Menanamkan Cinta Lingkungan sejak Dini
Tags: ITB4People, Community Services, Pengabdian Masyarakat, SDGs4
Kebutuhan untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) semakin penting karena pandemi covid-19. Keterlibatan generasi muda dalam mencapai SDGs perlu disiapkan. Namun, pada kenyataannya, semakin banyak kendala dalam menyosialisasikan SDGs, baik di lingkungan masyarakat maupun keluarga.
Fenomena ini memantik inisiatif dari tim dosen di Sekolah Bisnis & Manajemen Insitut Teknologi Bandung (SBM ITB). Mereka pun menginisiasi program riset dan pengabdian masyarakat tentang edukasi lingkungan melalui komunikasi bio-based learning pada komunitas anak-anak mulai 2020. Tim peneliti terdiri atas penulis (Dr N Nurlaela Arief dan Melia Famiola), Andika Pratama Putra PhD, juga Dr Prameshwara Anggahegari.
Program edukasi lingkungan tersebut mengacu pada prinsip-prinsip tujuan pembelajaran Education for Sustainable Develoment (ESD) yang sudah dirumuskan UNESCO. Dasar kemampuan yang harus mulai diperkenalkan kepada anak didik ialah bagaimana membangun kognitif, emosi sosial, dan perilaku anak sedini mungkin agar peduli terhadap upaya merawat lingkungan.
Sikap cinta lingkungan tidak tumbuh dengan sendirinya. Daniel Goleman, seorang pakar kecerdasan sosial dan emosional, menyebutkan bahwa dasar dari pengenalan perilaku baru ialah dengan membangun kognitif anak didik. Pengenalan sikap baru perlu didukung oleh data dan fakta yang logis untuk membangun tingkat kepedulian. Pengenalan ini dilanjutkan dengan latihan dan contoh perilaku yang diinginkan umuk menjadikannya sebagai suatu kebiasaan.
Dari pemikiran itulah kemudian muncul komunikasi bio-based learning sebagai pendekatan yang coba dikembangkan dosen SBM ITB untuk mengenalkan keahlian dasar bagi anak-anak usia dini terhadap SDGs. Disadari atau tidak, SDGs akan mengubah banyak tatanan ekonomi sosial dan lingkungan di masa depan.
Saat ini, seluruh dunia sedang menyuarakan umuk menciptakan pertumbuhan ekonomi hijau (green growth) dengan cara menghidupkan sumber-sumber pekerjaan baru berbasis pengelolaan lingkungan (green jobs). Tentunya Indonesia tidak boleh ketinggalan sekian langkah lagi dari negara-negara lain. Oleh karena itu, diperlukan kontribusi aktif dalam mempersiapkan generasi-generasi muda sedini mungkin.
Pendekatan komunikasi bio-based learning dikembangkan oleh dosen SBM-ITB melalui program besar untuk mendukung penciptaan keberlanjutan berbasis rumah tangga yang disebut dengan Teras Hijau Project (THP). THP tidak hanya menyasar anak-anak, tapi juga seluruh anggota rumah tangga. Tujuannya agar semua bisa bersama-sama menciptakan kebiasan hidup berkelanjutan, menemukan peluangpeluang baru berbasis potensi bio (dari tanaman dan sampah organik) untuk mengoptimalkan penggunaan energi, air, dan somber daya makanan, serta meminimalkan pembuangan limbah, pencemaran udara, dan pencemaran air.
Penceritaan
Komunikasi bio-based learning mengedepankan metode komunikasi tepat sebagai strategi awal untuk menyampaikan informasi kepada publik. Komunikasi adalah bagian paling penting umuk membangun keahlian kognitif yang efektif.
Edukasi dan komunikasi tentang keberlanjutan dapat dimulai dari keluarga untuk memberikan gambaran tentang upaya pencapaian SDGs secara inklusif, kolaboratif, dan koheren, termasuk untuk menanamkan rasa peduli dan cinta lingkungan sejak dini.
Kemudian, strategi dalam mengemas komunikasi lingkungan ini merujuk pada paradigma naratif. Penretusnya, pakar komunikasi Walter Fisher, mengemukakan keyakinan bahwa manusia adalah seseorang pencerita dan bahwa penimbangan akal, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita.
