Integrasi Ibukota Negara Baru dan Kawasan Perdesaan

Dalam diskursus pengembangan wilayah (regional development) desa diposisikan sebagai wilayah pinggiran (periphery) dengan kota sebagai pusat pertumbuhannya (core). Gagasan klasik ini  –  walaupun telah banyak menuai kritik dan melahirkan perspektif baru – tetap saja berdiri tegar sebagai basis bagi pengembangan wilayah di dunia, termasuk di Indonesia. Perkembangan desa kerap diletakkan sebagai akibat pertumbuhan kotanya melalui mekanisme trickle down effect. Menempatkan desa dalam sudut pandang seperti ini, akan menempatkan desa dalam kondisi yang terus menerus bergantung pada perkembangan kota di sekitarnya.

Pemerintah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), telah memutuskan lokasi IKN baru di Provinsi Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Sebagai ibu kota negara yang baru, IKN akan menjadi tempat penyelenggaraan kegiatan pemerintah pusat dan tempat kedudukan perwakilan negara asing maupun perwakilan organisasi atau lembaga internasional. IKN diharapkan dapat menjadi penggerak ekonomi, simbol identitas nasional, dan kota global yang berkelanjutan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2022 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara Tahun 2022-2024, IKN menerapkan konsep smart city guna mencapai perkotaan yang 100% terkoneksi secara digital. Konsep ini diwujudkan dalam bentuk sistem pengelolaan perkotaan, keselamatan dan keamanan, kelayakan huni, pelayanan pemerintah, dan akses maupun mobilitas. Rencana tersebut berfokus pada penerapan teknologi, digitalisasi, penggunaan energi terbarukan dan keberlanjutan.

Perdebatan tentang IKN terus bergulir, fokus utamanya adalah menanyakan apakah IKN nantinya akan sukses menjadi pusat partumbuhan baru yang dapat mendorong perkembangan wilayah – termasuk desa – di sekitarnya, sehingga pemerataan pembangunan wilayah di Indonesia dapat diwujudkan. Atau, pembangunan IKN ini hanya akan membuat pusat pertumbahan baru yang bersifat enclave sehingga tidak mampu mendorong pertumbuhan wilayah (desa) di sekitarnya.

Merujuk pada berbagai studi pembangunan IKN di berbagai negara di dunia, cita-cita mewujudkan pusat pertumbuhan baru melalui IKN yang dapat mendorong pertumbuhan desa di sekitarnya menghadapi tantangan yang kompleks. Secara spesifik, terdapat tantangan mengenai disintegrasi pembangunan ibu kota negara baru dengan daerah di sekitarnya. Studi kasus di Negara Brazil menunjukkan bahwa terdapat masalah yang terjadi setelah dilakukan perpindahan ibu kota dari Rio de Janairo menjadi Brasilia. Seiring berjalannya waktu, terjadi ketimpangan dan segregasi yang dikarenakan tidak terencananya dengan baik daerah di sekitar Brasilia. Hal serupa juga terjadi di Negara Myanmar, yang memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw. Pemindahan ibu kota dinilai gagal, karena minimnya partisipasi publik pada perancangan, pembentukan, serta pemindahan ibu kota. Hal ini mengakibatkan ibu kota yang telah dibangun tidak terintegrasi dengan wilayah dan penduduk sekitar. Naypyidaw yang dirancang sebagai kota yang megah tak ubah hanya sebagai sebuah kota hantu karena sepi. Selain itu, terdapat isu lain terkait tidak adanya keterhubungan antar daerah di sekitar IKN yang dapat menghambat pengembangan daerah.

Untuk menjawab tantangan ini, Program Pengabdian Masyarakat ITB merumuskan konsep pengembangan Kawasan Perdesaan yang terintegrasi secara spasial dan fungsional dengan kawasan IKN sebagai satu kesatuan wilayah pengembangan. Fokus utama kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah menyusun rekomendasi dan model pengembangan kawasan perdesaan sebagai upaya untuk mengakselerasi kesejahteraan masyarakat desa dan menjadi acuan bagi berbagai program sektoral pemerintah pusat daerah dan lembaga non-pemerintah.

