Buku Siaga Gempa untuk Anak-Anak Selayar

Selasa, 14 Desember 2021 pukul 11:20 WITA, penduduk Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan dikejutkan oleh gempa yang dilaporkan bersumber dari dasar Laut Flores, sekitar 250 km di tenggara Pulau Selayar. Gempa berkekuatan 7,4 Mw ini merusak 246 rumah penduduk, memakan 7 korban luka, hingga menyebabkan setidaknya 770 warga Kabupaten Kepulauan Selayar mengungsi. Gempa tersebut mengingatkan penduduk setempat akan bencana tsunami yang bersumber dari utara Pulau Flores sekitar 30 tahun lalu, yang menewaskan hampir 2.000 orang. Namun, berdasarkan mekanisme kegempaannya, ternyata Gempa Laut Flores 2021 tersebut berbeda dengan peristiwa-peristiwa gempa yang pernah terjadi sebelumnya. Alih-alih berasal dari mekanisme sesar naik maupun sesar normal yang banyak ditemui di sekitar wilayah kabupaten, gempa tersebut diidentifikasi sebagai gempa dengan mekanisme sesar geser. Artinya, gempa tersebut berasal dari sesar yang pada saat itu belum terpetakan. Identifikasi tersebut mengantarkan para peneliti baik dari BMKG, ITB, maupun BRIN untuk lebih jauh mendeskripsikan sesar tersebut dengan berbagai metode, mulai dari relokasi seismisitas hingga pemetaan dasar laut menggunakan multibeam echosounder. Dari berbagai penelitian tersebut, ditemukan jejak sesar geser yang disinyalir merupakan sumber dari Gempa Laut Flores 2021. Sesar tersebut kini dikenal sebagai Sesar Kalaotoa.

Sesar Kalaotoa bukan merupakan satu-satunya sumber bahaya gempa yang ada di sekitar Kabupaten Kepulauan Selayar. Di sebelah barat laut kabupaten, terdapat Sesar Walanae, sebuah sesar geser yang berada di wilayah Pulau Sulawesi dan masih merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan. Di sebelah timur, terdapat rangkaian sesar normal yang dikenal sebagai Sesar Selayar. Jauh di selatan, terdapat serangkaian sesar naik yang disebut sebagai Sesar Naik Busur Belakang Flores. Sesar Kalaotoa sendiri berada di sebelah tenggara Kabupaten Kepulauan Selayar. Dengan kondisi tektonik tersebut, kehidupan masyarakat Kepulauan Selayar tidak akan terlepas dari bahaya gempa. Mentalitas masyarakat dalam menghadapi bencana perlu dibangun sejak dini untuk menghindarkan masyarakat dari potensi trauma berkepanjangan yang berisiko menimbulkan keinginan untuk bermigrasi dari wilayah tempat tinggal mereka. Padahal, Kabupaten Kepulauan Selayar telah menjadi salah satu pusat sektor perikanan laut serta destinasi wisata bahari yang diakui, khususnya dengan keberadaan Taman Nasional Taka Bonerate. Oleh sebab itu, pembuatan buku anak dipilih untuk menjadi salah satu upaya edukasi gempa di usia dini di mana buku tersebut juga berisi langkah-langkah persiapan diri untuk menghadapi gempa yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang.

Riwayat dan Potensi Gempa di Kabupaten Kepulauan Selayar

Berbicara terkait gempa, seringkali yang terbayang dalam benak kita adalah Gempa Aceh 2004 dan Palu 2018 yang mengakibatkan tsunami serta kerugian besar-besaran di kedua area tersebut, baik dari sisi bangunan rusak hingga korban nyawa dan luka-luka. Meski Gempa Laut Flores 2021 terbilang memiliki dampak yang jauh lebih kecil dibanding kedua gempa berskala masif tersebut, bukan berarti kita dapat meremehkan bahaya gempa di sekitar Kabupaten Kepulauan Selayar. Berdasarkan Peta Sumber Bahaya Gempa Indonesia 2017 yang diterbitkan oleh PUPR, terdapat sebuah sesar yang disebut sebagai Sesar Selayar di sepanjang pantai timur Pulau Selayar. Sesar dengan panjang lebih dari 150 km tersebut diperkirakan dapat membangkitkan gempa dengan kekuatan 7,2 Mw. Jika ditilik dari kondisi geologi aktualnya, terdapat batuan berumur sekitar 2 juta tahun yang memiliki kemiringan ke arah barat Pulau Selayar. Berdasarkan bentuk pulau yang memanjang dari utara ke selatan, pantai timur yang lebih terjal dibandingkan pantai barat ini disinyalir merupakan manifestasi dari adanya potensi gempa yang mungkin sudah dimulai sejak 2 juta tahun yang lalu.

