Memetakan Potensi Perekonomian Rakyat di Merauke
Tags: ITB4People, Community Services, SDGs8
Kota Merauke, Provinsi Papua Selatan
Papua merupakan provinsi yang memiliki jarak paling jauh dari Ibu Kota, Kota Jakarta. Sering kali pengawasan dan pembangunan masih kurang bisa maksimal di provinsi ini. Merauke merupakan kota paling timur di wilayah Indonesia, dan kini telah disahkan untuk menjadi ibu kota provinsi terbaru, Papua Selatan. Pengawasan dan pembangunan oleh pemerintah yang masih belum maksimal tersebut, demi kemajuan daerah harus dibarengi dengan upaya “bottom-up” dari masyarakat. Merupakan tugas institusi seperti universitas atau lembaga riset untuk bisa mempercepat proses pertumbuhan ekonomi ini. Maka dari itu, di tahun pertama ini Tim SBM ITB, bersama sebelumnya yang mendahului, Tim FSRD ITB melakukan survey dan obrolan dengan pihak-pihak di daerah untuk menilai kondisi aktual, serta mengidentifikasi potensi-potensi peningkatan ekonomi yang dapat dilakukan.
Metodologi
Tujuan dari pengabdian masyarakat yang dilakukan Tim SBM ITB pertama kali ini untuk memetakan pelaku usaha dan institusi atau pihak-pihak yang berperan dalam pergerakan ekonomi di daerah Merauke, untuk selanjutnya bisa dipetakan kemungkinan peningkatan efektivitas dan efisiensi dari alur rantai pasok yang ada. Kunjungan Lapangan dilakukan pada Bulan Agustus 2022 di minggu pertama. Hasil yang didapat adalah obrolan bersama dengan pihak Disperindagkop setempat, setelah sebelumnya bertamu di kantor pemerintahan (bupati) Merauke. Kepala Dinas Perindagkop Merauke, Eric C. Rmulus mengajak tim rombongan untuk melakukan kunjungan ke beberapa industri rumahan komoditas unggulan yang ada di Merauke seperti rumah produksi Minyak Sereh, Minyak Kayu Putih, juga tidak ketinggalan produksi kerajinan seperti produk-produk dari kulit kayu dan kulit buaya.
Tim terdiri dari anggota dosen dan anggota mahasiswa bersama dengan Tim dari FSRD ITB untuk menilai dari segi estetik dan seni produk yang akan disurvey. Lokasi kunjungan meliputi Wilayah Rawa Biru untuk unit produksi minyak kayu putih, kawasan Seringgu Jaya untuk produksi minyak sereh, lalu perbatasan PLBN Sota untuk penjual souvenir. Sedangkan dalam kota merauke tim diarahkan ke sentra produksi kerajinan kayu dan kulit buaya.
Data yang dicari berupa besaran-besaran produksi yang ada di lapangan, dan jangkauan produk yang telah dipasarkan untuk akhirnya dapat diolah menjadi skema rantai pasok untuk ekonomi daerah, sehingga akhirnya dapat dianalisis aliran keuangan dan aliran barang yang ada, dengan demikian pengembangan secara efisiensi dan efektivitas ekonomi bisa diperhitungkan dan diusulkan untuk peningkatannya.
Sasaran yang diupayakan adalah barang komoditas khas daerah yang memiliki keunggulan tertentu dan berdampak secara ekonomi bagi masyarakat daerah Papua Selatan khususnya sekitar Merauke. unit usaha yang telah berkembang di merauke, yaitu usaha penyulingan minyak kayu putih di perusahaan Ellu Pokos dan selanjutnya ke lokasi pembuatan kerajinan kulit buaya.
