Membangun Wisata Bintang di Pulau Sabu

Pulau Sabu adalah pulau terbesar dari tiga pulau di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Nama Sabu Raijua berasal dari nama dua pulau terbesar yaitu Pulau Sabu dan Pulau Raijua. Pulau terkecilnya adalah pulau Dana, jauh di Barat Daya pulau Sabu, dan sekitar 200 hektar luasnya dan tidak berpenghuni.

Kabupaten Sabu Raijua yang terletak antara Pulau Sumba dan Pulau Timor ditetapkan sebagai daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) Indonesia, berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 179 Tahun 2014. Pulau-pulau 3T ini mendapat perhatian khusus karena memiliki nilai strategis dalam menjaga keutuhan wilayah NKRI. Pelajaran dari lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan, menunjukkan pentingnya ada kegiatan di pulau terluar, terpencil dan tak berpenghuni. Apalagi jika pulau terpencil itu mengandung potensi ekonomi yang besar, seperti Pulau Sabu.

Untuk mencapai Pulau Sabu, kita dapat menggunakan pesawat kecil berkapasitas 12 orang dari Kupang, yang terbang sehari sekali pada Senin, Selasa dan Kamis. Lama penerbangan sekitar 50 menit ke arah Barat. Sabu juga dapat ditempuh dengan kapal laut selama 8 jam yang berangkat setiap hari, kecuali jika ada peringatan cuaca buruk dari BMKG.

Dalam membangun Sabu Raijua, pengembangan sebagai destinasi wisata bintang atau astrowisata menjadi pilihan yang menarik karena memiliki potensi astrowisata terbaik. Berdasarkan analisis Prof. Taufiq Hidayat (2012) pulau Sabu merupakan daerah dengan fraksi hari cerah tertinggi di Indonesia. Kecerahan langit merupakan salah satu syarat utama keberhasilan mengamati benda langit. Maka secara meteorologis pulau Sabu merupakan calon lokasi terbaik untuk pendirian observatorium, kegiatan stargazing, astrofotografi dan lainnya.

Pulau Sabu merupakan tempat yang paling banyak fraksi hari cerahnya, sekitar 75%, dibandingkan dengan Lembang, Jawa Barat yang hanya 46%, tapi mempunyai observatorium Bosscha. Perbandingan lain, adalah ketika para astronom memilih gunung Timau yang fraksi hari cerahnya 67%, dengan alassan Gunung Timau yang terletak di di Kabupaten Kupang sebagai lokasi observatorium terbesar Asia Tenggara memiliki keunggulan ketinggiannya 1300 m dpl, sedangkan titik tertinggi di Pulau Sabu hanya 325 m. Fakta ini memberi inspirasi, bahwa Pulau Sabu juga berpotensi besar untuk dikembangkan menjadi destinasi astrowisata alam permanen terbaik di Indonesia.

Menyongsong GMT

Salah satu peristiwa besar astronomi dalam waktu dekat yang dapat diamati dari pulau Sabu akan terjadi pada tanggal 20 April 2023, yaitu gerhana matahari total (GMT). GMT selalu menarik perhatian wisatawan khusus penggemar peristiwa langit dari seluruh dunia, sehingga dapat menjadi kesempatan untuk menarik wisatawan untuk datang.

Totalitas gerhana ini akan melalui ujung Barat Australia, Timor Leste bagian Timur, daerah leher burung Papua, pulau Biak dan beberapa pulau kecil di Maluku. Gerhana sebagiannya dapat diamati dari seluruh Indonesia kecuali pulau Sumatera bagian Utara. Di Sabu, proses gerhana akan dimulai pada pukul 10.33 WITA, mencapai puncaknya pada pukul 12.06 dan berakhir pukul 13.41.

Probabilitas keberhasilan pengamatan GMT di pulau Biak dan Papua diperkirakan tidak cukup tinggi karena cuaca yang kurang mendukung. Tutupan awan dan curah hujan yang biasanya cukup tinggi pada April, sehingga diprediksi 16% kemungkinan cerah, dengan 62% kemungkinan hujan (weatherspark.com). Di Sabu, harapan untuk bisa menyaksikan gerhana cukup tinggi karena secara rata-rata tutupan awan (35% kemungkinan cerah) dan curah hujan yang rendah (18% kemungkinan hujan).