Data kegempaan menunjukkan bahwa telah terjadi beberapa gempa yang cukup kuat di sekitar Kabupaten Kepulauan Selayar. Gempa paling baru yang dirasakan tentunya adalah Gempa Laut Flores, 14 Desember 2021, yang berasal dari Sesar Kalaotoa. Gempa dengan kekuatan lebih dari 5 Mw juga telah terjadi beberapa kali terjadi di sekitar Kabupaten Kepulauan Selayar. Contohnya, pada 18 Desember 2012, terjadi gempa dangkal sebesar 5,1 Mw yang berlokasi 25 km ke arah tenggara Kota Benteng, yang diikuti beberapa gempa dangkal lainnya dengan kekuatan kurang dari 5 Mw. Gempa dangkal dengan kekuatan berkisar antara 4-5 Mw juga terjadi di sebelah utara Pulau Selayar pada rentang waktu 2018-2021, berlokasi sekitar 20-25 km di timur Tanjung Bira. Selain itu, paling tidak telah terjadi enam gempa dangkal berkekuatan 4-5 Mw di sebelah selatan Pulau Selayar sejak 1980an. Begitu pula di sekitar Taman Nasional Taka Bonerate, di mana gempa dengan kekuatan 4-5 Mw kerap terjadi. Salah satu gempa dengan kekuatan 7,1 Mw yang terdokumentasikan terjadi pada 3 Maret 1927 dan berlokasi di sekitar Kepulauan Selayar. Riwayat kegempaan ini menunjukkan bahwa Kabupaten Kepulauan Selayar pernah mengalami gempa dengan goncangan sedang hingga kuat, walau dalam beberapa dekade terakhir, goncangan yang dirasakan berada pada zona lemah hingga sedang.

Di media nasional, gempa yang terjadi di sekitar Kabupaten Kepulauan Selayar sebelum Gempa Laut Flores 2021 masih belum banyak dibicarakan akibat minimnya korban jiwa maupun kerugian material dari gempa-gempa yang sebagian besarnya berskala kecil (4-5 Mw). Tidak adanya korban jiwa maupun kerugian materi tentunya merupakan indikator yang baik. Namun, minimnya pemberitaan dapat mengecoh persepsi masyarakat setempat terhadap kondisi tektonik di daerah tempat tinggalnya. Informasi terkait keberadaan sesar serta potensi gempa di Kabupaten Kepulauan Selayar penting untuk diketahui oleh masyarakat sekitar untuk mereka dapat mempersiapkan diri menghadapi ancaman gempa yang sangat mungkin terjadi di masa mendatang.

Konseptualisasi dan Temuan

Pulau Selayar dipilih sebagai lokasi pengabdian kepada masyarakat berdasarkan tingginya jumlah penduduk serta pentingnya pulau tersebut dalam perputaran ekonomi di Kabupaten Kepulauan Selayar. Pendekatan pertama dilaksanakan dengan SDI 112 Benteng Timur yang terletak di Kota Benteng, yang juga merupakan ibu kota Kabupaten Kepulauan Selayar. Diketuai oleh Dr.rer.nat. Poerbandono dari Kelompok Keahlian/Keilmuan Hidrografi ITB, program pengabdian kepada masyarakat ini dilaksanakan bekerjasama dengan dosen serta mahasiswa Universitas Indonesia dan Universitas Hasanuddin.

