Memetik Manfaat Asam Jawa di Labuan Bajo

Memetik Manfaat Asam Jawa di Labuan Bajo

Tags: ITB4People, Community Services, SDGs4

Tahun ini, program studi Seni Rupa melalui pengabdian masyarakat skema Bottom-Up ITB 2022, kembali melaksanakan pelatihan seni lukis batik tamarind pada wastra untuk membantu peningkatan ekonomi kreatif dan pariwisata di destinasi super prioritas Labuan Bajo. Program ini bekerja sama dengan SMK Negeri 3 Komodo dan merupakan kelanjutan dari pelatihan yang sudah dilakukan di tahun sebelumnya. Namun, fokus pengabdian pada tahun kedua lebih ditujukan pada pembuatan dan publikasi produk.

Lokasi Labuan Bajo sendiri dipilih karena memiliki potensi budaya dan lingkungan yang sangat besar, khususnya jika dikaitkan ke bidang industri kreatif untuk memajukan pembangunan UMKM maupun pariwisata.  Penggalian potensi lokal ini juga sebelumnya sudah dilakukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) melalui program aksilarasi atau Aksi Selaras Sinergi (lihat Ang, 2020).

Mengutip dari laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), Presiden Joko Widodo menetapkan Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super prioritas melalui Rapat Terbatas Kabinet yang dilangsungkan pada tanggal 15 Juli 2019. Keputusan ini berdampak pada percepatan pembangunan di daerah tersebut dan menurut KPPIP, presiden telah memberikan 6 arahan menyangkut pengembangan daerah wisata super prioritas, yaitu:

1.   Pengaturan dan pengendalian tata ruang

2.   Akses dan konektivitas menuju ke tujuan wisata, dermaga, dan pelabuhan

3.   Penataan fasilitas di lokasi wisata

4.   Peningkatan kualitas SDM melalui pelatihan

5.   Pemasaran produk lokal

6.   Promosi yang besar dan terintegrasi

Pelaksanaan pelatihan seni lukis batik tamarind sendiri merespon 2 arahan dari presiden, yaitu poin 4 terkait peningkatan kualitas SDM dan poin 5 mengenai pemasaran produk lokal. Hal ini dikarenakan program yang diajarkan terdiri dari beberapa tahapan yang mencakup produksi produk hingga publikasi di media sosial.

Media lukis batik tamarind sendiri dipilih karena potensi alam Labuan Bajo yang mendukung ketersediaan bahan utama dalam berkarya. Pohon biji asam atau tamarind memang banyak tumbuh liar di Labuan Bajo. Meskipun demikian tanaman ini belum dimanfaatkan dalam pembuatan produk kreatif dan lebih umum dimanfaatkan untuk kebutuhan kuliner. Selain itu, berbeda dengan tenun khas daerah Labuan Bajo yang teknik pembuatannya rumit dan memakan waktu lama, pembuatan produk dengan teknik lukis batik tamarind lebih mudah dan prosesnya juga cepat, sehingga dapat lekas dipahami serta dipraktekkan pada pelatihan yang memakan waktu relatif singkat. Melalui diperkenalkannya teknik ini, diharapkan memberikan wawasan mengenai inovasi baru dalam berkarya dan menambah keragaman produk kreatif yang dihasilkan di Labuan Bajo.

Proses Berkarya dengan Guta Tamarind

Pada pengabdian ini, bahan dan alat yang perlu dipersiapkan adalah pewarna, pasta guta tamarind, plastik segitiga (biasa digunakan untuk krim kue), pensil, spanram kayu, hekter (untuk memasang kain di spanram), kain, air (untuk campuran warna dan guta), wadah  air, kuas, serta rangka kipas (bagi peserta yang membuat kipas). Pasta guta tamarind yang digunakan sendiri terbuat dari bubuk biji asam jawa yang dicampur dengan margarin, serta air (siapkan air panas dan dingin). Pada bagian ini akan disampaikan proses berkarya dengan guta tamarind sebagai gambaran dari kegiatan pengabdian yang dilakukan di Labuan Bajo.

Proses berkarya menggunakan medium guta tamarind sendiri dimulai dengan memotong bahan kain menjadi persegi agar dapat dipasang di spanram kayu yang sebelumnya telah dipersiapkan. Pemasangan kain perlu dilakukan secara teliti karena bentangan kain harus kencang agar guta tamarind yang diaplikasikan dapat lurus. Setelah proses pemasangan rampung, peserta perlu memastikan apakah akan membuat bandana atau kipas karena keduanya memiliki proses kelanjutan yang agak berbeda.