Di Pulau Sabu gerhana matahari akan mencapai maksimum 93% dari totalitas, namun tetap cukup menarik. Masyarakat bisa menyaksikan proses tertutupnya matahari oleh bulan sampai maksimum 93%. Langit akan terasa meremang sejak dimulainya gerhana hingga dekat ke puncak gerhana, lalu perlahan menjadi benderang kembali. Temperatur pun akan terasa semakin sejuk seiring dengan memuncaknya proses gerhana.

Pemandu astrowisata

Dalam mengamati gerhana matahari dengan aman, diperlukan pengetahuan dan ketrampilan tertentu yang cukup sederhana, sebab cara pengamatan yang salah bisa berbahaya untuk mata. Oleh karena itu pada 10-11 Juni 2022 yang lalu tim LPPM ITB melaksanakan pelatihan untuk calon pemandu astrowisata,  Pada tahun pertama 2022 ini, pelatihan dilakukan sebagai persiapan menjelang diselenggarakan pengamatan GMT.

Pada peristiwa GMT, akan banyak masyarakat maupun turis datang, sehingga diperlukan bantuan masyarakat lokal yang telah terinformasi untuk memandu masyarakat luas dalam melihat GMT, yang pertama sekali adalah faktor keamanan, mengingat risiko kerusakan retina jika melihat langsung. Masyarakat perlu mendapatkan pengetahuan mengenai cara-cara pengamatan yang aman.

Selain itu, masyarakat juga akan bertanya mengenai astronomi dan oleh karena itu perlu membekali pengetahuan terhadap calon-calon pemandu astrowisata yang dipilih terutama mereka yang memiliki dasar pengetahuan, seperti para guru fisika dan geografi dan siswa SMA terpilih.  Tentu saja pelatihan tidak cukup, dan untuk menambah pelatihan dilakukan dua minggu sekali secara daring, mulai Agustus 2022. Diskusi via daring setiap malam minggu, selain juga dibentuk grup Whatsap membuat diskusi lebih terbuka. Pelatihan yang diikuti 60 orang ini berlanjut hingga  pertengahan November. Peserta dengan kehadiran yang baik diberikan sertifikat. Selain pelatihan pemandu, tim ITB juga membawa tiga teropong bintang untuk ditempatkan di Pulau Sabu. Tim ITB sekaligus memberikan pelatihan bongkar pasang teropong.

Materi bagi calon pemandu astrowisata diperoleh dari pengalaman mengelola peneropongan bintang dan dari survei ke klub-klub astronomi. Materi pertama adalah tentang astrowisata dan bagaimana pengamatan dilakukan. Materi kedua, mengenai gerhana matahari yang dilengkapi dengan berbagai gangguan utama para astronom, yaitu cuaca. Selain itu, sejumlah materi yang banyak ditanyakan terkait astronomi, yaitu mengenai lubang hitam, penerbangan angkasa luar, dan keingintahuan mengenai posisi benda langit tertentu yang disampaikan melalui materi fenomena benda laing.

Tim ITB yang terdiri dari tiga dosen dan 4 mahasiswa dari keilmuan astronomi dan meteorologi, sekaligus melakukan survey untuk mencari lokasi pengamatan yang terbaik. Lokasi pertama yang disurvey adalah untuk pengamatan GMT, dengan kriteria tempat yang cukup luas. Survey kedua adalah untuk pengamatan malam hari, untuk tujuan jangka panjang wisata astronomi yang tidak terkait dengan GMT.

Secara jangka panjang, Pulau Sabu berpotensi untuk membangun destinasi astrowisata permanen alam pertama di Indonesia. Namun, selain penyiapan sumber daya manusia khususnya pemandu astrowisata, Pulau Sabu memiliki tantangan pengembangan destinasi wisata umumnya, selain transportasi dan akomodasi, perlu dikembangkan pula destinasi wisata lain, baik wisata alam dan budaya. Untuk potensi ini, Pulau Sabu memiliki beragam daya tarik, misalnya ikon wisata geologi Klaba Maja, gunung pelangi yang hanya ada lima di dunia. Terdapat pula Gua Mabala dan beragam gua, selain wisata pantai yang indah.*

Astrowisata dan Pengembangan Destinasi Wisata

Astrowisata adalah kegiatan kepariwisataan yang melibatkan benda langit sebagai obyek yang dinikmati keindahannya. Dalam workshop astrowisata di Firenze, Italia tahun 2018, disepakati definisi astrowisata atau astrotourism yang dalam bahasa Indonesia yaitu “setiap perjalanan atau hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan kesenangan, pengetahuan dan keingintahuan tentang sejarah, budaya, ilmu dan teknologi dalam astronomi dan alam semesta.” Definisi ini yang kemudian diajukan ke organisasi astronom profesional sedunia, Internasional Astronomical Union (IAU) dalam rangka mengusulkan pembentukan Astrotourism Working Group di dalam organisasi itu.

