Mengawal Keberlangsungan Pesisir Cirebon

Mengawal Keberlangsungan Pesisir Cirebon

Tags: ITB4People, Community Services, Pengabdian Masyarakat, SDGs4

Pesisir Cirebon merupakan salah satu pesisir terpadat di pantai utara (Pantura). Menghadap ke Laut Jawa, pesisir Cirebon memiliki sedimen lumpur yang sangat halus sehingga perairan ini  berwarna gelap. Namun demikian, pesisir dan perairan Cirebon memiliki peran penting dalam mendukung kegiatan ekonomi masyarakat, menunjang kegiatan wisata, keberlangsungan aktivitas Pelabuhan sebagai jalur transportasi antar kepulauan Indonesia (khususnya jalur batubara dan perikanan) dan tempat sumber energi listrik masyarakat sekitar yaitu PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).

Kepadatan penduduk yang terus meningkat dan berbagai aktivitas yang ada di pesisir maupun perairan Cirebon yang belum terkelola dengan baik merupakan salah satu faktor timbulnya permasalahan lingkungan. Dari beberapa tempat yang ada di pesisir Cirebon ditemukan banyaknya sampah yang menumpuk dan adanya perubahan garis pantai dari tahun ke tahun yang cukup signifikan. Selain itu, adanya sungai yang bermuara ke laut tidak menutup kemungkinan membawa berbagai polutan dari darat sehingga menyebabkan kualitas air laut di perairan Cirebon menjadi turun.

Keberadaan multi kampus di Cirebon dan juga fasilitas peralatan serta kapal riset bersama Korea -Indonesia MTCRC (Marine Technology and Cooperation Research Center) yang berlokasi di Cirebon, mendorong kelompok keahlian oseanografi untuk melaksanakan beberapa penelitian dalam upaya menjawab permasalahan yang ada di pesisir dan perairan Cirebon. Dalam rangka penerapan Tridharma Perguruan Tinggi melalui program Penelitian, Pengabdian Masyarakat dan Inovasi (PPMI), Kelompok Keahlian Oseanografi melakukan pengabdian masyarakat berupa penyampaian informasi dari hasil penelitian yang telah dilakukan kepada pemangku kepentingan yang ada di kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon mengenai keadaan perairan pesisir Cirebon dan forum diskusi. Harapannya, dari informasi yang disampaikan tersebut dapat dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan guna keberlangsungan pesisir dan perairan Cirebon.

Pada Jumat, 24 Juni 2022 puncak dari kegiatan pengabdian masyarakat yang diselenggarakan oleh kelompok keahlian oseanografi bersama Korea -Indonesia MTCRC (Marine Technology and Cooperation Research Center) dilaksanakan. Kegiatan ini berupa forum diskusi bertempat di ITB Kampus Cirebon Arjawinangun yang dihadiri oleh perwakilan dari instansi-instansi terkait dan siswa-siswi dari beberapa sekolah yang ada di Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon.

Kegiatan sosialisasi ini dibuka oleh ketua Kelompok Keahlian Oseanografi FITB ITB, sekaligus Wakil Dekan Sumberdaya FITB Dr. rer. nat. Mutiara R. Putri yang secara ringkas menjelaskan keberadaan ITB multi kampus di Cirebon. Kemudian dilanjutkan dengan promosi singkat Prodi Oseanografi Ganesha dan Cirebon FITB ITB oleh Prof. Dr. Eng. Nining Sari Ningsih. Sesudah promo Prodi Oseanografi, peserta dibagi ke dalam dua ruangan dalam menjalankan adaptasi baru. Ruangan I diisi oleh pemangku kepentingan yang berasal dari berbagai instansi yang ada di Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon. Sedangkan Ruangan II diisi oleh siswa/siswi SMU yang berasal dari Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon.

 

Kegiatan di Ruangan I

Pemateri pertama dalam kegiatan adalah Dr. Eng. Hamzah Latief yang memaparkan mengenai kondisi pesisir Cirebon seperti perubahan garis pantai yang terjadi hingga tindakan preventif berupa mitigasi bencana yang dapat dilakukan. Disampaikan bahwa kenaikan muka air laut akan terus terjadi sebagai akibat dari perubahan iklim. Apabila langkah preventif tidak diambil, maka di masa depan pesisir Cirebon beresiko tenggelam. Selain itu, apabila penggunaan air tanah tidak terkendali maka kasus penurunan tanah seperti yang terjadi di Semarang dan Jakarta dapat terjadi di Cirebon. Sehingga, langkah preventif yang dapat dilakukan untuk melakukan proteksi pesisir Cirebon adalah perlu dilakukan rekayasa pantai yang baik.