Bila memilih untuk membuat bandana, maka peserta dapat langsung masuk ke proses pembuatan motif di atas kain. Namun, jika peserta memilih untuk membuat kipas, maka sebelumnya mereka perlu menyalin rangka kipas ke atas kain untuk menentukan batas aplikasi motif. Khusus untuk pengabdian ini, para instruktur telah menyalin rangka kipas yang terbentang hingga lurus ke atas kardus bekas dan mengguntingnya, sehingga rangka tersebut menjadi semacam template yang nantinya digunakan peserta sebagai ukuran di atas kain. Setelah proses ini rampung, maka sama seperti dalam pembuatan bandana, peserta dapat langsung membuat sketsa di atas kain dengan pensil.

Motif yang diaplikasikan pada kain dibebaskan. Namun para mahasiswa yang ikut dalam pengabdian telah membuatkan beberapa pilihan motif yang sudah dicetak di kertas, sehingga peserta dapat langsung menyalin motif tersebut di atas kain. Tentu saja penggunaan sketsa motif ini hanya sebagai pilihan saja, sehingga bagi peserta yang ingin langsung menggambar sendiri motif yang diinginkan, dapat memilih untuk tidak menggunakannya.

Dalam proses pembuatan sketsa, hanya ada satu hal yang perlu diingat dalam penggambaran motif, yaitu pembuatan garis pinggir (garis outline) yang tidak terputus. Hal ini dikarenakan garis outline  akan ditimpa dengan guta tamarind yang ber fungsi sebagai medium perintang. Fungsi dari medium perintang sendiri sebenarnya untuk memisahkan cat yang nantinya diaplikasikan ke motif dengan cat yang akan diaplikasikan ke latar belakang ataupun bagian lainnya yang ingin memiliki warna berbeda. Jika garis outline dari motif tidak bertemu, maka kemungkinan besar ketika diwarnai, cat yang diaplikasikan pada motif akan merembes ke bagian latar belakang ataupun bagian lainnya melalui garis outline yang terputus. Oleh karena itu, penyalinan sketsa dengan guta tamarind perlu dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya kecelakaan pada proses pewarnaan kain.

Langkah selanjutnya setelah rampung memberi guta pada kain adalah tahap penjemuran kain agar guta tersebut kering. Setelah kering, maka peserta dapat masuk ke tahap pewarnaan dengan pewarna khusus sebelum akhirnya kembali dijemur. Pewarna yang dapat digunakan untuk mewarnai kain tergantung dari jenis kainnya. Pewarna disperse dapat digunakan untuk kain dengan serat sintetis, sedangkan pewarna alam dapat digunakan untuk kain dengan serat alam. Penggunaan medium yang tidak tepat dapat menyebabkan kurang melekatnya warna pada kain. Hal serupa juga disampaikan dalam situs Kementerian Perindustrian Republik Indonesia dalam artikel berjudul Kemenperin Kembangkan Pemakaian Pewarna Alami. Pada bagian akhir dari artikel tersebut disampaikan bahwa pewarna alami dapat digunakan pada kain berserat alam seperti sutra, wol, dan katun, sedangkan pada kain sintetis seperti polyester, pewarna ini tidak dapat digunakan karena memiliki daya serap yang kurang.

Setelah proses pewarnaan dan penjemuran kain, masih ada beberapa tahap lainnya yang perlu diikuti. Namun secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa proses pembuatan bandana akan rampung lebih cepat daripada proses pembuatan kipas. Hal ini dikarenakan kain bandana yang sudah diwarnai dan rampung dijemur dapat langsung dilepas dari spanram, dicuci untuk menghapus bagian guta tamarind yang keras, kembali dijemur, dan setelah kering disetrika agar warnanya dapat lebih muncul. Ketika selesai disetrika, maka bandana tersebut sudah dapat dikatakan rampung. Namun jika ingin lebih rapi, maka pinggiran kain dapat dijahit agar tidak berserabut. Hal ini berbeda dengan proses pembuatan kipas yang perlu dilanjutkan proses pemotongan kain sesuai template kipas, merapikan pinggiran kain dengan menjahitnya, dan perekatan kain tersebut ke rangka yang sudah disiapkan.

