Jaring Laba-laba untuk Selamatkan Terumbu Karang

Situasi global saat ini menunjukkan bahwa kenaikan muka air laut rata-rata adalah 3 mm per tahun sejak 1993, dimana tiap perairan regional tidak seragam tinggi muka air lautnya. Penyebab utama naiknya muka air laut yang signifikan tersebut adalah perubahan iklim ekstrem selama 10 tahun terkahir, dimana suhu atmosfer-permukaan perairan laut turut memanas. Situasi tersebut mempercepat mencairnya es di kutub dan mempengaruhi proses atmosferik seperti evaporasi dan presipitasi. Hubungan atmosfer dengan laut sangatlah erat khususnya terkait proses atau mekanisme meteorologi dan klimatologi jangka panjang. Sebagai contoh, Lautan Pasifik sebagai samudera terbesar yang berbatasan langsung dengan Indonesia, perubahan suhu permukaan laut yang terjadi mampu mendorong fenomena atmosferik seperti El-Nino dan La-Nina yang berdampak tidak hanya di Kawasan Pasifik namun juga global.

Perubahan iklim memberikan tekanan besar terhadap ekosistem laut, khususnya pada terumbu karang. Salah satu dampak yang paling nyata adalah fenomena pemutihan karang (coral bleaching), yaitu kondisi dimana suhu air laut yang terus meningkat menyebabkan hilangnya simbiosis antara karang dan alga zooxanthellae, mikroorganisme yang memberi warna pada karang. Ketika suhu air laut terlalu panas, zooxanthellae akan dikeluarkan dari jaringan karang, sehingga karang kehilangan warnanya dan berangsur-angsur mati jika kondisi tidak membaik.

Selain itu, asidifikasi laut juga berperan besar dalam degradasi ekosistem terumbu karang. Asidifikasi terjadi ketika karbon dioksida dari atmosfer diserap oleh lautan, menurunkan pH air laut dan menyebabkan lautan menjadi lebih asam. Tingkat keasaman yang meningkat mempengaruhi kemampuan karang untuk membentuk kalsium karbonat, bahan penyusun utama kerangka terumbu karang. Jika proses pembentukan kerangka ini terhambat, karang menjadi lebih rapuh dan rentan terhadap kerusakan mekanis.

 

Posisi Indonesia sendiri berbatasan dengan Lautan Pasifik bagian barat dan mendapat dampak dari anomali perubahan suhu atmosfer-laut, termasuk El-Nino dan La-Nina dengan potensi ancaman bencana hidrometeorologi yang mengancam tidak hanya ekosistem pesisir tapi juga masyarakat yang hidup mencari penghidupan dari laut. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, kawasan pesisir Indonesia sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti kenaikan muka air laut ekstrim, abrasi pantai, badai laut dan pengasaman air laut yang berdampak pada kemungkinan degradasi ekosistem perairan laut termasuk diantaranya lamun, mangrove, dan bahkan habitat terumbu karang yang berada di dasar perairan dangkal. Kesehatan ekosistem terumbu karang berpengaruh terhadap kekayaan biodiversitas ikan yang tinggal di habitatnya, begitu pula sebaliknya, apabila habitat terumbu karang rusak maka kuantitas ikan akan menurun.

Pemerintah dan berbagai organisasi lingkungan hidup telah berupaya melakukan restorasi terumbu karang serta rehabilitasi mangrove untuk mengurangi abrasi dan memberikan perlindungan terhadap pesisir. Namun, para pakar kembali mengingatkan bahwa upaya ini memerlukan dukungan jangka panjang dan strategi mitigasi bencana yang lebih tangguh dan berdampak panjang terhadap potensi bencana hidrometeorologi. Peningkatan kesadaran masyarakat, peraturan perlindungan lingkungan yang lebih ketat, serta dukungan terhadap penelitian kelautan dinilai menjadi langkah penting untuk menjaga kesehatan ekosistem pesisir Indonesia di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin nyata. Termasuk perlindungan di kolom perairan melalui penguatan ekosistem terumbu karang salah sataunya dengan pendekatan antropogenik.