Cirebon memiliki karakteristik pantai dengan kemiringan yang landai, berpasir kasar, halus, hingga berlumpur. Banyaknya kegiatan manusia di wilayah pesisir seperti industri, perikanan, hingga agrikultur memengaruhi kondisi pesisir. Tantangan yang dihadapi oleh pesisir Cirebon adalah kenaikan muka air laut, degradasi ekosistem, dan perubahan morfologi pantai. Perubahan morfologi pantai yang paling mudah diamati adalah perubahan garis pantai. Perubahan garis pantai terjadi akibat adanya proses abrasi dan sedimentasi. Akresi atau sedimentasi yang terjadi di wilayah Cirebon disebabkan oleh sungai-sungai besar yang mendeposisikan sedimen dengan jumlah yang cukup banyak. Abrasi menyebabkan pengurangan lahan dan menyebabkan kerusakan area tambak masyarakat.

Perubahan garis pantai yang paling mencolok berada pada wilayah Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Pada wilayah tersebut selama tahun 1997 hingga 2022 telah terjadi abrasi yang menyebabkan mundurnya garis pantai sejauh 913 meter ke arah darat. Sedangkan, berdasarkan prediksi secara linear untuk perubahan garis pantai Cirebon tahun 2030, apabila tidak adanya pengelolaan dan manajemen pesisir yang baik maka sebagian besar wilayah Cirebon khususnya Kecamatan Losari akan mengalami abrasi yang cukup tinggi. Sedangkan, di sebelah timur wilayah ini diprediksi akan mengalami akresi. Akibatnya, di masa depan akan ada konflik lahan dengan wilayah sekitar yang berbatasan langsung.

Berdasarkan hasil analisis mengenai kenaikan muka air laut, kota Cirebon memiliki ancaman bahaya kenaikan muka air laut reguler dengan tingkatan sangat rendah hingga rendah (0.3 hingga 1.0 meter). Namun, pada masa yang akan datang (2030) ancaman ini dapat meningkat dengan tingkatan sedang (1.0 hingga 2.0 meter) apabila terdapat akumulasi bencana hidro-oseanografi terutama pada kondisi ekstrem pasut HHWL. Sedangkan, berdasarkan wilayah rendaman maka dengan bertambahnya tahun frekuensi rendaman akan meningkat menjadi 6 kali untuk proyeksi di tahun 2025 – 2029 dengan ketinggian rendaman 176.97 cm (baseline) menjadi 181.89 cm (projection) di Pesisir Pantai Cirebon.

Sehingga, diperlukan adanya adaptasi untuk mengurangi akibat dari kenaikan muka air laut. Saat ini sudah dilakukan pembangunan tembok laut untuk mengurangi dampak dari kenaikan muka laut. Namun, tantangan di masa depan perlu adanya adaptasi untuk menjaga agar kerentanan yang ada dijauhkan dari bahaya khususnya daerah dengan potensi ancaman. Adaptasi yang dianjurkan yaitu: a) Hard Protection dimana proteksi pantai dilakukan dengan membangun struktur pantai seperti tembok pantai ataupun breakwater, b) Soft Protection dimana proteksi pantai dilakukan dengan meningkatkan kemampuan dari pelindung alami seperti terumbu karang, gumuk pasir, dan hutan pesisir, dan c) Hybrid, yang menggabungkan adaptasi Hard dan Soft Protection.

Selanjutnya, kajian persebaran polutan dan nutrien di perairan Cirebon disampaikan oleh Dr.  Lamona I. Bernawis, M. Sc. Riset ini sebenarnya masih berjalan. Didanai oleh program Pengembangan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Materi 2022 dalam CORE (Center for Oceanographical Research and Education), riset tahun ini bertujuan untuk mengetahui sebaran nutrien (fosfat dan nitrat) dan polutan berupa logam berat (Hg, Cd, Pb) di perairan Cirebon. Karena masih berjalan, maka yang disampaikan hanya berdasarkan hasil survei yang pertama yang sudah dilakukan Cirebon.  Dalam presentasi ini, sebaran suhu, salinitas, klorofil, nutrien dan logam berat serta vektor arus perairan Cirebon dijelaskan. Suhu permukaan laut perairan Cirebon berkisar pada nilai 30 – 31.4°C.  Salinitas relatif rendah.

