ITB Kembangkan Teknologi Pengeringan dan Pengawetan Bambu

BANDUNG, lppm.itb.ac.id-Bambu memiliki banyak kelebihan diantaranya memiliki kekuatan yang tinggi sehingga banyak digunakan sebagai material bangunan serta bahan kerajinan. Selain itu, kelemahan juga ditemukan pada material bambu terutama terkait keawetannya yang rendah dan memiliki kandungan air tinggi, sehingga bambu kurang stabil pada kondisi pemakaiannya. Dengan sifat alami bambu seperti ini membuat resiko bambu menjadi rusak karena jamur dan serangga menjadi sangat besar. Hal tersebut sangat menghambat upaya pemanfaatan bambu lebih lanjut. Pemanfaatan bambu untuk dapat menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi membutuhkan kualitas pengolahan bahan baku yang baik pula. Indonesia sebagai negara penghasil bambu saat ini masih relatif tertinggal dalam hal ketersediaan teknologi pengolahan bambu.

Permasalahan yang dihadapi para pengrajin bambu berkaitan dengan proses produksi adalah proses pengeringan dan pengawetan bambu yang selama ini dilakukan tanpa teknologi yang benar. Oleh karena itu mengeringkan dan mengawetkan bambu menjadi proses kerja yang paling penting dalam suatu proses pengolahan bambu.

Fenomena itu menjadi pemantik dosen Institut Teknologi Bandung melalui kegiatan pengabdian masyarakat  dari LPPM-ITB untuk memberikan sentuhan teknologi pengeringan dan pengawetan bambu yang dibutuhkan oleh salah satu pengrajin sepeda bambu di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Setuhan teknologi ini dilakukan oleh dua Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB, yakni Ihak Sumardi Ph.D., dan Rudi, Ph.D. Kedua dosen ini melakukan pengabdian di pengarajin sepeda bambu “Spedagi” di Desa Kandangan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Sepada bambu “Spedagi” menggunakan bambu solid berpenampang oval dari jenis bambu petung (Dendrocalamus asper) yang dilaminasi. 

Merujuk pada proses pengawetan dan pengeringan yang dilakukan oleh pengrajin sepeda bambu “Spedagi” yang selama ini dilakukan menunjukan pada proses pengeringan bambu sendiri memerlukan waktu yang lama sampai bambu benar-benar mengering. Dan itupun hasil pengeringannya tidak merata di semua bagian potongan bambu.  Akibatnya potongan bambu menjadi basah dan berwarna noda oranye akibat serangan jamur pewarna dan jamur pelapuk bambu. Selanjutnya potongan bambu ini tidak memenuhi standar dalam proses selanjutnya menjadi bilah (strip) dan produk laminasinya. Pada kegiatan pengabdian, kedua dosen SITH-ITB ini memberikan teknologi pengeringan dan pengawetan bambu dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah teknologi skala kecil yang dapat menghasilkan potongan bilah bambu awet, kering dan tidak pecah dalam waktu yang lebih singkat dengan biaya yang rendah.

Teknologi oven solar drying pada bambu

Teknologi diamulai dari proses memilah potongan bambu/bilah berdasarkan bagian batang bambu (pangkal, tengah, dan ujung). Bilah bambu yang berasal dari bagian batang yang sama sebelum dikeringkan di dalam oven, lebih baik dikeringkan secara alami menggunakan oven solar drying dengan sumber panas berasal dari sinar matahari. Pengembangan sistem pengeringan alami oven solar drying dimulai dengan pembuatan prototype yang dibuat untuk pengeringan bilah bambu berdimensi panjang maksimal 60 cm. Kemiringan oven solar drying sekitar 10 derajat karena digunakan untuk daerah tropis dan memiliki alur udara pasif. Prototype ini bisa digunakan setiap hari, optimum pada saat terdapat sinar matahari dan diusahakan tidak tertutup bayangan objek lainnya. Prototype telah diuji coba pada saat cerah, terik, berawan, dan hujan.

Proses pengeringan ini akan mengurangi kadar air bilah bambu maksimum 50% sebelum masuk oven. Semakin mendekati nilai kekeringan yang ingin dicapai, proses pengeringan selanjutnya dengan oven menjadi lebih cepat. Bilah bambu yang dikeringkan lebih dulu dengan oven solar drying tidak akan menyebabkan pecah saat dikeringkan di oven. Pengeringan selanjutnya dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 60-80 derajat Celcius, sampai kadar air bilah bambu mencapai kurang dari 10%. Teknologi kombinasi proses pengeringan ini dapat mengurangi penggunaan energi dalam proses pengeringan oven dan dapat mempersingkat waktu pengovenan dari 6 hari menjadi 3 hari.

Pengawetan batang bambu telah dicobakan dengan menggunakan bahan pengawet larutan borak-boric untuk menghindari potongan bambu dari serangan jamur dan bubuk. Metode Boucherie dengan modifikasi tekanan sebesar 1,5 bar dilakukan untuk measukan larutan bahan pengawet tersebut ke dalam batang bambu. Proses pengawetan diawali dengan memasukkan larutan pengawet ke dalam tangki pengawet. Batang bambu yang masih segar dengan panjang 1 meter, selanjutnya disambungkan pada nosel pipa dan diklem. Klem dikencangkan untuk mencegah kebocoran larutan pengawet. Hasil pengawetan menunjukan dengan metode ini terbukti menghasilkan waktu pengawetan yang lebih singkat dan retensi yang tinggi dibandingkan dengan metode pengawetan konvensional melalui perebusan yang selama ini pengrajin lakukan.

Pada akhir kegiatan pengabdian masyarakat ini dilakukan kerja sama (MOU) antara SITH-ITB dengan pengrajin sepeda bambu “Spedagi”. Dari Kerjasama ini diharapkan terjadinya link yang baik antara pengrajin bambu dengan perguruan tinggi baik di bidang Pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat yang akan terus dilakukan oleh ITB.

Penyunting: Ali Hasan Asyari

1391

views