Ditinjau dari lokasinya, ada beberapa jenis astrowisata, ada tempat astrowisata buatan yang permanen, seperti Skyworld, Taman bintang, Planetarium dan lain-lain. Ada tempat astrowisata alam yang permanen yang merupakan tempat yang baik untuk mengamati benda langit. Di dunia, lokasi astrowisata alam permanen ini merupakan suatu Dark Sky Reserve area, suatu daerah yang kegelapan lingkungannya dijaga, dijauhkan dari polusi cahaya agar langit yang indah dapat dinikmati.

Ada pula astrowisata yang tidak dilaksanakan di tempat yang tetap melainkan bergantung pada ketepatan posisi dalam mengamati fenomena, misalnya kegiatan mengamati dan menikmati Gerhana Matahari, Gerhana Bulan, okultasi dan lain-lain. Tempat yang baik untuk melihat fenomena tersebut selalu berubah, bergantung pada jenis fenomena, peredaran Bulan, peredaran Matahari, posisi Bumi dan Rotasi Bumi.

Dari cara pandang Astronomi, polusi cahaya adalah keadaan langit yang lebih terang karena partikel atmosfer memantulkan, membiaskan dan menghamburkan cahaya lampu atau sumber cahaya lain buatan manusia. Langit yang lebih terang membuat galaksi dan bintang-bintang yang lebih redup semakin sulit dilihat, sehingga daya tarik tempat yang berpolusi cahaya sebagai destinasi astrowisata akan menurun.

Selain keunggulan iklim, keunggulan Pulau Sabu dalam bidang astrowisata adalah polusi cahayanya yang rendah, sehingga, di malam hari yang cerah, wisatawan dapat melihat langit yang cantik dengan banyak sekali bintang bertaburan. Galaksi Bimasakti, yang di kota-kota besar pulau Jawa tak mungkin terlihat karena polusi cahaya, disana bisa terlihat dengan jelas dan indah.

Penggemar Astronomi

Benarkah ada banyak orang yang gemar mengamati benda langit? Banyaknya pemberitaan di media ketika terjadi suatu peristiwa langit membuktikan ketertarikan masyarakat kepada astronomi. Sebagai contoh, pada tanggal 9 Maret 2016 terjadi gerhana matahari total yang melalui beberapa kota di Indonesia. Ketika itu sangat banyak wisatawan, termasuk wisatawan mancanegara, yang datang ke kota/daerah yang dilalui gerhana, seperti Palembang, Belitung, Palangkaraya, Palu, Ternate dan lain-lain. Saat Gerhana Matahari Total 2016 itu penulis melakukan sosialisasi dan pengamatan di kota Palu. Ketika itu Kota Palu dikunjungi sangat banyak wisatawan asing dari berbagai negara, dalam group-group besar sehingga suasana internasionalnya sangat terasa, seperti Bali.

Contoh lain, pada 31 Januari 2018 ada peristiwa Gerhana Bulan Total yang populer di media sosial dengan sebutan “Super Blue Blood Moon” yang dapat diamati di berbagai lokasi di Indonesia. Ketika itu sangat banyak info beredar di media sosial, televisi dan media cetak tentang fenomena itu. Banyak institusi dan klub-klub penggemar astronomi yang menyelenggarakan event pengamatan bersama di berbagai kota.

Fakta lain yang menunjukkan bahwa Astronomi menarik bagi publik adalah banyaknya klub-klub penggemar astronomi. Di Indonesia ada lebih dari seratus klub astronom amatir di berbagai kota. Sebelum pandemi beberapa kali klub-klub tersebut berkumpul membuat jambore nasional di Watukosek, Pasuruan, menggunakan lokasi stasiun pengamatan Matahari milik LAPAN. Tidak hanya di Indonesia, di negara-negara lain pun, terutama negara maju ada banyak klub-klub astronom amatir. Sebagian anggota klub astronom amatir di negara maju bahkan bergiat dengan intensif sehingga menghasilkan prestasi yang setara dengan astronom profesional.