 Juga ditemukan bahwa konsentrasi nitrat cukup tinggi melebihi normal, sehingga perlu dikonfirmasi kembali dengan hasil survei-observasi yang akan dilaksanakan di kemudian hari. Adapun dugaan penyebab nitrat yang cukup tinggi adalah karena pengambilan sampel air laut dilakukan persis sehari sesudah badai. Kejadian badai dapat mengaduk perairan, sehingga unsur nutrient/hara yang mengendap di dasar bisa naik ke kolom air yang lebih dekat permukaan. Khususnya perairan di depan pesisir Cirebon yang disurvei rata-rata kedalaman maksimalnya hanya 10m.  Konsentrasi polutan untuk logam berat relatif aman. Selanjutnya jika sudah dilakukan tiga kali observasi dalam musim yang berbeda, akan dianalisis lebih lanjut. Dari hasil survei pertama ini, diketahui bahwa konsentrasi nitrat cukup tinggi, sehingga perlu dikonfirmasi kembali dengan hasil survei-survei yang akan dilaksanakan di kemudian hari, sedangkan untuk konsentrasi polutan untuk logam berat relatif aman. 

Materi terakhir di sampaikan oleh pihak Korea-Indonesia MTCRC mengenai kegiatan penelitian dan survei yang telah dilakukan di pesisir dan perairan Cirebon sejak 2020 hingga 2022 yang diwakilkan oleh Riam Badriana, M. Eng. dan Umar Abdurrahman, M. Si. MTCRC diperkenalkan secara singkat dan melalui perkenalan secara singkat dan video. Setiap instrumen yang telah diberikan oleh Korea kepada ITB melalui program hibah diperkenalkan satu per satu seperti intrumen MBES (Multi-beam Echosounder) dan SBES (Single Beam Echosounder) untuk pengukuran kedalaman laut, SBP (Sub Bottom Profiler) untuk mengukur ketebalan lapisan sedimen bawah laut, ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) untuk pengukuran arus laut, CTD untuk mengukur parameter fisis dan lingkungan laut, grab sample untuk mengambil sedimen, peralatan analisis kimia, instrumen pasang surut, AWS (Automatic Weather System) sebagai stasiun cuaca di pelabuhan, server untuk pemodelan laut wilayah Cirebon, dan lainnya. Kegiatan penelitian di Cirebon ini terkait dengan adanya program ODA (Official Development Assistant) antara Korea dan Indonesia. Pada tahun 2020, pengukuran batimetri dan kedalaman dilaksanakan di wilayah perairan Pelabuhan Kejawanan sedangkan pada tahun 2021 dan 2022, kegiatan survey dilaksanakan di perairan Cirebon yang lebih dalam. Kegiatan lainnya melibatkan pengukuran arus, pasang surut, perubahan garis pantai, tutupan mangrove, kualitas air laut, hingga sampel sedimen. Di samping kegiatan survei, kegiatan seperti peningkatan kualitas sumber daya manusia melaui pelatihan kerap dilaksanakan. Dengan adanya pelatihan, baik secara online dan offline, diharapkan mampu menambah kemampuan dan pengetahuan pelajar, akademisi, maupun para pemangku kepentingan.

Untuk penelitian dinamika pesisir, Umar menjelaskan pemanfaatan masing-masing drone yang dimiliki di kantor MTCRC dan juga survei pantai yang pernah dilakukan di Cirebon, yakni di wilayah Gunungjati, Lemahwungkuk, Rawa Urip, Karang Anom, dan Losari. Berdasarkan garis tren perubahan garis pantai telah diamati melalui citra satelit dari tahun 1996-2021, area erosi terlihat di daerah Losari dan Pangenan, sedangkan sedimentasi terjadi di banyak tempat, meskipun lajunya lebih rendah dibandingkan dengan erosi. Kajian ini telah diinformasikan kepada Bappelitbangda sebagai pemangku kepentingan lokal dan dipublikasikan secara ilmiah. Proyeksi garis pantai untuk 10 dan 20 tahun mendatang digambarkan untuk memberikan wawasan kepada para partisipan. Drone memiliki kualitas dan resolusi yang lebih baik dibandingkan dengan pengamatan satelit, meskipun cakupan area pengamatan tidak seluas satelit. Dari hasil drone dapat dilihat lokasi actual monitoring, antara lain hard structure, mangrove (soft structure), salt pond, dll.

