Desentralisasi Air Minum Aman
Tags: ITB4People, Community Services, SDGs6
Akses air minum di Indonesia telah meningkat signifikan selama 10 tahun terakhir. Pada tahun 2014, pemerintah Indonesia melalui RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) periode 2014-2019 mencanangkan pemenuhan target 100% akses air minum layak sebagai bagian dari program 100-0-100, sebuah program turunan Millenial Development Goals (MDGs) untuk meningkatkan 3 sektor infrastruktur skala permukiman: 100% akses air minum layak, 0% kawasan kumuh, dan 100% akses sanitasi layak. Meskipun pada tahun 2019, akhir periode RPJMN tersebut, akses 100% air minum layak belum tercapai, namun telah terjadi peningkatan yang tidak dapat diabaikan. Pada tahun 2022, BPS mencatat cakupan air minum layak di Indonesia meningkat hingga dua kali lipat dalam satu dekade, dari 44,18% pada tahun 2010, menjadi 91,05% di tahun 2022.
Transisi target pembangunan global dari MDGs menjadi SDGs (Sustainable Development Goals) berdampak pada perubahan fokus pembangunan sektor air minum. Sebelumnya, pada pemenuhan target MDGs untuk sektor air minum, dunia berfokus pada peningkatan akses air minum secara kuantitas, yakni dengan menjamin akses terhadap air bagi yang sebelumnya tidak memiliki akses sama sekali. MDGs berupaya menurunkan setengah dari penduduk dunia tanpa akses air minum layak hingga tahun 2015. Namun, sejak Sustainable Development Goals (SDGs) Target 6.1 dicanangkan pada tahun 2015, program peningkatan akses air minum mulai berfokus pada peningkatan kualitas layanan. Dunia internasional kemudian beralih dari air minum ‘layak’ menuju ke pengupayaan air minum ‘aman’, dua tingkatan akses dalam sektor air minum. Sayangnya, di Indonesia, makna tingkatan ini seringkali belum dipahami secara penuh oleh berbagai pemangku kepentingan di daerah.
Perbedaan mendasar antara akses air minum “layak” dan air minum “aman” terletak pada kriteria kualitas, kontinuitas, dan aksesibilitas terhadap sumber air. Menurut Joint Monitoring Programme (JMP) yang digawangi oleh WHO dan UNICEF, sumber air minum layak adalah sumber yang, memiliki potensi untuk menghasilkan air dengan kualitas yang memenuhi persyaratan kesehatan berdasarkan desain dan konstruksinya. Contoh air minum layak adalah sistem penyediaan air minum (SPAM) jaringan perpipaan, sumur bor, dan pemanenan air hujan. Sementara air minum aman menurut JMP harus memenuhi tiga kriteria: (1) dapat diakses di dalam rumah; (2) tersedia setiap kali dibutuhkan; dan (3) bebas dari kontaminasi.
Laporan Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga di Indonesia tahun 2020 melaporkan bahwa 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia menggunakan air yang tercemar Escherichia coli, bakteri yang mengindikasikan adanya pencemaran tinja dalam air minum. Temuan ini kemudian digunakan sebagai basis dalam kampanye UNICEF, #dihantuitai, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak kesehatan pencemaran sumber air oleh tinja. Oleh karena itu, kriteria terakhir mengharuskan adanya sebuah teknologi pengolahan air dalam SPAM untuk menghilangkan risiko kesehatan akibat pencemar fisika, biologi, kimia, dan radioaktif dalam air.
Pada saat yang sama, akses terhadap SPAM jaringan perpipaan di Indonesia, dimana umumnya air baku diolah melalui suatu instalasi pengolahan air minum dan didistribusikan melalui jaringan pipa ke rumah-rumah, masih sangat rendah. BPS mencatat cakupan air ledeng nasional pada tahun 2016 sebesar 10,66% di mana terjadi kecenderungan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Kebanyakan rumah tangga di Indonesia yang tidak terlayani air ledeng menggunakan kombinasi air tanah dan air minum dalam kemasan untuk memenuhi kebutuhan airnya atau self-supply. SPAM berbasis masyarakat, seperti PAMSIMAS, telah berhasil menyediakan air minum layak dengan jumlah penerima manfaat yang signifikan. Data Maret 2021 menyebutkan jumlah penerima manfaat air minum dalam program PAMSIMAS secara nasional mencapai 20.6 juta jiwa, dimana 12.5 juta di antaranya memiliki akses air minum layak berupa sambungan rumah dengan meteran.
Dengan target akses universal air minum aman SDG 6.1 yang harus dipenuhi pada tahun 2030, tantangan terbesar adalah bagaimana menyediakan air minum aman, di mana SPAM perlu dilengkapi dengan suatu instalasi pengolahan air. Saat ini, umumnya belum terdapat pengolahan air pada SPAM berbasis masyarakat yang ada di Indonesia. Sementara itu, ekspansi akses SPAM jaringan perpipaan tersentralisasi yang digadangkan sebagai ‘modern infrastructure ideal’, membutuhkan investasi yang sangat besar dan terkadang kurang tangguh akibat perencanaan yang belum mempertimbangkan perubahan iklim dan bencana.
Dalam penelitian yang didanai oleh skema Newton Fund-Institutional Link, peneliti dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (Dr. Anindrya Nastiti) serta Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (Prof. Bagus Budiwantoro dan Dr. Arie Wibowo), Institut Teknologi Bandung, bersama dengan peneliti dari University of Manchester (Dr. Seth Schindler dan Dr. Majid Sedhigi), mengembangkan purwarupa instalasi pengolahan air minum berlaju tinggi (high-rate water treatment plant – HR-WTP) dengan kapasitas hingga 2 L/detik. HR-WTP terdesentralisasi ini mampu melayani sekitar 100 KK untuk kebutuhan dasar air minum. HR-WTP tersebut pernah diujicoba di Kelurahan Citeureup, Kota Cimahi, dan mampu memproduksi air minum dengan kualitas yang memenuhi persyaratan kesehatan yang diatur oleh Menteri Kesehatan.