Pada pengabdian kali ini, proses penjahitan kain tidak dilakukan dan hanya diinformasikan sebagai pilihan karena waktu pengabdian yang terbatas. Namun, meskipun bagian tersebut sudah dilewat, prosesnya tetap berlangsung lama, khususnya ketika perekatan kain di atas kipas dilakukan dengan lem. Hal ini dikarenakan sebelum direkatkan, rangka kipas harus terlebih dahulu dibentang dan disusun dengan jarak yang sama. Ketika ada yang tidak memiliki jarak sama, lipatan kain ketika rangka kipas ditutup menjadi tidak rapi dan terlihat ada bagian yang lebih besar atau lebih kecil lipatannya dari bagian lainnya, sehingga kain harus dilepas dari rangka dan kembali direkatkan ulang. Proses perekatan kembali ini juga terjadi ketika pengabdian berlangsung, sehingga dibandingkan pembuatan bandana, biasanya para peserta yang membuat kipas membutuhkan bantuan tambahan dari instruktur.

Pelaksanaan Pelatihan dan Antusiasme Peserta

Keberangkatan tim pengabdian dilakukan pada tanggal 30 Mei 2022 dan setibanya di Labuan Bajo, tim pelaksana dari program studi Seni Rupa yang diketuai Ibu Nuning Y. Damayanti mengadakan rapat dengan tim pelaksana lapangan dari SMKN 3 Komodo, Labuan Bajo. Rapat ini ditujukan untuk memantapkan agenda program pelatihan yang akan dilakukan, sekaligus melihat kebutuhan dan harapan dari panitia lapangan. Tim dari seni rupa yang hadir di rapat terdiri dari Dr. Nuning Y. Damayanti, Dipl. Art (KK Estetika dan Ilmu-Ilmu Seni, FSRD ITB), Dr. Muksin, M. Sn (KK Seni Rupa, FSRD ITB), Zusfa Roihan, M. Sn (KK Seni Rupa, FSRD ITB), Almira Belinda Zainsjah, M. Sn (KK Estetika dan Ilmu-Ilmu Seni, FSRD ITB), Wina Khoirunnisa S. (mahasiswa prodi Sarjana Seni Rupa), dan Dwi Ajeng Ayu A. (mahasiswa prodi Sarjana Seni Rupa), sedangkan tim SMKN 3 Komodo terdiri dari Ibu Hortensia Herima, S. Pd (Kepala Sekolah SMKN 3 Komodo), Ibu Romana Edit Teresa (guru), Ibu Marta Destika Tini (guru), Ibu Helena Venoril (guru), dan Bapak Silvanus Paulo Christy (pendamping).

Agenda pelatihan dimulai sejak 31 Mei 2022 – 2 Juni 2022 dan diikuti oleh siswa-siswi serta guru-guru SMKN 3 Komodo. Setelah pelatihan, kegiatan diakhiri dengan survey lapangan di tanggal 3 Juni 2022 untuk melihat potensi lain yang dapat dikembangkan pada penelitian maupun pengabdian berikutnya.

Setiap harinya, pengabdian dibagi menjadi 2 sesi. Pada hari pertama, sesi ke-1 pelatihan dimulai dengan pemberian materi mengenai teori menggambar dan penyederhanaan bentuk oleh Pak Zusfa, proses pembuatan motif oleh Ajeng dan Wina (mahasiswa seni rupa), serta mengenai design thinking oleh Pak Muksin, sedangkan sesi ke-2 langsung masuk ke praktek pembuatan batik lilin dingin dengan memilih produk apa yang akan dibuat (kipas atau bandana), pembuatan sketsa di atas kain, dan penyalinan motif dengan menggunakan guta tamarind. Seluruh sesi dijalankan dengan santai dan interaktif agar seluruh siswa-siswi maupun guru-guru dapat aktif berdiskusi dan tidak tegang maupun bosan dalam pelaksanaan pengabdian. Pada sesi pertama, para murid masih terlihat agak malu-malu dalam berinteraksi, namun menjelang akhir sesi tersebut, mereka sudah mulai lebih interaktif dan pada sesi kedua dapat berinteraksi dengan lebih santai karena sudah mulai masuk ke praktek pembuatan karya. Hasil sketsa yang dibuat pada hari pertama memperlihatkan kreativitas siswa dan siswi dalam mengkomposisikan motif di atas kain. Meskipun beberapa mahasiswa menggunakan sketsa motif yang telah dicetak oleh instruktur mahasiswa, tidak ada komposisi motif yang serupa. Selain itu, ada juga siswa/i yang membuat motif sendiri berdasarkan apa yang sudah diajarkan di sesi pertama, sehingga ada karya yang sepenuhnya dibuat sendiri dan ada juga yang menggabungkan motif dari instruktur dengan hiasan-hiasan yang mereka kembangkan sendiri. Hal ini menggambarkan kecepatan mereka dalam menyerap teori dan metode yang disampaikan oleh instruktur dan kreativitas mereka dalam membuat karya melalui pengembangan serta penerapan materi yang sudah diberikan dan menyesuaikannya dengan gagasan mereka.