Manusia lebih mudah terbujuk oleh sebuah cerita yang bagus daripada sebuah argumen. Paradigma naratif mengonsepkan bahwa manusia adalah penderita dan manusia mengalami kehidupan dalam suatu bentuk narasi.
Seorang pakar lainnya, EM Griffin, menjelaskan bahwa teori ini akan berjalan lancar jika mampu menggabungkan tindakan, aktivitas, tampilan visual, dan tujuan dari apa yang akan diinformasikan. Praktik dari paradigma naratif ini lantas kami uraikan melalui pengomunikasian urgensi lingkungan kepada anak-anak dengan cara storytelling.
Program bio-based learning dikemas dalam bentuk pelaksanaan lokakarya oleh dosen SBM ITB bekerja sama dengan THP. Di samping dosen, program pengabdian masyarakat ini juga melibatkan alumni serta mahasiswa S-1 dan S-2 SBM ITB.
Kegiatan diselenggarakan dua kali, pada 28 Januari 2021 dan 6 Februari 2021. Arara diikuti oleh lebih dari 100 peserta, yang terdiri atas siswa SD kelas 1 sampai kelas 4 SD Taruna Bakti Bandung, bersama sejumlah guru pendidikan biologi.
Selama lokakarya, anak-anak belajar tentang fenomena alam, lingkungan yang sehat, dan pentingnya menjaga kelestarian alam dengan menggunakan prinsip-prinsip berkelanjutan. Pengenalan lingkungan hidup juga diselaraskan dengan konsep urban farming yang lebih mudah dilakoni rumah tangga di perkotaan.
Dalam kesempatan tersebut, para peserta juga diberikan gambaran latar belakang mengapa aksi cinta lingkungan perlu ditingkatkan, antara lain dengan menyimak video ancaman masalah lingkungan hidup karena kita lalai terhadap lingkungan (contoh: bencana banjir).
Untuk menjaga proses pembelajaran yang efektif, storytelling juga dipandu oleh alumni SBM ITB yang terlatih memberikan gaya pemaparan bercerita bekerja sama dengan Kidz Adventura.
Metode menggunakan perangkat permainan interaktif melalui platform Zoom.
Antusiasme dan perubahan
Observasi yang dilakukan menunjukan bahwa anak-anak sangat antusias menerima informasi mengenai lingkungan dan menyukai edukasi lingkungan bio-based learning melalui storytelling yang diberikan pada saat lokakarya.
Dialog antara anak-anak dan pelaku pertanian kota (urban farming) memberikan kesempatan untuk belajar lebih banyak di antara satu sama lain. Anak-anak menunjukkan bahwa mereka bisa menceritakan sebuah paparan yang menarik. Anak memiliki kemampuan untuk menerima dan menyampaikan informasi ke lingkungannya secara persuasif. Tanpa konteks cerita, fakta tidak ada artinya.
Mereka juga memperlihatkan sikap positif dan menyukai tantangan, serta proses dari mulai menanam bibit hingga menumbuhkembangkan tanaman. Menurut testimoni dari orangtua siswa, ada perubahan sikap dari anak-anak setelah mengikuti kegiatan bio-based learning ini. Mereka memperlihatkan sikap lebih bertanggung jawab, ditunjukkan dengan kepedulian dan konsistensi umuk menyiram tanaman sayuran serta memeriksanya dua kali sehari.
Orangtua juga menambahkan bahwa anak-anak menjadi lebih peduli terhadap lingkungan. Adapun yang menarik, pada kegiatan ini mereka melibatkan keluarga seperti kakak, adik, orangtua, dan bahkan nenek atau kakeknya.
Kepala SD Taruna Bakti Irma Meirani mengapresiasi program pengabdian masyarakat berupa edukasi lingkungan berbasis komunikasi bio-based learning. Menurutnya, program ini memberikan praktik tentang bagaimana anak-anak diedukasi dengan menerapkan empat kompetensi, yaitu critical thinking, creative, commimicative, dan collaborarive. Ia berharap kegiatan percontohan di SD Taruna Bakti Bandung akan berlanjut di sekolah-sekolah lain. (M-2)