Indonesia telah memiliki aturan mengenai pembangunan kawasan perdesaan yang tercantum pada Permendes Nomor 5 Tahun 2016. Kawasan perdesaan dalam hal ini, merupakan kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Pembangunan kawasan perdesaan dilakukan sebagai upaya mencapai kegiatan yang lebih terfokus dan terpadu sehingga dapat mendorong tercapainya sasaran pembangunan daerah. Pembangunan kawasan perdesaan dilakukan secara partisipatif, agar pembangunan daerah dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien.

Karakteristik Kawasan Pengabdian Masyarakat

Rencana pengembangan kawasan perdesaan ini difokuskan pada WP IKN Barat yang memiliki fungsi peruntukan untuk lahan tanaman pangan sekitar 2.096,42 Ha. Luasan ini bisa dikembangkan lebih jauh lagi dengan mengintegrasikannya dengan kawasan disebelahnya, yaitu WP IKN Timur 1 yang memiliki fungsi yang sama dan terhubung satu dengan lainnya. Selain itu, pengembangan kawasan perdesaan yang diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mensyaratkan administrasi desa sebagai batas pengembangannya, maka ketentuan batas wilayah pada pengabdian masyarakat ini juga mengikuti kriteria UU tersebut. Sehingga, delineasi wilayah perencanaan pada dokumen ini difokuskan untuk 4 (empat) desa yang termasuk di WP IKN Barat yaitu Desa Sukaraja, Desa Bukit Raya, Desa Bumi Harapan, dan Desa Karang Jinawi. Total luas keempat desa yang menjadi wilayah perencanaan pada pengabdian ini ini adalah 291,57 km2.

Kondisi topografi lokus pengabdian tim ini sangatlah beragam. Ketinggian kawasan perdesaan berada pada rentang 0 - 750 mdpl dan memiliki kelas kelerengan landai. Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwa terdapat beberapa titik yang memiliki kelas kelerengan agak curam sehingga banyak juga ditemui wilayah dengan topografi yang berbukit-bukit.

Kawasan perdesaan di sekitar KIPP IKN dibagi menjadi enam Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan mayoritas wilayah (43,99%) tergabung dalam DAS Tengin. Selain itu, wilayah ini dilintasi oleh beberapa sungai, seperti Sungai Toyu, Sungai Kernaen, Sungai Samuntai, dan Sungai Mentawir, yang berpotensi menjadi sumber air bagi penduduk setempat. Dalam hal curah hujan, kawasan perdesaan di sini memiliki curah hujan relatif terendah dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten PPU, yaitu sekitar 2651 mm/tahun.

Kondisi sosial dan budaya penduduk pada kawasan perdesaan ini cukup unik karena termasuk daerah transmigrasi yang penduduknya heterogen. Saat ini mayoritas penduduk yang menempati kawasan perdesaan merupakan generasi ke-2. Pada umumnya masyarakat menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa sehari-hari. Meskipun mayoritas penduduk merupakan pendatang, masih terdapat suku asli di daerah tersebut. Suku asli di kawasan tersebut adalah suku paser, yang mana penduduknya merupakan komunitas kecil karena jumlahnya yang tidak lebih dari 1.000 jiwa. Penduduk suku paser mendiami satu daerah di Kawasan Perdesaan Agropolitan yaitu Desa Bumi Harapan.