Obyek wisata pendukung

Suatu destinasi astrowisata akan lebih diminati wisatawan apabila disana atau di dekatnya ada obyek-obyek wisata lain, sehingga wisatawan bisa menikmati berbagai obyek dan atraksi wisata dalam satu kali perjalanan. Di pulau Sabu ada berbagai obyek yang menarik, sebagai contoh, bukit warna-warni Kelabba Madja. Keindahannya telah cukup terkenal dan foto-fotonya sudah banyak beredar di internet. Bukit dengan lapisan-lapiran tanah berbeda warna seperti itu termasuk langka di dunia. Menurut cerita penduduk setempat, pada zaman kejayaan Majapahit di Jawa, mahapatih Gajah Mada pernah singgah di pulau Sabu, antara lain ke Kelabba Madja. Pada tahun 2021, Kabupaten Sabu Raijua meraih juara 3 situs sejarah terbaik dalam Anugerah Pesona Indonesia (API) karena adanya peninggalan Majapahit disana.

Contoh lain adalah Goa Mabala, sebuah rongga bawah tanah, dengan suatu celah diatasnya sehingga pada siang hari sebagian dari gua mendapat penerangan alami yang indah. Masih ada bagian-bagian gua Mabala yang lebih dalam dan gelap. Bagian yang gelap itu bila ditata dengan pencahayaan warna-warni yang indah akan menjadi menarik untuk dikunjungi, untuk itu perlu dilakukan survei dan penelitian lebih lanjut. Dengan kekhasan geologi tersebut pulau Sabu memiliki potensi besar untuk menjadi sebuah geopark di masa depan seperti pulau Belitung.

Pantai-pantai yang indah juga banyak terdapat di pulau Sabu. Pantai Menanga (gambar 5) misalnya memiliki hamparan pasir yang luas yang dapat menampung banyak wisatawan untuk berenang dan berjemur. Di pantai Rae Mea dan pantai Bali, saat laut surut, orang dapat berjalan di antara lamun, jauh ke tengah laut dengan ketinggian air hanya sebetis hingga sepinggang. Pantai Langa’ae, pasirnya putih, lembut dan nyaman untuk wisatawan berjemur dan bermain. Disini juga wisatawan dapat menikmati keindahan matahari terbenam. Masih banyak pantai-pantai lain yang jika ditata juga dapat menarik bagi wisatawan.

Selain wisata alam, pulau Sabu juga memiliki potensi wisata budaya. Di desa adat Namata misalnya, wisatawan dapat merasakan suasana desa adat yang berhiaskan batu-batu bulat berukuran besar yang konon diangkat dari dasar laut dengan kekuatan gaib. Wisatawan bisa menyaksikan, mempelajari adat istiadat orang Sabu zaman dahulu hingga sekarang. Wisatawan juga dapat melihat-lihat mencoba dan membeli pakaian tradisional dari tenunan khas Sabu, menikmati suasana rumah adat Sabu dan lain-lain. Pada 2021 Namata juga pernah meraih penghargaan API (Anugerah Pesona Indonesia), sebagai juara pertama kampung adat  terpopuler. Di berbagai desa yang lain, pada tanggal-tanggal tertentu ada upacara adat, kegiatan doa bersama, festival, tari-tarian dan kegiatan budaya lain.

Jika pulau Sabu memiliki banyak potensi kepariwisataan, mengapa sedikit sekali wisatawan yang datang dan waktu tinggalnya pun pendek dibanding kawasan wisata lain di Indonesia?

Hal ini terutama disebabkan karena lokasinya yang terpencil, sarana transportasi yang masih kurang dan infrastruktur yang masih belum memadai untuk wisata masal. Jika sarana dan prasarana transportasi, akomodasi dan infrastruktur ditingkatkan, dibarengi dengan pemasaran yang bagus, dipastikan arus wisatawan akan meningkat pesat (Chatief Kunjaya/KK Astronomi FMIPA, ITB).

847

views