Pembangunan IKN yang mengusung prinsip keseimbangan ekologi tertuang dalam tiga prinsip selaras dengan alam, sirkuler dan tangguh, serta rendah emisi karbon. Untuk mewujudkannya, maka ditetapkan target pemanfaatan ruang minimal 65% wilayah IKN sebagai kawasan lindung, 10% wilayah sebagai area produksi pangan, 100% pemanfaatan energi terbarukan, 60% penghematan energi bangunan, perwujudan Net Zero Emission, 60% daur ulang sampah, serta 100% pengolahan air limbah. Atas dasar itulah, maka aspek perlindungan lingkungan hidup menjadi tulang punggung pembangunan IKN. Selain itu, isu ketahanan pangan menjadi vital mengingat kebutuhan sumber daya pangan yang perlu diakomodasi secara mandiri. Tagar #PetaniIbuKota digaungkan untuk menunjukkan bahwa pertanian adalah ruh dari IKN. Program ini pun disebarluaskan hingga ke Kawasan Pengembangan IKN (KPIKN) sebagai penyangga lingkungan dan pendukung ketahan pangan. Pendekatan pertanian regeneratif sangat diprioritaskan terutama untuk pemanfaatan lahan-lahan marjinal yang telah rusak, seperti lahan bekas tambang. Lebih lanjut, pendekatan ini diintegrasikan dengan unsur teknologi sebagai pertanian cerdas (smart farming) serta pertanian redah karbon (climate-smart agriculture).
Dengan disepakatinya MoU bersama Otorita IKN, ITB berkomitmen untuk berkontribusi aktif dalam mewujudkan rencana strategis Pemerintah Indonesia membangun IKN di Kalimantan Timur. Melalui program yang diinisiasi oleh LPPM ITB bersama SAPPK, SITH, serta Direkorat Kemahasiswaan, dosen dan mahasiswa ITB melaksanaan pengabdian masyarakat di kawasan IKN. Pertemuan inisiasi ITB dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dan jajaran OPD membahas rencana sinergitas kegiatan pengabdian masyarakat dan KKN ITB dengan program pemerintah daerah bersama perusahaan pertambangan dalam pemanfaatan lahan bekas tambang untuk pengembangan ekonomi berkelanjutan di Kawasan Pengembangan IKN (KPIKN).
Topik yang disasar adalah pengembangan pariwisata dengan fokus pertanian, perikanan, memanfaatkan lubang galian bekas tambang (void). Tim pengabdian masyarakat dari SAPPK berkontribusi dalam melakukan penanganan (reklamasi) lahan pascatambang melalui pendekatan arsitektur lanskap dengan menggagas konsep ketahanan pangan (food security). Pengabdian masyarakat yang dilakukan memanfaatkan void untuk dikembangkan sebagai ruang produksi (landscape productive) berbagai potensi pengembangan dengan berfokus pada aspek ketahanan pangan seperti pertanian, perikanan, perkebunan, maupun kehutanan dengan pendekatan sistem pertanian terpadu (integrated farming system). Pemanfaatan lainnya dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata berbasis pertanian (agritourism) dengan tetap merujuk pada Rencana Induk Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Kegiatan ini dilakukan secara kolaboratif dengan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) sebagai mitra universitas lokal, dan PT. Multi Harapan Utama (MHU) sebagai mitra pelaksanaan kegiatan. Tujuan kegiatan ini adalah menganalisis potensi dan kendala tapak untuk kegiatan reklamasi dan pascatambang, serta menyusun perencanaan lanskap berbasis ketahanan pagan dan agrowisata.
Kolaborasi: Tim ITB berkolaborasi dengan sejumlah pihak, termasuk pemerintah daerah, mitra pelaksana, dan perangkat desa untuk menyusun perencanaan lanskap berbasis ketahanan pangan dan agrowisata di lahan bekas tambang di Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Target utama kegiatan ini adalah masyarakat di sekitar area bekas tambang. Selain itu pula, hasil dari kegiatan dapat dijadikan sebagai model kegiatan reklamasi dan pascatambang untuk lokasi-lokasi lainnya. Dengan demikian, kebermanfaatan dari area bekas tambang dapat dirasakan khususnya bagi masyarakat sekitar, dan dalam jangka panjang dapat mendukung keberlangsungan penyediaan pangan bagi IKN.
