kepariwisataan.
TULISAN PENDUKUNG
Kegiatan pembangunan kepariwisataan, sebagaimana halnya pembangunan di sektor lainnya, pada hakekatnya melibatkan peran dari seluruh pemangku kepentingan yang ada dan terkait. Pemangku kepentingan yang dimaksud meliputi 3 (tiga) pihak yaitu: Pemerintah, Swasta dan Masyarakat, dengan segenap peran dan fungsinya masing- masing.
Masing-masing pemangku kepentingan tersebut tidak dapat berdiri sendiri, namun harus saling bersinergi dan melangkah bersama-sama untuk mencapai dan mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan yang disepakati. Gambar 1.1. dibawah ini menunjukkan keterkaitan dan sinergi antar pemangku kepentingan dalam kegiatan pembangunan kepariwisataan
Gambar 1.1. Pemangku Kepentingan dalam Pembangunan Pariwisata
(Sumber : Murphy, 1990)
Peran dan fungsi masing-masing pemangku kepentingan tersebut adalah sebagai berikut :
1) Pemerintah sesuai dengan tugas dan kewenangannya menjalankan peran dan fungsinya sebagai fasilitator dam pembuat peraturan (regulator) dalam kegiatan pembangunan kepariwisataan.
2) Kalangan Swasta (pelaku usaha/ industri pariwisata) dengan sumber daya, modal dan jejaring yang dimilikinya menjalankan peran dan fungsinya sebagai pengembang dan atau pelaksana pembangunan kegiatan kepariwisataan;
3) Masyarakat dengan sumber daya yang dimiliki, baik berupa adat, tradisi dan budaya serta kapasitasnya, berperan sebagai tuan rumah (host), namun juga sekaligus memiliki kesempatan sebagai pelaku pengembangan kepariwisataan sesuai kemampuan yang dimilikinya.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kedudukan dan peran penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan. Oleh karena itu dalam kerangka kegiatan pembangunan kepariwisataan dan untuk mendukung keberhasilan pembangunan kepariwisataan, maka setiap upaya atau program pembangunan yang dilaksanakan harus memperhatikan posisi, potensi dan peran masyarakat sebagai subjek atau pelaku pengembangan.
Dalam kaitan inilah, program pemberdayaan masyarakat melalui kepariwisataan merupakan langkah penting yang perlu dilaksanakan secara terarah dan berkesinambungan untuk menyiapkan masyarakat agar semakin memiliki kapasitas dan kemandirian, serta berperan aktif dalam mendukung keberhasilan pembangunan kepariwisataan di tingkat lokal, regional dan nasional.