Galeri-galeri Pelawan Arus

Di masa pandemi Covid-19, ketika galeri-galeri utama rontok satu per satu, tumbuhlah galeri-galeri di sudut-sudut kampung, bahkan jauh di pelosok pedesaan. Galeri-galeri itu umumnya dibangun dan dikelola sendiri oleh para seniman untuk menampung gelegak kreativitas yang tak bisa dihentikan oleh virus sekalipun.

NAWA TUNGGAL

Perupa Tisna Sanjaya menggagas pameran di lumbung-lumbung plastik dan tekstil di kawasan Cigondewah, Bandung, Jawa Barat. Pameran ini dikelola oleh para pemilik lumbung, warga Cigondewah, yang selama ini menjadi hilir dari pembuangan limbah tekstil.

Tisna sendiri membangun tempat bernama Imah Budaya Cigondewah atau Ibu Cigondewah. ”Dulunya, tanah di sini penuh sampah. Pada 2007 saya membelinya seluas 530 meter persegi dengan delapan lukisan. Lalu berdirilah Ibu Cigondewah sampai sekarang,” ujar Tisna, Rabu (8/9/2021) pagi.

Tanah itu hanya sebagian ke-cil dimiliki Ignatius Sunaryo, yang juga pencinta karya seni rupa. Di belakang gedung Ibu Cigondewah mengalir sebuah kali, namanya Kali Cigondewah.

Tisna, yang tumbuh di Cigondewah, menceritakan pada masa kecilnya sering bermain dan mandi di kali itu. ”Dulu kali ini begitu bersih. Sekarang airnya kotor. Limbah pabrik-pabrik tekstil mengalir ke sini,”ujar Tisna.

Pameran

Ibu Cigondewah berupa ru-ang terbuka. Dinding-dindingnya digunakan untuk memajang lukisan-lukisan. Pameran lukisan di Ibu Cigondewah untuk pertama kali ini menjalar ke sekitarnya, ke dinding-dinding lumbung majun milik Daud Sampurno (47) yang ada di sebelah Ibu Cigondewah. Majun dalam bahasa Sunda berarti potongan kain atau perca.

Pameran menjalar pula ke lumbung limbah plastik di seberang Ibu Cigondewah milik Atep Nuron Hidayat (25). Kemudian satu lagi di lumbung majun milik Jaenudin di sebelah lumbung plastik milik Atep. Tisna mengenalkan Daud Sampurno, Atep Nuron, dan Jaenudin sebagai pemilik lumbung sekaligus pemilik galeri baru.

Ini mungkin saja candaan ringan. Akan tetapi, Tisna mencoba merefleksikan kenyataan, selama pandemi Covid-19, banyak program pameran galeri seni rupa mapan rontok. Warga termasuk seniman didorong bertahan di rumah untuk me-minimalkan interaksi fisik dengan orang lain.

”Saya memajang 25 lukisan di lumbung majun milik Pak Daud. Senang bisa pameran di sini. Saya tidak memandang bu-lu untuk berpameran di mana saja , ”ujar seniman Jamil Supriatna di lumbung majun milik Daud Sampurno.

Di Ibu Cigondewah ditambah tiga lumbung itu dipamer-kan karya dari 27 seniman dengan jumlah ratusan lukisan. Pameran ini hasil kolaborasi Ibu Cigondewah, Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi, serta Lembaga Penelitian dan Peng-abdian Masyarakat Institut Teknologi Bandung. Pameran berlangsung selama dua bulan, 17 Agustus hingga 17 Oktober 2021.

Lukisan-lukisan yang dipamerkan itu dijual. Dari hasil penjualan, sebesar 50 persen untuk seniman, 50 persen lagi untuk warga Cigondewah yang terdampak pandemi Covid-19. Beberapa sudah laku, seperti dua lukisan karya seniman Zufli Akmansyah terjual Rp 10 juta. Sebesar Rp 5 juta dari hasil penjualan itu kemudian disisih-kan untuk pembagian bahan pokok kepada warga terdampak pandemi.

Empat lukisan kecil karya Jamil Supriatna laku Rp 2 juta. Dua sketsa pena karya Deden Imanudin terjual dengan harga Rp 1 juta. Sebuah lukisan karya Nenden SR Roedyat terjual Rp 350.000.

”Dari hasil penjualan lang-sung disisihkan 50 persen untuk pembelian sembako,” ucap Tisna, seraya menunjukkan ratusan paket sembako yang su-dah dikemas di Ibu Cigondewah siap disalurkan kepada warga.

