Mendorong Tata Kelola Desa 4.0
Tags: ITB SDGs, Industry, Innovation, and Infrastructure, Innovation Development
Sementara persoalan utama di desa tak juga kunjung selesai karena tidak dirancang dengan basis data yang memadai. Hanya dengan sistem informasi desa yang kuat, pembangunan di perdesaan bisa dilakukan lebih efektif dan efisien.
Pusat Pemberdayaan Desa, Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Bandung (ITB) membuat kajian untuk mengevaluasi sistem informasi desa yang ada saat ini, sekaligus memberikan serangkaian rekomendasi untuk menguatkannya. "Kajian ini bekerja sama dengan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Kami diminta untuk mengevaluasi kondisi yang ada sekarang dan mengusulkan sebuah rekomendasi bagaimana sistem informasi desa bisa dikuatkan" kata Dr. Techn. Muhammad Zuhri Catur Cendra, ST, MT., saat diwawancara pada Jumat 2 Jul 2021.
la menjelaskan, era 4.0 memerlukan digital layanan publik yang holistik untuk mendorong layanan yang transparan, partisipatif, dan kolaboratif. "Dengan sistem informasi desa yang kuat, pembangunan d perdesaan bisa dikelola dengan baik karena pemerintah, dari level paling rendah hingga yang tertinggi di kementerian mempunyai gambaran pasti mengenai kondisi semua desa di indonesia yang jumlahnya mencapai puluhan ribu". ujar lulusan doktor Technische Universitat Wein, Austria ini.
Dr. Catur mengatakan, pada prinsipnya Sistem Informasi Desa mengumpulkan semua data dan informasi yang berkualitas. Data itu kemudian di dimanfaatkan untuk membuat kebijakan Dengan sistem informasi itu akan diketahui desa mana saja yan masih tertinggal dalam hal infrastruktur telekomunikas pendidikan, dan lainnya. "Dengan begitu, dana desa dan lainnya Dengan dana desa yang sampal Rp 1 millar per desa sebenarnya badibuat lebih tertarget, bahwa di sebuah kota tertentu ada sekian desa tertinggal dari sisi infrastruktur telekomunikasi pendidikan, dan seterusnya. Kalau punya data dan dashboard yang bisa menyajikan insight itu, dana itu menjadi lebih efektif", tuturnya.
Secara keseluruhan sistem informasi desa akan mempermudah mewujudkan target-target pembangunan, misalnya dikaitkan dengan target pembangunan yang mengacu pada Sustainable Development Goals (SDGs) dengan menunjukkan sektor krusial yang perlu segera diselesaikan. "Misalnya sekarang ada sekian ribu desa, sekian ratusnya masih lemah dalam hal air bersih, berarti nanti penyaluran dan desa bisa fokus ke sana Jadi, tidak semua dana desa untuk membangun jalan. Narmi jalannya bagus, tapi tidak punya air bersih." Kata Dr. Catur.
Semakin berkualitas data yang terkumpul, sistem informasi desa akan semakin baik. Sistem yang semakin baik akan memberikan manfaat yang maksimal, termasuk mencegah kebocoran dan inefisiensi anggaran. Dana yang tersalurkan tidak hanya diserap, tetapi memastikan penggunaannya sesuai dengan target yang disasar.
Saat ini sudah ada beberapa sistem informa terkait data desa, misalnya SIPEDE (Sistem Informasi Pembangunan Desa) SIKEUDES (Sistem Keuangan Desa), Situs IDM (Indeks Desa Membangun), PODES (Potensi Desa) serta PDDI (Pusat Data Desa Indonesia). Akan tetapi, berbagai sistem informasi tersebut memegan data, keragaman kepemikan, serta beragaman tata kelola Kualitas data desa yang terkumpur juga belum optimal dan pemanfaatannya lebih banyak digunakan untuk pengukuran indeks desa.
Tiga rekomendasi
Dan hasil evaluasi yang dilakukan Dr. Catur Candra bersama tim Pusat Pemberdayaan Desa, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Teknologi Bandung, ITB, memberikan tiga rekomenda utama. Pertama, terkait peningkatan kualitas data desa. Kedua, menuju satu data desa Ketiga menja pemanfaatan teknologi informasi terkini. Dr. Catur mengatakan, perlu upaya sistematis untuk meningkatkan kualitas data dan diperlukan sumber daya manusia yang mampu mengumpulkan dan memproses data dengan baik. "Sistem informasi adalah bagaimana mengambil data kemudian diolah untuk menjadi sesuatu yang bermanfaat, misalnya untuk membuat kebijakan. Nah, ini yang menjadi kendala sekarang," katanya.
Pengumpulan data desa saat ini menggunakan beberapa cara antara lain pendataan yang dilakukan secara berkala oleh Kementenan Desa yang dilakukan oleh perangkat desa dan tenaga pendamping sess yang dilakukan berkala empat tahun sekah Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rangka mengumpulkan data PODES surves yang dilakukan berkala setup tahun untuk memperbanyak data PODES, dan pelaporan yang dilakukan perangkat desa menggunakan sistem keuangan desa. Proses pengumpulan data tersebut dilakukan lewat proses yang panjang, mulai dari tingkat desa kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai ke pemerintah pusat.