Pendekatan arsitektur lanskap digunakan sebagai landasan reklamasi dan pascatambang untuk menunjukkan nilai penting ruang tersebut dalam konteks lingkungan sekitarnya dengan memberikan nilai tambah terhadap kualitas ruang. Pendekataan ini mampu menjadikan ruang lebih atraktif, sehingga pengguna tertarik untuk mengunjungi dan menggunakan ruang tersebut. Daya tarik inilah sebagai modal awal sebuah ruang menjadi destinasi wisata.
Kegiatan dilakukan melalui survei sosial dan biofisik. Survei sosial dilakukan melalui rembug warga untuk memperoleh persepsi dan preferensi pengguna terkait kualitas ruangnya. Untuk penguatan konsep ketahanan pangan, dilakukan analisis terhadap kesesuaian lahan terhadap produk pertanian yang potensial untuk dikembangkan. Sebagai dasar analisis, dilakukan pemetaan komoditas pertanian, peternakan, perkebunan, dan kehutanan baik yang ada (existing) pada tapak dan sekitarnya, maupun yang potensial dikembangkan.
Hasil analisis kemudian dijadikan dasar dalam tahap sintesis dengan menyusun konsep pengembangan lanskap (visioning masterplan) di area bekas tambang yang dijabarkan pada konsep rencana tapak (masterplan), konsep aksesibilitas dan sirkulasi, konsep ruang (zonasi), konsep kegiatan dan aktivitas, konsep tata biru (hidrologi), konsep tata hijau (vegetasi), dsb.
Program ini menjadi model kolaborasi yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk kebermanfaatan yang lebih baik dan luas, terutama bagi masyarakat di sekitar kawasan. Pendekatan keilmuan arsitektur lanskap dapat meningkatkan optimalisasi pemanfaatan lahan bekas tambang dengan proses analisis tapak yang lebih komprehensif untuk pemanfaatan yang sesuai dan tepat (suitable and best uses) bagi pengembangan usaha pertanian dan peternakan.
Selain itu, pendekatan integrated farming menjadi solusi tepat yang tidak hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan pakan ternak, namun juga pemenuhan pangan bagi kehidupan petani/peternak maupun masyarakat secara umum. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat mewujudkan keberlanjutan ekologi/lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi.
Terkait kegiatan ini, Bupati Kutai Kartanegara Edi Damansyah sangat optimistis dapat mengubah stigma negatif masyarakat tentang lahan bekas tambang, karena lahan tersebut bisa lebih produktif. Upaya yang dilakukan dengan mengubah (reklamasi) lahan bekas tambang menjadi hijau kembali. Struktur pemanfaatan ke depan menjadi konsensi adanya investasi baru di lahan bekas tambang, seperti PT. MHU yang sudah diberikan izin mengaktifkan 3.000 hektar untuk pengembangan peternakan sapi dan pengembangan komoditi jagung hibrida.
Lebih lanjut, Asisten III Bidang Administrasi Umum Sekretariat Kabupaten (Setkab) Kukar, Totok Heru Subroto, mengatakan rencana program reklamasi lahan pascatambang adalah pengembangan beragam komoditas tanaman pertanian. Pengembangan reklamasi lahan pascatambang nantinya menggunakan sistem tumpang sari dengan mengisi sela-sela tanaman kepuh (Sterculia foetida) dengan menanami jarak (Ricinus comminus), kayu putih (Melaleuca leucadendra), singkong (Manihot esculenta) dan jagung (Zea mays) agar dapat dipanen dalam jangka waktu yang pendek.