Tisna memamerkan beberapa lukisannya di Ibu Cigondewah ataupun di lumbung plastik milik Atep dan lumbung majun milik Jaenudin. Beberapa karya cetak tubuhnya dan lukisan dengan model istrinya dipajang di lumbung limbah plastik milik Atep.

Di lumbung majun milik Jaenudin, ada beberapa lukisan Tisna menggunakan media bijih plastik. Ini seri lukisan yang diberi judul ”Neo Mooi Indie”, berupa lukisan bentang alam yang terasa begitu satire karena tersusun dari warna-warni bijih plastik.

Tisna kemudian menunjuk lapisan tanah di sekitar lumbung Jaenudin. Tanah itu dipenuhi limbah plastik dan kain sintetis warna-warni yang tidak mudah terurai.

Tisna dikenal sebagai seniman yang mengembangkan kritisisme, terutama di masa Orde Baru. Akan tetapi, masa pascareformasi setelah Orde Baru tumbang juga dikritisinya karena turut berkontribusi negatif dengan menciptakan perubahan yang begitu terburu-buru. Cigondewah pascareformasi berubah drastis dengan kemunculan banyak pabrik tekstil.

Akhirnya bermuara pada banyaknya limbah yang mencemari lingkungan. Pameran lukisan di Cigondewah bukan sekadar menghadirkan rupa di atas kanvas. Rupa di atas tanah dan air yang tercemar turut serta dipamerkan. Pameran menjadi kaca pembesar untuk melihat persoalan dengan makin jelas.

Milik seniman

Galeri-galeri alternatif yang dibuat secara swadaya oleh seniman juga muncul di tengah perkampungan, bahkan hingga ke pedesaan. Salah satunya galeri yang didirikan seniman Rudi ST Darma di rumahnya di Jalan Mutumanikam, Buah Batu, Bandung. Ia membuat studio yang berfungsi pula sebagai galeri bagi seniman lainnya. Akan tetapi, ia menyebutnya sebagai Rumah Proses, bukan galeri.

”Ini rumah seniman untuk berproses dan bertumbuh bersama, ” kata Uday, panggilan akrab Rudi ST Darma. Uday menunjukkan karya beberapa seniman berupa mural di dinding Rumah Proses. Beberapa waktu di masa pandemi ini pernah diselenggarakan kegiatan ber-sama yang diberi tajuk ArtQ.

Huruf ”Q” merujuk pada singkatan kata ”quarantine” atau karantina di masa pandemi Covid-19. Begitu pula di Yogyakarta. Dua pekan lalu Kompas sempat mengunjungi Galeri Sangkring yang didirikan sejak 2007 secara swadaya oleh seniman Putu Sutawijaya (50) bersama istrinya, Jenni Vi Mee Yei. Galeri Sangkring di Nitiprayan, Bantul, sedang memamerkan karya dari puluhan seniman yang dikemas sebagai pameran Yogya Annual Art (YAA) #6.

Ini berlangsung sejak 5 Juli hingga akhir September 2021. ”Galeri seperti ini menjadi bagian dari kehidupan seni di Yogyakarta. Banyak seniman lainnya yang melakukan hal serupa,”ujar Jenni, yang kemudian mengajak berkunjung ke Galeri Indieart milik seniman Nyoman Darya, tidak jauh dari Galeri Sangkring.

Galeri Indieart hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari Galeri Sangkring. Ketika itu masih digelar pameran seni rupa dan terlihat banyak remaja atau mahasiswa seni yang mengunjunginya.

Nyoman Darya menceritakan antusiasme seniman di masa pandemi ini sangatlah kuat. Di Galeri Indieart ini Jenni sempat menggambarkan peta lokasi kediaman para seniman yang membuat studio sekaligus galeri.

Ia menunjukkan lokasi Galeri Sarang milik Jumaldi Alfi, Ruang Dalam milik seniman Gusmen Heriadi. Begitu pula seniman Ugo Untoro yang mendirikan Museum Dan Tanah Liat, serta galeri-galeri milik seniman lainnya. Tidak jauh dari Galeri Indieart, tinggal seniman Samuel Indratma.

”Galeri yang didirikan cukup banyak oleh para seniman itu sebetulnya menjadi aset pen-ting pemerintah, tetapi selama ini belum banyak dimengerti. Galeri itu bukan toko milik para seniman, tetapi ajang ekspresi untuk memajukan peradaban bersama , ”ujar Samuel, yang belakangan ini menggarap seni audiovisual untuk lagu yang banyak dikenal sebagai Panyuwunan.

1492

views