Menanggulangi Learning Loss Bersama Masyarakat 3T
Tags: ITB4People, Community Services, Pengabdian Masyarakat, SDGs4
Pandemi Covid-19 yang mendera masyarakat global selama lebih dari dua tahun mengakibatkan disrupsi pada sektor pendidikan. Siswa hampir seluruh dunia menderita learning loss (kehilangan pembelajaran). Kondisi ini mengacu kepada hilangnya kemampuan belajar sebagai dampak ketidakmeratanya akses siswa terhadap peranti teknologi (gawai dan jaringan internet) yang menjadi media pembelajaran utama di masa pandemi.
Penelitian yang dilakukan oleh Keith Meyers and Melissa A Thomasson pada 2017, serta Enkelejda Havari dan Franco Peracchi pada 2015 menunjukkan bahwa learning loss dalam waktu yang lama dapat mengurangi pencapaian belajar siswa. Dampak selanjutnya juga memengaruhi kemampuan kognitif siswa.
Tidak semua daerah di Indonesia dapat menjalankan pembelajaran daring dengan baik karena berbagai sebab. Beberapa daerah, terutama yang termasuk dalam kategori daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) mengalami hambatan jaringan internet, bahkan beberapa daerah merupakan tanpa sinyal (blank spot).
Selain itu, sebagian masyarakat daerah 3T tidak memiliki gawai atau gawai yang ada harus berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Hambatan ekonomi juga dialami oleh sebagian masyarakat 3T sehingga kurang mampu membeli kuota yang dapat menopang pembelajaran daring.
Semua hambatan tersebut membuat pembelajaran tatap muka (PTM) tetap sangat dibutuhkan di daerah 3T. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim merespons kondisi itu dengan mengizinkan sekolah di daerah terpencil tetap menyelenggarakn PTM dalam situasi pandemi.
Akan tetapi, penyelenggaraan belajar tatap muka di sekolah tetap terbatas karena harus menerapkan protokol kesehatan (prokes). Salah satu caranya ialah dengan membatasi jumlah siswa yang masuk di hari yang sama. Hal tersebut membuat kebutuhan siswa tidak terlayani dengan baik.
Strategi
Strategi memitigasi learning loss telah dilakukan oleh banyak negara, mulai dari pelibatan keluarga dalam kegiatan belajar mengajar, pelaksanaan asesmen berdasarkan kompetensi yang berbeda (teaching at the right level), penambahan jam pelajaran, serta penggabungan pembelajaran daring dan luring. Di Balsakhi India, Pratham melibatkan sukarelawan desa untuk mendampingi pembelajaran siswa yang paling berisiko (at-risk). Pendekatan seperti ini terbukti dapat meningkatkan nilai ujian siswa.
Untuk mengatasi learning loss pada kawasan 3T, ITB bersama Yayasan Litara berinisiatif menghidupkan ruang belajar yang lebih luas dengan melibatkan Taman Belajar Masyarakat (TBM). Pilot Project pelibatan TBM dalam menghidupkan pembelajaran siswa di daerah 3T dilaksanakan di beberapa daerah di Malinau, Kalimantan Utara.
Pelibatan TBM dalam kegiatan ini merupakan penerapan konsep ruang ketiga dalam sistem belajar tatap muka. Ketergantungan proses belajar pada sekolah (ruang pertama) dan keterbatasan orangtua (ruang kedua) dalam pendampingan belajar anak, membuat peran TBM sangat strategis dalam mengatas learning loss, terutama pada masa pandemi ini.
Dalam pelaksanaan kegiatan pendampingan belajar, ITB melakukan pendekatan remedial dengan melibatkan pegiat TBM serta siswa yang berisiko sangat tinggi. Siswa yang berisiko sangat tinggi ini umumnya berasal dari keluarga miskin dengan tingkat literasi orang tua sangat rendah serta profesi orang tua sebagai pekerja kasar sehingga tidak memiliki kapasistas dan waktu untuk mendampingi belajar.
Di samping itu, tempat tinggal siswa cukup jauh untuk dapat dijangkau guru dan mereka tidak memiliki akses terhadap gawai dan jaringan internet. Fokus pendampingan juga diarahkan kepada siswa sekolah dasar yang telah duduk di kelas tinggi, tetapi lupa cara membaca dan berhitung disebabkan sudah lama tidak datang ke sekolah untuk belajar tatap muka.
Pendampingan kegiatan belajar mengajar siswa bersama pegiat TBM telah dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari Maret hingga Juni 2021. Selain melibatkan pegiat TBM, kegiatan ini juga melibatkan mahasiswa ITB yang tergabung dalam program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Pendampingan dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan asesmen awal terhadap kemampuan dan kondisi siswa. Dengan begitu, pegiat mampu menyusun target pemebelajaran, memilih modul ajar serta merancang pola pengajaran yang tepat.
Selanjutnya, pegiat TBM dan siswa menyepakati tempat dan waktu pembelajaran. Pelaksanaan kegiatan mengikuti protokol kesehatan yang ketat dengan penggunaan masker serta pelaksanaan swab antigen. Jumlah siswa yang mengikuti pendampingan ialah sebanyak 85 orang yang tersebar di 5 sekolah dasar. Adapun jumlah pegiat TBM, yakni sebanyak 16 orang yang tersebar di 3 kecamatan, yakni Kecamatan Malinau Kota, Kecamatan Malinau Barat, dan Kecamatan Malinau Utara.
Tidak seperti kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan pendampingan dilakukan dengan metode yang lebih interkatif terhadap siswa. Seorang pegiat TBM bertanggung jawab untuk mendampingi 5 sampai 6 orang siswa. Pendampingan dilakukan dengan bermain, bercerita maupun melakukan aktivitas bersama lainnya, baik di rumah siswa maupun di Perpustakaan Desa.
Vebi, salah satu pegiat TBM, mengungkapkan kemajuan yang cukup signifikan dari siswa yang didampinginya. Misalnya, salah seorang anak yang bernama Ratu telah mampu membaca huruf dari sebelumnya sangat susah membedakan huruf.
Melalui evaluasi di akhlr kegiatan, didapatkan bahwa 60% siswa berhasil mengalami peningkatan capaian belajar. Sebagai contoh, siswa yang mulanya tidak bisa membaca, setelah mengikuti pendampingan, sedikit demi sedikit bisa mengenal huruf dan mengejanya.
Selanjutnya, 35% siswa mencapai target pembelajaran se1elah mengikuti pendampingan . Contohnya, siswa yang pada mulanya tidak mengenal angka, setelah pendampingan mulai lancar untuk berhitung. Hasil evaluasi ini menunjukkan bahwa kegiatan pendampingan terbukti efektif dalam meningkatkan capaian belajar siswa di masa pandemi. (M-1)