Peta Orientasi Lokasi Pengabdian Masyarakat

Identifikasi Isu Strategis

  • Pemberdayaan masyarakat yang belum berkelanjutan – sebagai upaya dalam pengembangan kapasitas masyarakat dalam upaya menyambut datangnya IKN, banyak institusi baik dari pemerintah maupun swasta memberikan pelatihan terhadap masyarakat. Pelatihan yang diberikan ini seperti pelatihan hidroponik, digitalisasi, pengoperasian alat berat, tukang, salon kecantikan, kelistrikan, dan membatik. Akan tetapi program tersebut masih belum berkelanjutan karena pelatihan yang diberikan belum sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat. Selain itu, pelatihan yang diberikan kurang diikuti oleh program pendampingan ketika pelatihan telah selesai dilakukan. Hal ini mengakibatkan pemberdayaan masyarakat yang ada hanya sebatas pelatihan dan kurang meningkatkan perekonomian masyarakat secara signifikan.
  • Isu selanjutnya adalah perubahan guna lahan – pembangunan IKN membawa konsekuensi terhadap perubahan guna lahan eksisting di kawasan IKN. Guna lahan yang semula mayoritas pertanian, perkebunan, dan hutan berubah menjadi permukiman dan perdagangan-jasa. Hal ini mengakibatkan perubahan kondisi potensi sosial-ekonomi masyarakat yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung dengan adanya IKN. Masyarakat mau tidak mau perlu menyesuaikan baik secara sosial-budaya maupun mata pencaharian dengan kondisi saat ini dan yang akan datang.
  • Ketiga adalah kemampuan membangun ekonomi desa – perubahan sektor ekonomi ke arah perdagangan dan jasa merupakan sebuah kepastian yang akan terjadi di wilayah IKN. Sektor ini akan tumbuh dengan adanya pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk di wilayah IKN. Sayangnya, kesadaran masyarakat dalam mengambil peluang ini masih rendah. Beberapa tantangan yang dihadapi adalah skala bisnis yang terlalu kecil yang  dijalankan secara mandiri dan perorangan (sekala rumah tangga); keterbatasan akses informasi/teknologi; lemahnya kemampuan manajemen kelompok; dan keterbatsan lembaga ekonomi lokal untuk mendukung kegiatan ekonomi perdesaan (seperti BUMDes).
  • Terakhir adalah terbatasnya dukungan sarana dan prasarana dalam menyokong integrasi kawasan perdesaan dengan IKN. Secara spesifik, masih terdapat beberapa isu seperti akses air bersih terbatas, fasilitas pengelolaan sampah dan sanitasi yang masih minim, infrastruktur yang belum terintegrasi, banjir, dan fasilitas pendukung ekonomi yang belum optimal. Oleh karenanya diperlukan penyediaan dan pengelolaan infrastruktur dasar (air bersih, persampahan, sanitasi, dan drainase) berbasis masyarakat/komunal, sarana dan prasarana transportasi yang terintegrasi, dan dukungan infrastruktur yang dapat mengembangkan kegiatan ekonomi lokal (pusat pemasaran, pusat pengolahan produk, dan pusat inovasi). 

Pengembangan Agropolitan  dan Rural Entrepreneurship

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal tulisan ini, perkembangan Ibukota Negara baru di berbagai negara kurang mampu mendorong kawasan perdesaan di sekitarnya. Pembangunan IKN pada umumnya terfokus kawasan pemerintahan dan perkotaan dan kurang mengembangkan integrasi dengan kawasan perdesaan di sekitarnya. Selain itu, pengembangan IKN kurang memperkuat masyarakat dan berbagai lembaga di desa dalam memanfaatkan peluang keberadaan IKN tersebut. Akibatnya, ketimpangan antara IKN dan kawasan perdesaan di sekitarnya terus menguat. Untuk menanggulangi permasalahan ini, program pengadian masyarakat ITB merumuskan dua strategi  pokok dalam bentuk   model pembangunan kawasan perdesaan yang berbasis pada konsep agropolitan dan pengembangan Rural Entrepreneurship.

Agropolitan

Agropolitan merupakan konsep pengembangan spasial klasik yang diperkenalkan oleh Friedmann pada tahun 1985, yaitu merupakan strategi untuk mendorong integrasi keruangan baik di dalam kawasan perdesaan maupun antara kawasan perdesaan dengan kawasan sekitarnya termasuk kota. Konsep agropolitan dikembangkan dengan harapan adanya transformasi pada kehidupan petani. Konsep ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya jumlah masyarakat perdesaan dan luas lahan yang berkurang karena industrialisasi semakin bertumbuh. Hal ini berimplikasi pada mata pencaharian masyarakat, sehingga masyarakat perlu beradaptasi seiring berkembangnya zaman. Konsep agropolitan mengasumsikan bahwa kebijakan dan alokasi sumberdaya akan diprioritaskan pada pengembangan kawasan agropolitan. Pendekatan konsep agropolitan sering dianggap sebagai perencanaan “bottom up”. Pada kawasan agropolitan, akses terhadap kegiatan off-farm dan non-farm serta peluang komersial perlu tersedia pada kawasan tersebut. Sehingga pusat wilayah perlu berada di jarak yang dapat dijangkau karena pusat agropolitan akan memfasilitasi percepatan pembangunan desa dalam kawasan agropolitan.