Pulau Pisang yang terletak di Kecamatan Krui, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung merupakan kawasan seluas 313 hektar dengan populasi 1.971 jiwa yang terisolir dari daratan utama Pulau Sumatera. Masyarakat Pulau Pisang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya laut yang kini tengah terancam isu perubahan iklim global yang dapat dirasakan dalam skala lokal. Kepala bidang perikanan tangkap Dinas Perikanan Pesisir Barat, Agung Adha, juga menyampaikan bahwa hasil tangkapan ikan nelayan dalam dua tahun ini mengalami penurunan. Melalui pendekatan empiris, diketahui kualitas habitat terumbu karang mengalami kerusakan di sekitar Pulau Pisang, kondisi tidak ideal yang dialami oleh masyarajat dan lingkungan akibat perubahan iklim ini yang melatarbelakangi kegiatan pengabdian masyarakat (PM) dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Bandung (ITB) dilaksanakan. Guna mencapai hasil yang diharapkan, kegiatan PM yang diketuai oleh Dr Nia Kurniasih (FSRD ITB) ini juga menggandeng akademisi dari Teknik Kelautan Itera Lampung Trika Agnestasia Tarigan, MT, Ayu Libyawati., M.T., Dr. Nirmawana Simarmata., M.Sc. serta melibatkan mahasiswa multidisiplin ilmu yaitu: Gesa Ghefira (Teknik Geodesi & Geomatika ITB), Sekar Ariane (Oseanografi ITB), dan Hasna Alimah (Desain Produk ITB).

Teknologi dan inovasi yang diimplementasikan dalam kegiatan ini adalah desain media transplantasi terumbu karang dengan bentuk jarring laba-laba yang ditanamkan pada dasar perairan di kedalaman 5-10 meter sesuai dengan habitat alami terumbu karang di Pulau Pisang. Pemilihan metode jarring laba-laba didasari oleh karakter fisik perairan Pulau Pisang yang memiliki arus cukup kencang, sehingga diharapkan denga kaki-kaki media transplantasi dapat mereduksi energi arus. Disamping itu, dengan kaki-kaki media transplan dapat dimanfaatkan untuk meletakkan bibit terumbu karang dalam jumlah yang lebih banyak.

Secara teknis, setelah melakukan observasi dengan penginderaan jauh dan dari artikel ilmiah, tim mengevaluasi hasil riset dengan terjun langsung ke lapangan dengan keterlibatan penyelam di Bulan Juni 2024. Setelah itu tim menyeleksi karang yang bisa dijadikan indukan untuk bibit transplantasi. Selanjutnya bibit-bibit yang terpilih, umumnya adalah jenis acropora, diikat pada media transplan yang sudah diatur ukuran dan peletakannya. Proses ini harus dilakukan dengan segera dengan mempertimbangkan efisisensi waktu dan juga ketahanan karang yang dapat terpapar langsung oleh cahaya matahari. Media transplan yang sudah siap kemudian direlokasi di lokasi potensial dimana habitat terumbu karangnya mengalami bleaching atau kematian. Disamping itu, untuk memperkuat hasil observasi dilakukan juga pengukuran suhu permukaan laut di lapangan.

Kesadaran masyarakat lokal terhadap ancaman perubahan iklim masih minim, terutama di kalangan nelayan dan pelajar. Oleh karena itu, tim pengabdian bersama Dinas Perikanan Kabupaten Pesisir Barat menyelenggarakan kegiatan diseminasi pengetahuan tentang perubahan iklim dan konservasi terumbu karang. Pendidikan lingkungan pada kelompok nelayan dan siswa SMA di Pulau Pisang menjadi bagian penting dari keberlanjutan proyek ini. Dengan pemahaman lebih baik tentang ancaman perubahan iklim dan cara mitigasi bencana, masyarakat lokal diharapkan mampu mengadopsi perilaku yang lebih ramah lingkungan dan mendukung keberlanjutan konservasi. Penyebaran pengetahuan dapat dilakukan melalui kurikulum pendidikan yang memasukkan materi konservasi ekosistem pesisir, termasuk terumbu karang dan dampak perubahan iklim. Mencetak agen perubahan di tingkat masyarakat lokal sangat berperan dalam keberlanjutan jangka panjang proyek ini, serta untuk menghindari perusakan terumbu karang lebih lanjut oleh aktivitas manusia yang tidak sadar akan dampaknya. Oleh karena itu, guna keberlanjutan dan pemeliharaan hasil PM, maka tim pengabdian bersama Dinas Perikanan Kabupaten Pesisir barat mengadakan diseminasi hasil kegiatan dan penyampaian pengetahuan mitigasi perubahan iklim. Rangkaian acara diseminasi dikuti oleh kelompok nelayan Pulau Pisang dan pelajar SMA yang diharapkan mampu menjadi agen perubahan mitigasi bencana iklim di Pesisir Barat.