"Kami merekomendasikan agar mekanisme pengumpulan data ini dipersingkat. Bagaimana agar data dari tingkat desa bisa dikumpulkan oleh level kabupaten kota karena biasanya kaitannya dengan dinas tertentu. Misalnya pembangunan di bidang kesehatan yang paling paham. Pihak yang paling berhak mengontrol (data) itu dari dinas tersebut. Pemprov lebih ke monitoring naik sampai ke level paling atas ada PDDI," tutur Dr. Catur.
Secara umum, pengumpulan datanya belum memenuhi prinsip satu data. Meskipun memiliki irisan atau keterkaitan, data-data yang terkumpul belum terintegrasi. Kerap terjadi pengulangan pengumpulan data yang sama sehingga tidak efisien. Menjawab berbagai tantangan ini, ITB merekomendasikan interkoneksi data yang memungkinkan berbagai data dengan dinas kabupaten/kota dan provinsi melalui API.
Dr. Catur mencontohkan ketimbang dilakukan survei terus setiap tahun untuk mengetahui jumlah siswa SMA di desa tersebut, data itu bisa didapatkan dengan menghubungkan sistem yang dimiliki dengan sistem Data Pokok Pendidikan yang dikelola oleh Dinas Fendidikan yang bermuara di Kementerian Pendidikan "Kalau tersambung, reporting bisa ditarik sehingga bisa diagregasikan di atas", ujarnya.
Rekomendasi yang diberikan ITB terkait dengan prinsip dan arsitektur sistem informasi desa. Prinsil arsitektur ini menentukan aturan dan pedoman unum yang menjadi dasar penggunaan dan penyebaran semua sumber daya dan aset teknologi informasi di seluruh organisasi sehingga bisa menjadi dasar untuk membuat keputusan mengenai teknologi informasi.
Terdapat beberapa prinsip yang digunakan antar lain prinsip brinis terkait dengan ketaatan pada aturan transparansi dan partispasi, prinsip data dengan integritas data data sebagai aset, hak akses data, dan penggunaan data bersama; prinsip aplikasi terkait penggunaan aplikasi bersama, tidak bergantung pada teknologi tertentu, mudah digunakan, dan kepemilikan aplikasi prinsip teknologi terkait perencanaan siklus hidas interoperabilitas, pengontrol keberagaman infrastruktur teknologi serta arsitektur sistem informasi desa yang memfasilitas pengubahan.
Dr. Catur mengatakan rekomendasilannya terka sistem business intelligence. "Pada prinsipnya suatu teknologi yang memungkinkan kita mengumpulkan data dari berbagai sumber dan bagaimana data bisa dikueri sehingga bisa menjadi insight. Biasanya dalam bentuk visualisasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Biasanya ini digunakan di bisnis, tetapi di pemerintahan juga akan sangat berguna," katanya.
Dengan visualisasi itu akan memudahkan untuk melihat persoala desa, misalnya melihat berapa banyak desa yang masih punya masalah kesehatan atau infrestruktur tertentu. Saat ini data dan seperti itu sudah ada tetapi masih seperti pulau-pulau kecil yang terpisah. "Data-data itu bisa diintergrasikan masuk pada sistem yang disebut data warehouse. Nanti bisa menghasilkan dashboard yang berguna untuk mengambil keputusan," ujarnya.
Rekomendasi ITB ini juga berisi tentang tata kelola dan peta jalan sistem informasi desa. Tata kelola data ini sangat diperlukan dalam rangka menuju satu data desa. Penataan data desa ini mencakup data desa, standar data, metadata, interoperabilitas data, data referensi, data induk, juga data prioritas.
Penataan data juga perlu menata pemangku kepentingan data, "Perpres Satu Data indonesia sudah mengatur bahwa harus jelas siapa yang menjadi produsen data, wall data, pembina data, dan bagaimana data dikoneksika dengan yang lain. Kendalanya, satu data ini masih peningkatkan kembali, bagamana supaya hak dan kewajiban pendamping desa tadi jelas sebagai produsen data dari desanya langsung," ujarnya.
Secara regulasi perlu ada peraturan mental sebagai turuna peraturan presiden yang mengatur soal standar, baik terkat data, sumber daya manusia juga prosesnya. Mengingat soal data ini urusan lintas kementerian, perlu dibuat nota kesepahaman agar kementerian/lembaga yang terkait bisa bersinergi dan menata perannya dalam ruang lingkup data desa.
Dr. Catur menambahkan, tata kelola ini juga dibuat peta jalan sehingga jelas tahapannya mulai dari penyiapan tata kelola, kemudian ditentutan kebutuhan dan prioritasnya ia mengingatkan pentingnya komitmen pemerintah untuk menjadikan sistem informasi data ini sebagai bagian dari pembuatan kebijakan. Secara teknologi interkoneksi data sangat bna dilakukan. Sudah banyak teknologi yang bua digunakan tinggal bagaimana data didapatkan dan kebijakannya dalam mengelola data tersebut.
Salah satu rekomendasi kami juga nanti teknologi big data dan artificial intelligence bisa dimanfaatkan untuk mengolah data-data yang sudah terintegrasi tersebut lebih lanjut agar menjadi knowledge yang lebih berguna untuk pembangunan desa", katanya. (Deny Willy Junaidy, Ph.D/Sekretaris Bidang Pengabdian Masyarakat LPPM ITB).