Konseptualisasi buku edukasi untuk anak-anak Pulau Selayar ini diawali dengan observasi lingkungan serta penelitian berbasis kesenian (art-based method) dengan para siswa serta guru di SDI 112 Benteng Timur. Observasi lingkungan dilaksanakan pada bulan Maret 2023 untuk menangkap suasana serta elemen-elemen khas Pulau Selayar yang nantinya akan direpresentasikan dalam buku. Observasi awal ini umumnya dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi bangunan tepi pantai, bangunan baru, bangunan tradisional, serta bangunan sekolah di sekitar Pulau Selayar, karena bentuk bangunan dapat menyiratkan bagaimana masyarakat setempat berupaya melakukan adaptasi terhadap lingkungan sekitar. Observasi ini juga menangkap suasana serta busana yang biasa digunakan oleh masyarakat Pulau Selayar untuk menjadi bahan utama dalam penyusunan buku.

Dari observasi yang dilakukan, ditemukan bahwa pembangunan kota yang terus berkembang di Pulau Selayar justru mengindikasikan minimnya pengetahuan masyarakat setempat terkait bahaya gempa yang mengancam area tersebut. Gempa-gempa dangkal yang pernah terjadi di sekitar Pulau Selayar sebelum Gempa Laut Flores 2021 bisa jadi tidak berubah menjadi bencana karena adaptasi masyarakat setempat dengan kondisi alam, yang mungkin secara tidak sadar telah diterapkan secara turun-temurun oleh masyarakat adat di sana. Salah satu manifestasinya adalah bangunan rumah tua yang terbuat dari kayu dan material ringan yang banyak ditemukan di Kampung Tua Bitombang. Dibandingkan dengan bangunan baru di pusat kota yang dibuat menggunakan bata maupun tembok, bangunan kayu bersifat lebih fleksibel dan ringan. Hal ini memperkecil kemungkinan adanya bencana yang diakibatkan oleh bangunan yang tidak tahan terhadap goncangan gempa. Untuk menghindari adanya korban jiwa serta kerugian material, pendirian bangunan menggunakan material bata maupun tembok harus mempertimbangkan parameter-parameter yang dapat mengakomodir goncangan dari gempa agar bangunan-bangunan tersebut tidak mudah runtuh dan melukai masyarakat yang tinggal maupun beraktivitas di dalamnya.

Penelitian berbasis kesenian kemudian dilaksanakan dengan siswa serta guru SDI 112 Benteng Timur pada bulan Mei 2023. Hasil awal penelitian menunjukkan bahwa bencana gempa masih merupakan hal yang tidak awam bagi para siswa dan guru yang turut berpartisipasi. Kebanyakan dari partisipan cenderung menggambarkan hal-hal yang terkait dengan bahaya laut seperti angin ribut, gelombang tinggi, dan semacamnya sebagai peristiwa yang dianggap berbahaya. Hal ini bertolak belakang dengan potensi gempa di wilayah Kepulauan Selayar yang cukup besar, setidaknya berdasarkan keberadaan sesar dan riwayat gempa yang pernah terjadi di sekitar area tersebut, baik yang bersifat lemah hingga yang bersifat kuat.

Abellia A. Wardani, Ph.D., dan Anin N. Kumala, dosen dan mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dalam pelaksanaan penelitian berbasis seni pada kunjungan Mei 2023. Foto: Kadhan Dalilurahman.

Penyajian, Penyampaian, dan Respons Siswa terhadap Purwarupa Buku

Buku “Anak Selayar Siaga Gempa!” dibuat dengan latar peristiwa Gempa Laut Flores 2021. Tokoh utama dalam buku adalah seorang anak perempuan yang dalam perjalanan ceritanya kemudian didampingi oleh seorang anak laki-laki. Nama kedua tokoh ini diambil dari dua nama siswa/i SDI 112 Benteng Timur yang berpartisipasi dalam proses penelitian. Kedua tokoh anak ini memiliki spekulasi masing-masing terhadap peristiwa gempa yang baru pertama kali mereka alami seumur hidup. Di tengah diskusi, sosok nenek yang diberi nama “Pua Lango-Lango” atau “Nenek Merah Jambu” dalam bahasa setempat, hadir sebagai representasi generasi Pulau Selayar yang semasa hidupnya telah melalui lebih dari satu kali peristiwa gempa. Dalam purwarupa versi pertama, cerita sang nenek dirangkum dalam sebuah peta sesar serta penyiapan tas siaga gempa. Peristiwa gempa juga diceritakan menggunakan analogi alih-alih menggunakan berbagai istilah teknis yang terkesan jargonik. Buku edukasi ini disajikan dalam bentuk pop-up dengan jumlah kata dan halaman terbatas untuk meningkatkan minat baca serta menjaga rentang perhatian anak.

