Manusia Sebagai Penentu Katastrofe

MEDIA massa sering menyebutkan bencana alam melanda Indonesia. Kejadian tsunami Aceh 2004 menjadi salah satu bencana terbesar di Indonesia dalam 20 tahun terakhir. Setidaknya 250 ribu orang dari berbagai negara seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, India, Sri Lanka, Myanmar, Bangladesh, Maladewa, dan Tanzania, meninggal dunia akibat gempa dan tsunami tersebut. 

Gempa Yogyakarta dan Padang, erupsi gunung Merapi dan gunung Sinabung serta sejumlah peristiwa serupa, kemudian seakan menjadi rentetan kejadian bencana di Indonesia. Sebelum pandemi melanda, pada 2018 saja terjadi gempa Lombok, gempa dan tsunami Palu, kemudian ditutup dengan tsunami Selat Sunda akibat erupsi gunung Anak Krakatau. 

Kejadian-kejadian bencana tersebut menambah panjang daftar peristiwa yang menelan banyak korban di Indonesia. Lantas apakah kejadian-kejadian tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya? Apakah kita tidak mengetahui sejarah peristiwa geologis tersebut?

Bencana menurut Undang-undang (UU) No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Sedangkan bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Dari definisi bencana dan bencana alam, suatu kejadian geologis dapat dikatakan sebagai bencana jika mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat yang menyebabkan adanya korban jiwa dan kerugian.

Apakah semua peristiwa geologis menyebabkan bencana? Tentu saja tidak. Mari kita lihat definisi bencana yang ada. Definisi bencana dalam UU 24/2007 masih menyisakan beberapa pertanyaan. Misalnya, dalam suatu peristiwa kriteria korban jiwa, mengganggu kehidupan masyarakat, kerugian harta benda, dan dampak psikologis masih belum jelas batasannya.

Sebagai contoh, apakah kejadian longsor di suatu daerah yang menyebabkan pagar rumah seseorang dapat dikategorikan sebagai bencana? Jika berdasarkan definisi yang ada, peristiwa tersebut tentu saja sesuai dengan definisi bencana. Namun apakah kita pernah mendengar adanya bencana yang kerugiannya pagar rumah seseorang?

Dalam beberapa literatur, definisi bencana diperjelas dengan berapa jumlah korban jiwa, berapa kerugian, berapa orang yang terdampak (terganggu penghidupannya). Kriteria menurut Center for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED) Universitas Louvain Belgia dan World Watch Institute, bila 10 orang meninggal, 100 orang terdampak, dinyatakan sebagai keadaan darurat nasional, atau suatu negara menyatakan membutuhkan bantuan negara lain, adalah suatu peristiwa yang dapat dikatakan sebagai bencana. Dalam skala yang lebih besar terdapat pula istilah katastrofe (malapetaka).

Rancangan undang-undang (RUU) tentang penanggulanan bencana yang akan merevisi UU 24/2007 sebelumnya telah bergulir dari 2020, sebelum kemudian dihentikan pada Mei 2022. Dalam draf RUU tersebut, definisi bencana ditambahkan frasa 'melampaui kemampuan masyarakat terdampak'. Definisi ini masih tidak secara jelas batas-batas bencana.

Tidak jelasnya batasan ini akan berdampak pada terulangnya permasalahan yang terjadi pascagempa Lombok 2018 tentang polemik darurat nasional atau tidak. Ketidakjelasan definisi ini bukan tidak mungkin dapat menimbulkan polemik serupa di kemudian hari. Jika pembahasan RUU ini dilanjutkan alangkah baiknya jika definisi bencana dapat diperjelas.

Bahaya atau bencana

Jika kita menilik kejadian gempa di Indonesia, Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono menyatakan setidaknya 5.818 kali gempa per tahun. Tentu saja tidak semuanya menjadi bencana. Kejadian gempa tersebut menjadi fenomena alam yang terjadi. Dalam UU 24/2007 disebutkan sebagai ancaman bencana, yang didefinisikan sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan bencana.

Kita memiliki kata yang lebih tepat untuk menggambarkan kejadian gempa atau kejadian lain yang mengancam tetapi tidak menjadi bencana. Bahaya adalah kata yang tepat untuk definisi tersebut. Dalam KBBI, kata bahaya berarti yang (mungkin) mendatangkan kecelakaan (bencana, kesengsaraan, kerugian, dan sebagainya).

Secara geologis, kejadian gempa, tsunami, erupsi gunung api, longsor, bahkan banjir, adalah sebuah fenomena yang telah terjadi bahkan sebelum manusia ada di muka bumi dapat kita sebut sebagai bahaya. Gempa bumi terjadi sejak jutaan tahun lalu, sejak tektonik lempeng bekerja di planet bumi. Bahkan akibat tektonik lempeng bekerja, kita juga kemudian memiliki gunung api, pembentukan pegunungan yang berimplikasi adanya longsor dan banjir misalnya. Kejadian-kejadian tersebut secara alamiah telah terjadi sejak jutaan tahun yang lalu.

Kita dapat menemukan fosil gempa di masa lalu di batuan yang umurnya jutaan tahun. Jejak endapan banjir, longsor, erupsi gunung api juga kita dapat temukan tersebar di berbagai belahan bumi. Tentu saja kejadian-kejadian tersebut tidak menjadi bencana, kerena tidak ada manusia, tidak ada kerugian materiil maupun dampak psikologis. Peristiwa-peristiwa geologis yang pada suatu kesempatan menjadi bencana tersebut terjadi jutaan tahun lalu dan akan terus terjadi di masa mendatang.

Dari melihat masa lalu kita tahu bahwa gempa bumi, erupsi gunung api, banjir, longsor, peristiwa lainnya merupakan peristiwa yang berulang dan terus berulang. Pada masa lalu tidak menjadi bencana, namun di masa kini atau masa mendatang kejadian yang sama di lokasi yang sama dapat berubah menjadi bencana bahkan katastrofe. Hanya dengan menambahkan faktor manusia.

Bahaya terjadi, lantas apa yang menyebabkan bahaya berubah menjadi bencana? Faktor manusia yang berada (atau harta benda) di lokasi bahaya akan menyebabkan manusia atau harta benda dapat menjadi korban. Kedekatan manusia dengan lokasi bahaya kita sebut sebagai paparan. Semakin banyak manusia yang berada dekat dengan lokasi bahaya, makin besar kemungkinan kejadian bahaya menjadi bencana. Kemungkinan tersebut adalah risiko bencana.

Selain jumlah manusia atau harta benda, faktor lainnya adalah bagaimana kondisi manusia atau harta benda yang terpapar bahaya tersebut. Dalam RUU penanggulangan bencana hal ini disebutkan dalam definisi bencana, yaitu dalam frasa 'melampaui kemampuan masyarakat'. Gempa terjadi ribuan kali dalam setahun di Indonesia, gempa yang sama di suatu area dan di area lain memiliki dampak yang berbeda. Gempa Yogyakarta 2006, misalnya, dengan kekuatan 6,4 menyebabkan lebih dari 5.000 orang meninggal dunia. 

Gempa dengan magnitudo yang sama pada 2019 di Lao, Thailand mengakibatkan 12 orang luka-luka. Tentu saja kita tidak dapat membanding secara langsung, tetapi jumlah manusia dan kondisi masyarakat akan sangat berpengaruh. Manusia yang menentukan apakah suatu peristiwa geologis yang telah terjadi jutaan tahun yang lalu akan menjadi bencana atau sebagai peristiwa alam.

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/514533/manusia-sebagai-penentu-katastrofe

1980

views