Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRPM – ITB) bersama Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH – ITB) mengadakan kegiatan workshop dengan tema “Upaya Penanganan Limbah Penyamakan Kulit dengan Constructed Wetland Terapung dan Model Sederhana Bertingkat” di Kantor Kelurahan Kota Wetan, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut. Kegiatan ini diselenggarakan pada hari Kamis, (24/10/24) dan dihadiri oleh masyarakat terdampak limbah, perangkat kelurahan, perwakilan Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI), dan perwakilan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag – Kab. Garut).
Projek pengabdian masyarakat ITB ini diprakarsai oleh Dr. Devi N. Choesin dan Dr. Taufikurahman, keduanya dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB. Projek yang dimulai dari dari bulan Mei tahun 2024 ini bertujuan untuk mencari solusi atas permasalahan limbah cair yang dihasilkan oleh industri penyamakan kulit di Garut. Kehadiran industri penyamakan kulit memberikan manfaat ekonomi bagi daerah, namun di sisi lain, limbahnya sering kali mencemari lingkungan. Bu Euis dan Bu Lilis menyuarakan keresahannya sebagai masyarakat terdampak limbah penyamakan kulit.
“Saya hidup sudah bepuluh tahun di wilayah ini, dulu segar udaranya. Sekarang mau beribadah di masjid saja repot, orang-orang harus menahan bau dari aliran sungai sebelah masjid. Belum lagi banyak sekali anak-anak yang stunting.” ujar Bu Euis.
“Kalau dulu, suami saya bisa pakai air sungai untuk memelihara ikan. Kalau sekarang, jangankan untuk ikan, dari jauh saja tercium bau tidak sedap.” tambah Bu Lilis.
Dr. Devi N. Choesin dan Dr. Taufikurahman menjelaskan bahwa timnya sedang bekerja untuk mengupayakan limbah dari penyamakan kulit dapat diolah sebelum dibuang ke lingkungan dan membuat air dari sungai dari dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari non-konsumsi lewat penggunaan instalasi Constructed Wetlands. Sistem Constructed Wetland yang diperkenalkan pada workshop ini terdiri dari dua model, yaitu Constructed Wetland Apung dan Model Sederhana Constructed Wetland Bertingkat.
1. Constructed Wetland Apung
- Model ini menggunakan kerangka yang terbuat dari pipa pralon dengan ukuran 2 x 1 meter, dengan media tanam berupa ijuk dan menggunakan insect-net dan shading-net sebagai cover. Tanaman seperti rumput gajah, ekor kucing, dan bunga tasbih digunakan sebagai tanaman untuk menyerap limbah. Selain murah dan mudah dalam perawatan, sistem ini dapat diaplikasikan di kolam limbah setiap industri penyamakan kulit dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
2. Model Sederhana Constructed Wetland Bertingkat
- Sistem ini terdiri atas tiga kontainer yang disusun bertingkat, berisi media filtrasi seperti kerikil, arang, dan ijuk. Air yang melalui sistem ini dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga (selain konsumsi), menjadikannya solusi yang praktis dan efisien dalam skala rumah tangga.
Dr. Yuli Setyo Indartono, Direktur DRPM ITB, menjelaskan bahwa misi DRPM adalah untuk mengabdikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai oleh para akademisi ITB kepada masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menerapkan teknologi Constructed Wetland sebagai solusi ramah lingkungan bagi limbah cair.
"Kami berharap inovasi yang kami perkenalkan ini dapat diadopsi oleh industri penyamakan kulit di Garut. Keberadaan Constructed Wetland ini akan mengurangi tingkat zat pencemar dari limbah yang dihasilkan sehingga lingkungan tetap terjaga. Namun, tentu diperlukan komitmen dari pemerintah daerah dan para pengusaha untuk menerapkan standar pengelolaan limbah yang sesuai." Ujar Dr. Yuli.
“Kami di ITB bertugas untuk mengembangkan riset serta mengabdikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Salah satu fokus pengabdian kami di Garut adalah penanganan limbah cair dari industri penyamakan kulit. Limbah ini memberikan dampak negatif bagi lingkungan, namun dengan inovasi Constructed Wetland ini, kami berharap bisa mengurangi derajat polusi yang dihasilkan," jelas Dr. Yuli.
Dr. Yuli juga menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam mendukung keberlanjutan solusi pengelolaan limbah ini. Menurutnya, revitalisasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal di setiap pabrik adalah langkah strategis yang harus dilakukan agar masalah limbah cair dapat diatasi secara optimal.
"Kami berharap pemerintah daerah bisa lebih serius dalam mengawasi dan memastikan bahwa setiap pabrik memiliki IPAL yang berfungsi dengan baik. Ini adalah hak dasar masyarakat untuk menikmati lingkungan yang bersih. Kami di ITB siap berkolaborasi dengan pemerintah dan pengusaha untuk mewujudkan hal ini," ungkap Dr. Yuli.
Ricky R Derajat, Sekretaris Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Energi Sumber Daya Mineral (Disperindag ESDM) Kabupaten Garut, turut hadir dalam kegiatan ini. Ia menyampaikan apresiasi atas inisiatif ITB yang memberikan solusi konkret terhadap permasalahan limbah di Kabupaten Garut.
"Kami sangat berterima kasih kepada ITB yang telah memberikan perhatian besar terhadap masalah limbah di Garut. Inovasi yang ditawarkan melalui workshop ini sangat relevan untuk membantu menyelesaikan persoalan limbah industri penyamakan kulit yang selama ini menjadi masalah lingkungan," ujar Ricky.
Dengan adanya kegiatan Pengabdian kepada masyarakat ini, diharapkan para pelaku industry semakin sadar akan pentingnya pengelolaan limbah yang baik dan berkelanjutan dan masyarakat segera mendapatkan jawaban dari berbagai keresahannya. Penyelesaian permasalahan ini tidak mudah, butuh partisipasi aktif dari seluruh pihak yang terlibat termasuk pemerintah, industri, dan masyarakat. ITB, melalui DRPM, terus berkomitmen untuk mengupayakan pembersihan limbah dari industri penyamakan kulit di Kabupaten Garut.