Distribusi Sektor Minyak Sereh dan Kayu Putih Merauke
Ketersediaan pohon kayu putih Merauke cukup melimpah, produksi rumahan minyak sereh dan minyak kayu putih juga cukup banyak jumlahnya. Meskipun ketersediaan nya cukup melimpah, akan tetapi pada musim-musim tertentu produksi rumahan ini masih mengalami kendala bahan baku yang tidak tersedia. Dalam temuan yang telah tim kami identifikasi, distribusi beberapa komoditas yang ada di Merauke belum secara maksimal tersebar, baik di dalam Kabupaten Merauke maupun diluar Kabupaten Merauke. Komoditas unggulan seperti minyak sereh dan minyak kayu putih baru diproduksi secara rumahan saja, standar kemasan dan produksi nya pun belum memadai meskipun beberapa ijin telah dikantongi oleh sebagian pemilik. Meskipun demikian, untuk distribusi minyak sereh sudah ada perkembangan pemasaran yang berhasil dikirimkan ke Pulau Jawa sebagai bahan baku mentah. Sedangkan untuk pemasaran minyak kayu putih, hanya tersebar di dalam wilayah Kabupaten Merauke terutama di titik tempat wisata, dan pusat kota. Selain itu, beberapa kendala juga ditemukan dalam produksi rumahan minyak kayu putih ini yaitu belum tersedia gudang yang memadai untuk penyimpanan hasil sulingan minyak, juga pengemasan yang masih seadanya menggunakan botol kaca bekas minuman tanpa disertai stiker merek dagang, dan keterangan perizinan.
Distribusi Sektor Kerajinan Merauke
Kunjungan selanjutnya dilakukan kepada Yayasan Istana Merauke yang bergerak di kerajinan dan keterampilan seni di berbagai desa pedalaman papua (Foto 4, 5, dan 6), galeri Istana Merauke menyediakan berbagai kerajinan tangan yang sangat lengkap. Dari hasil obrolan dengan ketua yayasan, Eriza Panca, didapati bahwa Yayasan memiliki galeri di Merauke dan di Jogja, dan Yayasan ini menjadi tempat untuk menitipkan penjualan karya masyarakat, terkadang dilakukan beli putus, dan juga ada yang borongan atau pemesanan di awal. Dari segi kendala yang sering dialami, Panca menjelaskan, ketidakpastian pembeli dan volume beli yang masih relatif sedikit, dan segmen pasar yang membeli juga masih di kalangan terbatas karena terkendala sosialisasi dan pemasaran. Diperlukan katalog barang yang mungkin bisa dijadikan alat sebagai upaya penyimpanan atau arsip, juga untuk penjagaan kualitas karya seni yang dibuat.
Identifikasi selanjutnya, didapati dari kunjungan tersebut beberapa data krusial yaitu jumlah volume produksi yang cukup besar bersama dengan proses dan ongkos angkut yang dilakukan oleh perusahaan ke kota Surabaya melalui kontainer tol laut. Diketahui bahwa kondisi tol laut (kapal kontainer) yang kembali dari arah Merauke ke Pulau Jawa masih sangat minim muatan, dalam artian produk Merauke/Papua Selatan yang dapat diperdagangkan ke Pulau Jawa masih sangat sedikit. Kondisi ini sebaiknya bisa dipicu dan direalisasikan dengan bijak demi produktivitas ekonomi di Merauke.
Hasil
Dari data-data yang diperoleh oleh tim, akhirnya tim dapat merumuskan skema distribusi yang tergambar dalam bagan berikut (Skema 1 dan 2). Pada UMKM kerajinan kayu dan kulit buaya, kendala yang tengah dihadapi adalah berhentinya jalur distribusi ketika masa pandemi yang lalu, keterbatasan jumlah pengrajin dan ahli yang terampil dalam bidang tersebut, juga keterbatasan wawasan dan keuletan pengrajin untuk membuat barang yang kompetitif dan kualitas memenuhi standar pasar yang lebih luas. Alhasil desain kemasan dan tampilan yang belum mengikuti zaman, kualitas dan ketahanan barang yang masih minim, dan kemampuan produksi yang masih relatif sedikit. Di bagian hilir bisnis didapati permasalahannya adalah keterbatasan modal untuk memasarkan dan mengembangkan produk, serta biaya satuan barang untuk ongkos pengiriman yang masih terbilang tinggi.
Sementara pada UMKM minyak sereh dan minyak kayu putih (skema 1), pada hulu produksi, kendala bahan baku adalah ketersediaan yang tak stabil karena terbatasnya kapasitas luaran bahan baku alam di sekitar, belum ada pemenuhan antar lokasi, alhasil skala produksi belum bisa memenuhi kuota permintaan. Pada proses pengemasan dan penyimpanan, kemasan yang didapati tidak memenuhi standar, kondisi saat ini hanya memanfaatkan botol bekas minuman, sehingga secara visual tidak cukup menjual, branding barang dan toko juga belum ada, pedagang hanya berjualan secara tradisional seperti pedagang keliling, dan produsen belum bisa memenuhi kapasitas besar karena terkendala gudang penyimpanan yang belum memadai.