Penerapan konsep agropolitan ke dalam kawasan Perdesaan sekitar  IKN dilakukan dengan membangun beberapa unsur pokok, yaitu:

  1. Kawasan Permukiman: Kawasan permukiman merupakan tempat tinggal para petani dan penduduk keempat desa yang bermukim di kawasan agropolitan. Selain menjadi tempat tinggal, terdapat lahan kecil di dekat pekarangan rumah yang dapat dijadikan sebagai lahan pertanian skala kecil. Pada kawasan ini komoditas yang akan ditanam meliputi sayur-sayuran dan buah-buahan, dengan menerapkan teknik tanam di lahan sempit.
  2. Kawasan lahan pertanian: Kawasan lahan pertanian merupakan wilayah dilakukannya pembenihan, budidaya, dan pengelolaan kegiatan pertanian. Skala pertanian yang ada di kawasan ini termasuk pada skala pertanian yang lebih besar. Komoditas yang akan ditanam meliputi tanaman pangan seperti padi. Pada kawasan ini terdapat gudang sebagai tempat penyeleksian hasil tani sebelum dipasarkan. Di setiap pusat desa akan terdapat kawasan lahan pertanian.
  3. Kawasan pusat: Kawasan pusat terdiri atas pasar agro, kawasan perdagangan, lembaga keuangan, prasarana dan pelayanan umum lainnya. Apabila terdapat permintaan dari luas kawasan agropolitan, maka produk akan dikirimkan dari kawasan pusat. Kawasan pusat akan berada di Desa Bukit Raya. Desa tersebut dipilih berdasarkan jarak dengan desa lainnya yang relatif tidak terlalu jauh, dan sudah memiliki BUMDes yang mulai mengembangkan kegiatan usaha. Kegiatan usaha yang telah dilakukan meliputi menjual produk olahan masyarakat lokal, dan tidak hanya memasarkan produk olahan masyarakat desa tersebut akan tetapi juga menerima produk olahan dari desa lain.
  4. Aspek pendukung pengembangan kawasan agropolitan, yang mencakup: a) kelembagaan dari berbagai unsur pemerintah, perguruan tinggi, kelompok masyarakat, lembaga bisnis; b) pengembangan sumber daya manusia terutama para petani termasuk kemampuan sebagai pengusaha; c) sistem informasi yang memungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan antar stakeholeder dan landasan dalam pengambilan keputusan ; d) Promosi dan pasar; e)  Infrastruktur yang memungkinkan peningkatan aksesibilitas, distribusi produk pertanian, serta kualitas hasil pertanian.

Rencana Agropolitan IKN

Pengembangan Kawasan Agropolitan

Secara jangka panjang seiring bertambahnya jumlah penduduk, kawasan agropolitan diharapkan dapat tumbuh menjadi pertanian berskala besar. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan daerahnya saja, tapi dapat dijual sampai keluar daerah.

Rural Entrepreneurship

Model pengembangan kawasan perdesaan yang diusulkan juga merekomendasikan kewirausahaan perdesaan. Kewirausahaan perdesaan merujuk pada proses peningkatan nilai tambah sumber daya alam perdesaan yang dikuasai dan dijalankan para pengusaha di desa tersebut. Kewirausahaan perdesaan mengacu sebagai segala bentuk kewirausahaan, baik proses memulai, mengoperasikan, dan mengembangkan bisnis di lingkungan perdesaan guna memberikan nilai tambah pada kumpulan produk atau layanan yang disediakan. Aktor utama dalam kewirausahaan perdesaan ini adalah seorang wirausaha, yang meliputi individu atau kelompok yang dapat mengidentifikasi peluang, menciptakan/mengkreasi produk atau layanan inovatif, dan mendirikan usaha untuk daerah perdesaan. Kewirausahaan perdesaan memainkan peran penting dalam merangsang pembangunan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat perdesaan secara keseluruhan.

Konsep kewirausahaan perdesaan menunjukkan bahwa kewirausahaan sesuatu yang ekstra atau sesuatu yang dapat memberikan “nilai tambah” yang berkaitan dengan kategori sosio-spasial perdesaan. Sehingga, kewirausahaan perdesaan dapat didefinisikan sebagai segala bentuk kegiatan yang mendatang keuntungan dengan memberikan nilai tambah terhadap potensi yang dimiliki oleh wilayah perdesaan. Pengembangan kewirausahaan perdesaan merupakan langkah krusial untuk meningkatkan ekonomi lokal dan kesejahteraan masyarakat di daerah perdesaan. Proses ini melibatkan serangkaian langkah strategis yang dapat diimplementasikan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan keberlanjutan usaha di wilayah perdesaan, seperti identifikasi potensi wilayah perdesaan, proses inovasi yang memberikan nilai tambah, produksi barang dan jasa yang memiliki nilai tambah, serta diversifikasi perekonomi di perdesaan.