Tantangan utama dari adopsi teknologi terdesentralisasi yang diidentifikasi dalam penelitian di atas adalah, pertama, bagaimana mencari investasi untuk mengembangkan dan memperluas aplikasi teknologi air minum terdesentralisasi yang sesuai dengan konteks daerah layanan dan dapat diterima serta dioperasikan dan dipelihara oleh mitra pemerintah daerah dan masyarakat pengguna. Survei terhadap 120 rumah tangga di Kelurahan Citeureup, Cimahi yang dilakukan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengandalkan air tanah dan air kemasan sebagai sumber air utama mereka serta membayar sekitar dua kali lipat harga maksimum dari air ledeng per bulan. Survei ini mengindikasikan adanya kesediaan masyarakat untuk beralih ke sumber air baru dan terlibat dalam program penyediaan air minum. Jika persepsi publik merupakan hambatan utama untuk mengadopsi SPAM terdesentralisasi secara luas, berbagai strategi dan program edukasi dan perubahan perilaku dapat dilakukan.
Kedua, yang mungkin lebih kompleks, adalah bagaimana membangun kelembagaan yang mendukung keberlanjutan fungsional dari SPAM terdesentralisasi ini. Solusi terdesentralisasi dapat diintegrasikan ke dalam SPAM berbasis masyarakat yang sudah ada, ke dalam proses bisnis utilitas daerah (misalnya PDAM), atau hibridisasi keduanya. Untuk skema pertama, PAMSIMAS, dengan jumlah penerima manfaat yang mendekati jumlah penduduk Australia, merupakan salah satu titik awal yang mungkin paling efisien. Namun, perlu ada strategi untuk memastikan bahwa kelompok pengelola masyarakat memiliki kapasitas teknis dan sumber daya yang memadai untuk menjamin operasi dan pemeliharaan teknologi sejenis HR-WTP yang mampu secara konsisten menyediakan air minum aman. Skala ekonomis yang tepat serta kemungkinan adanya hambatan legal dan kelembagaan perlu dikaji lebih lanjut. Selain itu, kemauan politik yang kuat sangat diperlukan dari pemerintah sebagai duty bearer dari hak asasi warga negara atas air minum aman untuk mengadopsi SPAM terdesentralisasi secara luas.
Tidak hanya target mendesak untuk memenuhi SDG 6.1 akan akses air minum aman, pandemi serta bencana lainnya telah menyadarkan kita akan perlunya sistem pasokan air minum yang tangguh. Sistem terdesentralisasi dapat diluncurkan dengan relatif cepat dan pasokan dapat ditingkatkan pada saat terjadi krisis kesehatan atau lingkungan. Karenanya, berbagai solusi terdesentralisasi perlu dikaji dan dikembangkan lebih lanjut mengingat akses universal terhadap SPAM jaringan perpipaan terpusat tidak mungkin dicapai dalam waktu tujuh tahun ke depan.
Apa yang dapat dilakukan pemerintah?
Pertama, mengembangkan dan mensosialisasikan panduan dalam perencanaan, perancangan, operasi, dan pemeliharaan sistem air minum terdesentralisasi. Penduan ini perlu mencakup spesifikasi teknis terhadap alternatif-alternatif sistem air minum terdesentralisasi serta panduan mengenai skema regulasi dan kelembagaan yang diperlukan untuk mendukung implementasinya. Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum telah mengeluarkan Tata Cara Perencanaan Paket Instalasi Pengolahan Air untuk kapasitas minimal 5 L/detik yang ditujukan bagi pemerintah daerah, masyarakat dan swasta. Panduan dapat menjadi titik awal untuk mempromosikan adopsi sistem air minum aman terdesentralisasi, namun perlu diperbaharui dengan memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan No.2 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan yang baru disahkan. Selain itu, kerja sama dengan universitas dan lembaga-lembaga penelitian menjadi penting untuk menghasilkan alternatif-alternatif teknologi terdesentralisasi yang sesuai dengan skala ekonomis, kualitas air baku, risiko bencana, dan konteks sosioekonomi daerah layanan.
Kedua, integrasi sistem air minum terdesentralisasi dalam proses bisnis utilitas daerah atau skema berbasis masyarakat yang sudah berjalan. Integrasi ini perlu mencakup advokasi air minum aman sebagai bagian dari Standar Pelayanan Minimum (SPM) pemerintah daerah. Selain itu, pengembangan model tarif baru yang memberikan insentif terhadap adopsi sistem air minum terdesentralisasi, pengembangan inovasi kelembagaan yang efektif, serta manajemen aset yang sesuai denga nregulasi perlu dikaji untuk mendorong viabilitas sistem terdesentralisasi.
Ketiga, peningkatan kapasitas teknis dan manajerial untuk pemerintah daerah, penyelenggara SPAM di daerah, kelompok masyarakat, dan mitra swasta potensial, misalnya melalui program pelatihan dan bantuan teknis. Selain itu, penelitian di Kota Cimahi memang mengindikasikan kesediaan yang tinggi bagi masyarakat untuk terlibat, namun persepsi dan kesediaan masyarakat serta mitra pembangunan lain di daerah yang berbeda mungkin bervariasi. Oleh karena itu, program advokasi dan perubahan perilaku tetap perlu menjadi bagian yang penting dalam mendorong adopsi air minum terdesentralisasi di daerah.