Pada kunjungan terakhir, tepatnya di bulan Agustus 2023, sosialisasi buku dilaksanakan bersamaan dengan penyerahan purwarupa buku kepada Kepala Sekolah SDI 112 Benteng Timur. Sosialisasi dilaksanakan dalam bentuk pembacaan buku di depan para siswa layaknya mendongeng. Pembacaan buku dilaksanakan secara interaktif, di mana para siswa diajak untuk turut melaksanakan berbagai hal yang dipaparkan dalam buku tersebut. Respons para siswa terhadap metode sosialisasi ini cukup menarik dan sangat jujur. Bagi mereka, acara sosialisasi purwarupa buku tersebut merupakan pertama kalinya mereka melihat dan membaca buku berbentuk pop-up, yang terlebih langsung diceritakan di depan kelas. Penggunaan nama teman-teman mereka sebagai pemeran utama dalam cerita turut membuat para siswa menjadi lebih mudah akrab dengan isi buku.

Dalam sesi tanya jawab, salah satu siswa menanyakan terkait apa yang seharusnya mereka lakukan ketika gempa terjadi, lantaran peristiwa gempa yang berskala besar masih merupakan kejadian yang belum pernah mereka alami. Pertanyaan ini menjadi masukan yang sangat besar bagi pengembangan buku, di mana purwarupa buku yang tadinya hanya menyajikan enam halaman menjadi tujuh halaman. Halaman tambahan tersebut akan berisi instruksi terkait apa yang harus dilakukan saat gempa terjadi. Selain itu, respons positif para siswa terhadap tokoh “Pua Lango-Lango” menjadi inspirasi untuk mengalih-bahasakan percakapan dan narasi dalam buku untuk semakin mendekatkan buku tersebut kepada anak-anak Kepulauan Selayar. Isi buku yang tadinya dibuat dalam Bahasa Indonesia sehari-hari akan diubah menjadi Bahasa Indonesia dengan aksen Bugis-Makassar, aksen yang banyak digunakan di Kabupaten Kepulauan Selayar.

Pembacaan buku pop-up oleh Saaduddin, Ph.D., dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin dan Shintya, mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada sosialisasi buku di bulan Agustus 2023. Foto: Kadhan Dalilurahman

Rencana Produksi dan Distribusi

Berdasarkan respons dari sosialisasi yang dilaksanakan kepada siswa SDI 112 Benteng Timur, isi buku akan terlebih dahulu dikembangkan sebelum memasuki proses produksi. Buku akan diproduksi hingga 100 eksemplar dan akan dibagikan secara gratis ke beberapa sekolah dasar di Pulau Selayar pada tahun 2024. Dengan kondisi Kabupaten Kepulauan Selayar sebagai satu-satunya kabupaten yang sepenuhnya terpisah dari pulau induk, yaitu Pulau Sulawesi, langkah awal ketahanan masyarakat setempat terhadap gempa layaknya dimulai dengan kesadaran masyarakat akan sumber-sumber bahaya gempa di wilayah tersebut. Selain itu, langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mempersiapkan diri serta menghadapi gempa juga merupakan hal penting untuk diketahui. Melalui buku ini, diharapkan kesadaran masyarakat akan bahaya gempa di sekitar Kabupaten Kepulauan Selayar serta bagaimana cara menghadapinya dapat dipupuk sejak dini.

Ucapan Terima Kasih

Program pembuatan buku ini dapat terlaksana berkat dukungan dari “Program Pengabdian Masyarakat Skema Bottom-Up” Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB tahun 2023.

Penyerahan purwarupa buku dari Dr.rer.nat. Poerbandono, Ketua Program Pengabdian kepada Masyarakat ke Pulau Selayar dari Institut Teknologi Bandung kepada Ibu Murni, Kepala SDI 112 Benteng Timur selepas sosialisasi. Foto: Kadhan Dalilurahman.

624

views