Hasil diskusi dengan masyarakat dan Dinas Perikanan yang diwakili oleh Arief Mulyawan selaku Kepala UPTD BBI menitipkan harapan untuk melanjutkan kegiatan di masa mendatang dengan penambahan fokus pada penguatan perekonomian masyarakat di sektor pariwisata bahari, sehingga masyarakat mendapat opsi mata pencaharian selain dari hasil perikanan tangkap. Aspirasi tersebut muncul dari gagasan bahwa biodiversitas terumbu karang dapat dijadikan sebagai objek wisata bawah air. Bersamaan dengan upaya transplantasi, tim juga mempromosikan ekowisata bawah laut sebagai sumber penghasilan alternatif bagi masyarakat setempat. Ekosistem terumbu karang yang sehat memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata bawah laut, dengan menyediakan peluang bagi masyarakat setempat untuk terlibat dalam kegiatan wisata bahari. Dengan mendukung perekonomian lokal melalui wisata bawah laut yang ramah lingkungan, masyarakat Pulau Pisang dapat beralih dari ketergantungan terhadap hasil tangkapan laut menjadi pemandu atau pengelola wisata. Ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi tetapi juga mengurangi tekanan pada sumber daya laut setempat. Wisata bawah laut berbasis konservasi menawarkan potensi ekonomi yang berkelanjutan, dengan penekanan pada perlindungan ekosistem terumbu karang melalui kegiatan-kegiatan seperti snorkeling dan menyelam. Di masa mendatang, program sertifikasi dan pelatihan untuk masyarakat lokal dapat dikembangkan agar mereka memiliki keterampilan dalam mendampingi wisatawan yang berkunjung.

Beberapa dampak jangka panjang yang diharapkan dari program ini antara lain:

  • Hasil diskusi dengan masyarakat dan Dinas Perikanan menunjukkan harapan untuk melanjutkan kegiatan transplantasi terumbu karang dengan fokus tambahan pada penguatan ekonomi masyarakat melalui pariwisata bahari. Kegiatan ini diharapkan dapat membuka peluang ekonomi baru, mengurangi ketergantungan pada hasil perikanan tangkap, serta meningkatkan kesadaran lingkungan. Beberapa dampak jangka panjang yang diharapkan dari program ini antara lain:
  • Mitigasi dan Perlindungan Ekosistem Terumbu Karang: Program transplantasi ini diharapkan dapat memulihkan kondisi terumbu karang yang telah mengalami kerusakan akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia. Hal ini juga diharapkan dapat mengurangi potensi dampak buruk dari kenaikan muka air laut dan bencana hidrometeorologi di kawasan pesisir.
  • Peningkatan Hasil Tangkapan Ikan: Dengan pemulihan habitat terumbu karang, jumlah dan kualitas ikan di Pulau Pisang diharapkan meningkat, sehingga membantu meningkatkan pendapatan nelayan.
  • Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat: Melalui program diseminasi dan pendidikan, masyarakat lokal dan pelajar dapat memahami dampak perubahan iklim dan pentingnya konservasi ekosistem laut, yang diharapkan dapat menginspirasi generasi muda untuk terlibat dalam pelestarian lingkungan.
  • Peningkatan Ekonomi Lokal melalui Ekowisata: Pengembangan ekowisata bawah laut berpotensi memberikan pendapatan alternatif bagi masyarakat, mengurangi ketergantungan pada hasil tangkapan laut, dan memperkuat ekonomi lokal.

Untuk mendukung pelestarian terumbu karang dan pengembangan ekowisata, perlu adanya kolaborasi multistakeholder antara pemerintah, sektor swasta, dan LSM. Pemerintah dapat memperkuat kebijakan perlindungan pesisir, menetapkan kawasan konservasi laut, dan menerapkan regulasi penangkapan ikan yang berkelanjutan untuk mengurangi tekanan pada ekosistem terumbu karang. Bersama sektor swasta, mereka juga bisa menyediakan infrastruktur wisata bahari yang ramah lingkungan, seperti fasilitas snorkeling dan pusat edukasi konservasi. LSM dan komunitas lokal dapat berperan dalam mendukung program edukasi dan pelatihan bagi masyarakat, terutama nelayan, untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya ekosistem laut.

Gambar 1. Persiapan penyelaman transplantasi terumbu karang

Gambar 2. Pengambilan bibit terumbu karang

Gambar 3. Penempelan bibit terumbu karang pada media transplan

Gambar 4. Penanaman media

50

views