Pengabdian masyarakat ini difokuskan pada dua desa di Kecamatan Loa Kulu, yaitu Desa Margahayu dan Desa Jonggon Jaya di mana lahan pascatambang PT. MHU berada. Rembug warga bersama perwakilan masyarakat dilakukan untuk menggali persepsi dan preferensi pemanfaatan lahan bekas tambang serta potensi dan tantangan dalam pengembangannya. Hasil rembug warga menunjukkan bahwa persepsi positif dari masyarakat yang melihat lahan pascatambang memiliki potensi besar pengembangan usaha pertanian, perkebunan, peternakan, maupun agrowisata. Harapannya, keterlibatan masyarakat bersama mitra lainnya dapat diberdayakan secara aktif dalam usaha pascatambang yang dilakukan.
Hasil rembug warga selanjutnya dianalisis lebih lanjut dengan melihat potensi dan tantangan baik dari aspek fisik seperti komoditas pertanian yang dapat dikembangkan, maupun dari aspek nonfisik seperti keterlibatan mitra yang dapat diberdayakan dalam berbagai skala pengembangan. Pada tingkat lokal, keberadaan lahan pascatambang PT. MHU berada di antara enam desa dengan beragam potensi sumber daya pertanian maupun peternakan dan juga sumber daya manusia yang mengembangkannya. Keberadaan desa-desa di sekitar lokasi perencanaan sangat potensial untuk pengembangan jejaring desa wisata berbasis pertanian. Dalam pengembangannya dilakukan berdasarkan asas gotong royong, di mana satu desa dengan desa lainnya saling melengkapi dalam pemenuhan komoditas maupun objek dan daya tarik wisatanya.
Dalam peranannya sebagai penyokong aktivitas di IKN, keberadaan lokasi perencanaan dapat berkontribusi dalam penyediaan kebutuhan pangan bagi warga IKN. Lebih lanjut dalam skala Kalimantan, potensi pengembangan usaha pertanian yang dilakukan dapat didukung dengan keberadaan mitra dari pemerintah akademisi, swasta maupun asosiasi profesi berupa dukungan kebijakan, finansial, maupun diseminasi ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna.
Berdasarkan kebutuhan dari masyarakat serta melihat potensi dukungan pengembangan dari berbagai mitra terkait, selanjutnya dilakukan analisis spasial di lahan percontohan seluas 11 ha. Tapak direncanakan menjadi tujuh zona sesuai fungsinya, yaitu Zona Penerimaan (5.130 m2), Zona Ekonomi (7.140 m2), Zona Perkebunan (20.000 m2), Zona Peternakan (24.000 m2), Zona Perairan (8.632 m2), Zona Budaya (6.510 m2), dan Zona Lindung/Sabuk Hijau (40.000 m2). Setiap zona dikembangkan menjadi beberapa area utama seperti selasar budaya, anjungan, museum untuk Zona Budaya, atau arboretum hutan hujan tropis, camping ground, dan wisata alam di Zona Lindung/Sabuk Hijau.
Secara lebih rinci, pengembangan desain (site plan) dilakukan di Zona Penerimaan, Zona Budaya, dan Zona Ekonomi sebagai arahan pembangunan prioritas. Zona Penerimaan dikembangkan fasilitas pos jaga, kantor pengelola, plaza penerima, resepsionis, aula, coffe shop, serta taman. Adapun Zona Budaya dikembangkan fasilitas selasar budaya, amphitheater, workshop, galeri, dan taman bunga. Begitu pula dengan Zona Ekonomi dikembangkan fasilitas penunjang berupa masjid dan restoran serta pusat oleh-oleh.
Lahan pascatambang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan kembali sebagai lahan produktif pertanian. Tentu dengan syarat kesesuaian lahan serta kesiapan masyarakat yang akan memanfaatkan dan mengelolanya. Fakta lain menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat di sekitar area tambang beraktivitas di bidang pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan, dan UMKM. Hal ini menjadi modal penting untuk pengembangan kawasan berketahanan pangan dan lebih jauh lagi sangat potensial dikembangkan sebagai pusat agrowisata. Melalui kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa lahan pascatambang memiliki potensi yang besar menjadi pilot project pengelolaan lahan pascatambang berbasis ketahanan pangan dan agrowisata. Mengingat besarnya manfaat dari program ini, maka kebelanjutan dari kolaborasi ini perlu diupayakan untuk memberikan kebermanfaatan yang nyata bagi semua pihak.
Tulisan Pendukung