 

Kegiatan di Ruangan II

Kegiatan sosialisasi dilakukan juga di ruangan II hanya saja dari segi materi disesuaikan sehingga, informasi yang disampaikan dapat diterima oleh siswa dan siswi. Pemateri di ruangan dua ini diisi oleh Avissa Putri dan Joni Syofian yang merupakan mahasiswa dari program studi oseanografi serta Indrawan Fadhil Pratyaksa, S. Si. yang merupakan perwakilan dari Korea – Indonesia MTCRC. Materi pertama disampaikan oleh Avissa Putri mengenai perubahan garis pantai yang terjadi di Kabupaten dan Kota Cirebon. Peserta diajak untuk melihat perubahan garis pantai dari tahun 1997 ke 2022 pada beberapa lokasi. Dari materi tersebut diketahui selama 25 tahun beberapa lokasi terjadi abrasi dan akresi. Materi kedua disampaikan oleh Joni Syofian mengenai persebaran nutrien dan polutan di perairan Cirebon. Peserta diajak untuk mengamati pola persebaran nutrien dan polutan, termasuk salinitas, suhu permukaan laut, dan tingkat keasaman air laut (pH). Materi terakhir disampaikan oleh Indrawan Fadhil Pratyaksa, S.Si. yang mengenai kegiatan survei dan penelitian apa saja yang telah dilakukan oleh MTCRC hingga saat ini. Setelah pemaparan materi dilakukan, peserta siswa-siswi SMU diajak untuk bertukar pengalaman mengenai kehidupan perkuliahan mengingat peserta yang mengikuti kegiatan ini akan meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih lanjut.

 

Antusiasme Peserta dan Penutupan

Peserta sangat antusias mengikuti rangkaian kegiatan baik di Ruang I ataupun di Ruang II. Hal ini dapat diketahui dari antusiasme peserta dalam sesi tanya jawab. Tampak peserta menyampaikan kekhawatiran dan keingintahuan bagaimana langkah yang tepat dalam penyusunan kebijakan untuk membuat keputusan yang tepat untuk menjaga pesisir dan perairan Cirebon. 

Rangkaian kegiatan ini ditutup dengan Ekskursi ke Kapal ARA yang terletak di Pelabuhan Indonesia Regional II Cabang Cirebon. Pada kegiatan ini dikenalkan berbagai alat yang digunakan dalam kegiatan survei oseanografi dalam hal ini disampaikan oleh Korea-Indonesia MTCRC. Alat yang ditampilkan antara lain adalah sensor CTD, sediment grab, water sampler, drone, multi beam echosounder, single beam echosounder dan SBP. 

CTD adalah sensor yang mengukur salinitas (dikonversi dari konduktivitas), suhu dan kedalaman laut (dikonversi dari tekanan). Tekanan yang diukur adalah dalam satuan dbar, karena jika turun kedalaman sebanyak 1m di air laut maka tekanan bertambah ~1dbar, sehingga memudahkan perhitungan bagi oseanografer. Selain itu juga terpasang sensor lain pada rangka CTD tadi, yaitu sensor untuk klorofil, pH, Oksigen terlarut (DO) dan turbiditas. Alat sediment grab bertujuan untuk mengambil sedimen dasar laut. Drone dapat digunakan untuk membuat foto-foto udara untuk mengamati perubahan garis pantai dan sampah laut. Water sampler tentunya untuk mengambil sampel air laut pada kedalaman tertentu yang diinginkan. Tabungnya biasa disebut sebagai botol Niskin, yang diturunkan ke laut dalam keadaan terbuka. Dengan meluncurkan Messenger (logam pemberat) yang akan menghantam mekanisme penutup botol, maka kita mendapatkan sampel air dari kedalaman yang diinginkan.  Sampel air ini kemudian diberi perlakuan khusus untuk disimpan dan dilakukan analisis di lab di kampus, misalnya untuk análisis nutrien dan logam berat. Echosounder digunakan untuk memerum badan air/dasar laut dengan menggunakan gelombang suara. Dengan cara ini dapat dideteksi objek yang berada di kolom air maupun di sedimen dasar.  Sama halnya dengan echosounder, SBP mengandalkan pantulan dari sinyal gelombang berfrekeunsi rendah yang mampu menembus lapisan dasar laut.

Peserta berharap kegiatan seperti ini dapat dilakukan secara rutin agar dapat menjadi media diskusi dalam upaya menjawab permasalahan yang ada. 

“Semoga acara sosialisasi dan hasil-hasil penelitian maupun pengabdian masyarakat ITB dapat berjalan secara rutin dan berkelanjutan dengan sinergitas AGC (Akademisi, Government, dan Community).” – Teni Novianti, Universitas Nahdlatul Ulama Cirebon.

Hj. Samsina, S. Hut. M. Si, selaku perwakilan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon berharap kegiatan seperti ini (pengabdian masyarakat) maupun kegiatan penelitian dapat bekerja sama di masa mendatang.

 

1780

views