Hari kedua pengabdian diawali dengan praktek pewarnaan dan penjemuran hasil batik, serta diakhiri dengan sesi penyelesaian produk dan sesi praktek tambahan dari para instruktur. Tahap penyelesaian produk mencakup menyetrika kain yang sudah kering, mencucinya untuk melepaskan sisa-sisa guta, dan menjemurnya kembali. Setelah kain tersebut kering, kain dilepas dari ram dan khusus untuk kipas, dipotong sesuai modul untuk direkatkan ke rangka kipas yang sudah ada. Tingkat antusiasme murid maupun guru pada hari kedua ini sangat tinggi dan interaksi mereka dengan para instruktur jauh lebih santai, sehingga mereka tidak segan untuk pada akhirnya bertanya maupun berdiskusi dengan instruktur di lapangan. Puncak antusiasme pada hari kedua terjadi ketika masuk ke sesi tambahan di bagian akhir. Sesi tambahan sebenarnya terbagi menjadi 2, yaitu:

•   Sesi tambahan di pertengahan sesi 2 (dikhususkan untuk guru yang menenun) mengenai cara aplikasi lukis tamarind di atas benang tenun.

•   Sesi tambahan di akhir sesi 2 berupa eksperimen teknik celup dengan menggunakan tissue dan praktek teknik ikat celup di atas tekstil

Antusiasme khususnya sangat tinggi ketika eksperimen teknik celup dengan menggunakan tissue dilakukan karena aplikasinya sangat mudah dan hasilnya selalu bagus serta mengejutkan. Siswa-siswi bahkan mencoba teknik ini beberapa kali dan memamerkan hasilnya kepada teman-temannya. Hasil karya pada sesi ini ada 3, yaitu penyelesaian karya bandana atau kipas yang dikerjakan dari hari pertama, eksperimen tenun dengan para guru, dan karya teknik celup dengan tissue dan tekstil. Menariknya, untuk penyelesaian karya guta tamarind, terdapat beberapa siswa-siswi yang mencampurkan warna secara langsung di atas kain, tanpa menggunakan perintang. Hasil dari pencampuran ini menciptakan efek cat yang merembes ke samping, sehingga bercampur dengan bagian latar. Eksperimen ini dilakukan oleh beberapa murid yang tertarik ketika melihat salah satu instruktur ikut berkarya di tempat. Hal menarik lainnya yang juga terjadi di hari kedua adalah adanya hasil karya para guru dalam pelatihan lukis tamarind yang menciptakan ilustrasi dari cerita rakyat maupun legenda setempat. Pemilihan tema ini sangat menarik karena dapat menjadi media edukasi maupun bentuk pelestarian budaya setempat.

Hari terakhir pengabdian dibuka dengan dokumentasi hasil karya guru dan siswa serta pemberian materi. Materi terakhir yang diberikan adalah mengenai teori fotografi dasar, bagaimana cara foto produk yang menarik, dan tips pengunggahan foto ke media sosial. Sesi ini diberikan oleh para mahasiswa program sarjana seni rupa karena generasi mereka dengan murid SMK tidak jauh, sehingga trend dan gaya para mahasiswa dianggap dekat dengan keterarikan para murid. Pada sesi satu, para murid cenderung antusias ketika dokumentasi hasil karya karena mereka puas dengan hasil yang sudah diciptakan, sedangkan pada sesi materi, antusiasme tidak setinggi ketika sesi dokumentasi. Meskipun demikian, dibandingkan pemberian materi di hari pertama, sesi tanya jawab di hari terakhir ini jauh lebih aktif.