Skema Kewirausahaan Perdesaan

Penerapan konsep kewirausahaan perdesaan dalam pengembangan kawasan perdesaan berbasis agropolitan di IKN dilakukan dengan membangun beberapa unsur pokok, yaitu:

  1. Membangun sumber daya manusia yang mampu memahi potensi wilayah mereka. Potensi yang ada ini berupa sumber daya lokal yang ada di wilayah sekitar IKN yaitu dapat berupa produk pertanian, sumber daya alam, keterampilan, warisan budaya, sumber daya manusia, dll. Pentingnya indentifikasi awal oleh penduduk lokal supaya masyarakat setempat mampu mengetahu kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh wilayahnya, sehingga mereka akan bisa mengambil keputusan berdasarkan temuan mereka.
  2. Melakukan inovasi untuk menciptkan produk yang memiliki nilai lebih. Proses inovasi ini dapat dilakukan dengan meberikan sentuhan baru yang dapat membuat nilai dari produk itu bisa lebih meningkat. Produk ini dapat berupa barang seperti mebuat olahan makanan, kerajinan, pengemasan barang yang lebih menarik, dll. Selain itu juga dapat berupa jasa seperti jasa penyediaan pariwisa, hotel, dll. Lebih lagi, seorang wirausahawan juga bisa saja mengkombinasikan kedua untuk memaksimalkan pendapatan.
  3. Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak dari dalam dan luar wilayah. Hal ini diperlukan untuk pertukaran pengetahuan, inovasi, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Masyarakat di IKN dapat memanfaatkan peluang pembangunan dengan melakukan kerjasama dengan berbagai pihak yang telah datang ke IKN, seperti kampus yang melakukan pengabdian dan pemberdayaan masyarakat, pemerintah, LSM, Industri, dll. Kerjasama akan saling menguntungkan karena bisa saling melengkapi sumber daya masyarakat yang terbatas.
  4. Meningkatkan kapasitas kelembagaan. Ini perlu dilakukan guna menginisiasi pertumbuhan kewirausahaan yang ada di IKN. Malalui kelembagaan yang sehat masyarat bisa mengoptimalkan berbagi sumberdaya kaitanya dengan pengembangan usaha. Hal ini bisa dilakukan melalui penguatan BUMDes atau bahkan menciptakan BUMDes bersama. Dengan ada kelembagaan yang menyatukan banyak pelaku usaha, peningkatan produksi barang maupun jasa dapat dilakukan bersama-sama. Sebagai ilustrasinya adalah mengumpulkan berbagai macam produk masyarat ke satu tempat sebagai pusat olah-olah yang dilakukan di BUMDes di Desa Bukit Raya. Selain meningkatkan minat pengunjung karena barang yang dijual lebih banyak, ini juga dapat memberikan peluang kepada masyarakat untuk memasarkan produknya secara lebih cepat.

Penting bagi masyarakat yang ada di sekitar IKN bahwa kewirausahaan perdesaan bukan hanya meningkatkan jenis produk dan kuantitas produksi saja, tetapi juga diperlukan pengawasan dan peningkatan kualitas produk, serta kerjasama dengan berbagai pihak untuk dapat mengoptimalkan sumber daya. Kawasan perdesaan IKN yang akan berubah menjadi perkotaan memiliki kelemahan berupa minimnya faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga kerja sama antar aktor dan lembaga-lembaga yang diinisiasi oleh masyarakat desa penting untuk dilakukan.

Penutup

Gagasan yang diusung dalam tulisan ini adalah bagaimana membentuk integrasi ekonomi dan keruangan antara IKN dengan kawasan perdesaan sekitarnya melaui pengembangan kawasan agropolitan dan rural entrepreneurship. Melalui kedua konsep pokok ini, kawasan perdesaan tidak hanya mampu memanfaatkan perkembangan IKN dan kawasan perkotaannya tapi juga memiliki penguasaan atas sumber daya yang dimiliki dan meningkatkan nilai tambah. Akselerasi kemajuan kawasan perdesaan akan lebih mampu diwujudkan dan kovergensi antara pertumbuhan IKN dan kawasan perdesaan dapat direalisasikan.

474

views