Sesi ke-2 di hari terakhir adalah praktek foto produk dan tips pengunggahan ke media sosial. Antusiasme peserta kembali meningkat di sesi ini karena mereka dapat langsung praktek memotret hasil produk yang telah diciptakan dan mengunggahnya ke media sosial. Tentu saja ketika sesi ini berlangsung, seluruh siswa dan siswi diwajibkan untuk mencoba memotret produk, sehingga dikarenakan keterbatasan perangkat sekolah maupun instruktur, mereka melangsungkan praktek secara bergantian. Namun, dapat dilihat juga ada beberapa siswa yang sangat antusias, sehingga mencoba beberapa kali untuk mengambil foto produk. Bahkan mereka sangat fokus untuk menghasilkan foto yang berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memotret 1 foto karena beberapa kali terlihat mereka mengganti posisi produk dan benda hiasan, serta mengatur sudut pandang kameranya dengan teliti.

Pada sesi ini, komposisi dan karya yang dipotret dibebaskan, sehingga beberapa murid menggunakan karya mereka sendiri dalam praktek di sesi akhir.  Selama melakukan praktek foto, mereka mencoba berbagai komposisi dengan beragam benda-benda yang dapat menjadi hiasan untuk mempercantik foto. Pada awalnya, para siswa ada yang mengikuti contoh dari instruktur, namun semakin lama, mereka juga mulai bereksperimen dengan mengkomposisikan lebih dari 1 produk, maupun mengubah susunan dari hiasan. Selain itu, sudut pandang kamera dan pencahayaan juga dimainkan, sehingga terbentuk komposisi baru dari foto-foto yang dihasilkan.

Secara keseluruhan, antusiasme peserta dapat dikatakan tinggi karena ketika penutupan dilakukan, mereka mengatakan masih ingin melanjutkan pelatihan. Hal ini memberikan gambaran bahwa SDM di Labuan Bajo memiliki tingkat semangat yang tinggi dalam menimba ilmu dan tanggap dalam menerima informasi baru. Selain itu dari hasil karya yang dihasilkan, mereka juga memiliki tingkat kreativitas dan potensi yang baik untuk dikembangkan. Melihat hal ini, program pelatihan produk kreatif dengan teknik lukis batik tamarind efektif untuk mengembangkan keahlian SDM di Labuan Bajo dan sangat berpotensi untuk dilanjutkan, khususnya mengingat pelatihan ini hanya mempraktekkan beberapa hal, seperti:

  • penerapan teknik lukis batik tamarind di 2 produk (kipas dan bandana)
  • eksperimen penerapan teknik lukis batik tamarind di atas benang tenun
  • eksperimen teknik celup di tissue dan ikat celup di tekstil
  • teknik foto dokumentasi (fotografi dasar)
  • tips pengunggahan di media sosial

Berdasarkan antusiasme peserta yang tinggi (khususnya pada sesi praktek), tanggapnya mereka dalam menerima informasi serta keberanian melakukan eksperimen baru, masih ada banyak pelatihan yang dapat ditawarkan dalam bentuk praktek, seperti:

  • penerapan teknik lukis batik tamarind di produk lain
  • pengembangan motif lain
  • melanjutkan eksperimen penggabungan teknik lukis batik tamarind dan teknik tenun
  • desain pengemasan produk jadi
  • desain publikasi dan pemasaran produk
  • dan lainnya

Akhir kata, melalui program pelatihan yang sudah dilakukan, diharapkan para peserta dapat bereksperimen dan menerapkan teknik ini dalam membuat ragam produk yang baru, serta mengajarkannya kepada generasi selanjutnya, sehingga berkelanjutan (sustainable) dan industri kreatif di Labuan Bajo dapat berkembang lebih luas.

Referensi:

Ang, Cindy, (2020): Potensi Lokal dan Pariwisata Labuan Bajo Digali. Diakses dari situs: https://mediaindonesia.com/nusantara/362186/potensi-lokal-dan-pariwisata-labuan-bajo-digali

Tim PMO Kawasan KPPIP (Penyusun), (2022): Labuan Bajo – Destinasi Pariwisata Super Prioritas yang Merupakan Salah Satu Fokus dari Program Pengembangan Kawasan Strategis Nasional dalam Daftar Proyek Strategis Nasional. Diakses dari situs: https://kppip.go.id/berita/labuan-bajo-destinasi-pariwisata-super-prioritas-yang-merupakan-salah-satu-fokus-dari-program-pengembangan-kawasan-strategis-nasional-dalam-daftar-proyek-strategis-nasional/

Kemenperin Kembangkan Pemakaian Pewarna Alami (2013). Diakses dari situs: https://kemenperin.go.id/artikel/7853/Kemenperin-Kembangkan-Pemakaian-Pewarna-Alami

708

views