Bersekutu dengan Lalat Tentara Hitam

Bersekutu dengan Lalat Tentara Hitam

Tags: ITB4People, Community Services, Pengabdian Masyarakat, SDGs12

Sebagai pakar serangga, RamadhaniEka Putra, S.Si., M.Si., Ph.D. juga sempat memusuhi serangga. Namun, semakin dipelajari, peneliti dari Kelompok Keahlian Manajemen Sumber Daya Hayati Sekolah IImu dan Teknologi Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memahami bahwa serangga ternyata banyak membawa manfaat.

Setelah menyelesaikan studi di Jepang, ia benekad untuk turut membangun Indonesia dengan memanfaatkan serangga. la mengintegrasikan BSF dengan sistem pertanian di pekarangan rumah yang diakui Food and Agriculture Organization (FAO) sebagai sistem pertanian yang sangat baik.

”BSF sejarah awalnya adalah hama yang pertama kali ditemukan di Amerika oleh seorang ahli forensik pada bangkai manusia. Setelah itu digunakan untuk mengolah kotoran sapi. Ketika itu ada yang lepas dan hinggap ke limbah organik lain. Hampir semua sampah limbah organik tersebut dimakan oleh BSF,‘ kata Ramadhani, Ph.D. saat diwawancara pada Rabu (29/9/2021).

Sampah organik merupakan sampah yang paling banyak diproduksi di Indonesia. Selain dijadikan kompos, sampah organik tidak bisa diubah menjadi produk Iain yang bermanfaat (upcycle) seperti sampah anorganik. Kompos tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Itu menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat malas mengompos sampah organiknya.

BSF memudahkan masyarakat untuk mengompos sampah organik. Proses mengaduk sampah sebagai bagian pembuatan kompos bisa dilewati.“Biarkan proses itu dikerjakan oleh BSF. Tinggal dipanen saja setelah 12 hari," katanya.

BSF bisa menjadi solusi pengolahan sampah organik, dari tingkat keluarga sampai ke tempat pembuangan sampah. Pengomposan yang lebih cepat membuat TPS terbebas dari gunungan sampah organik.“Masyarakat hanya perlu memilah sampah organik dan anorganik¿ ujar Ramadhani, Ph.D.

Jika sampah organik terolah baik di rumah, petugas sampah tak perlu mengangkutnya ke TPS maupun TPA. Beban angkut jadi jauh berkurang karena sampah organik merupakan sampah paling berat dibandingkan dengan sampah lainnya. Sampah yang biasanya sampai 100 kg di gerobak, bisa hanya tersisa 20-30 kg. TPS juga tak lagi terlihat jorok seperti sekarang.

Ramadhani, Ph.D. mengatakan, BSF juga mempunyai nilai ekonomi, karena mengandung protein tinggi yang bisa menjadi sumber pangan berkualitas untuk usaha peternakan. Telur BSF laku dijual dengan harga Rp 3.000 hingga Rp 10.000 per gram. Larvanya bisa dihargai di kisaran Rp 7.000-Rp

15.000 per gram. Maggotnya bahkan bisa diekspor dengan harga sekurangnya Rp 40.000 per kg. Golden maggot bahkan dihargai sampai Rp 200.000 per kg. Golden maggot biasanya dibutuhkan oleh orang-orang yang hobi memelihara ikan koi, burung penyanyi, dan lainnya.

Sebelum budi daya BSF banyak dikenal, harganya sangat fantastis. Harga telurnya pernah menyentuh harga Rp 200.000 per gram. Semakin banyak yang membudidayakan, harganya tak setinggi dulu. “Fokusnya di pasar dalam negeri saja.

Margin kecil, tetapi pelan-pelan bisa menguasai pasar dalam negeri. Pasar dalam negeri ini tidak minta syarat macam-macam jadi lebih menguntungkan'’ katanya.

Kondisi di Indonesia sangat cocok untuk membudidayakan BSF. Jumlah sampah organik yang melimpah justru membawa keuntungan tersendiri. Idealnya, satu ekor BSF perlu makanan sebanyak 100 mg per hari. Jadi, 1 kg sampah organik bisa memberi makan sekitar 6.000 ekor BSF. Sementara, jumlah sampah organik yang dihasilkan satu keluarga sejahtera berkisar 1-1,5 kg.

Membudidayakan BSF juga tak perlu modal besar, jika peralatan menggunakan barang bekas, hanya perlu Rp 3.500 untuk membeli telur BSF.”PeraIatannya sudah banyak yang jual di marketplace, menggunakan semacam jaring,° ujarnya. Area yang dibutuhkan juga tak besar. Lahan seluas 50 sampai 100 meter persegi bisa mengolah 1 ton sampah organik.

BSF memang bisa dibudidayakan warga di setiap rumah, tetapi akan lebih baik jika bisa dikelola secara komunal misalnya dengan memanfaatkan lahan di RW atau desa setempat. Masyarakat bisa memanfaatkan BSF sebagai pakan untuk ternak. Sementara, kompos yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk pertanian. Sebagai contoh, masyarakat yang memelihara ayam petelur bisa mendapat pakan berkualitas dengan biaya rendah. Dengan begitu, keluarga bisa mengonsumsi telur berkualitas. Pengeluaran keluarga bisa dikurangi, tetapi gizi keluarga terpenuhi.

Ramadhani, Ph.D. mendorong agar masyarakat membudidayakan BSF bukan sekadar menjual telur atau larvanya. Akan tetapi, membudidayakan dan menjadikannya sebagai bagian penting dalam mencapai ketahanan pangan masyarakat, seperti untuk sumber pakan ayam petelur.

“Cita-citanya, kalau ada tanah kosong di RW atau TPS sementara, bisa diubah untuk budi daya BSF. Telur dari ternak ayam bisa diberikan kepada warga, sedangkan BSF-nya untuk mengelola sampah di TPS.

Mimpinya, TPS 3R ini sudah bersih, tidak bau limbah organik,"tuturnya. Hingga dua tahun ke depan ia akan mendedikasikan diri untuk kegiatan pengabdian masyarakat, terutama mengajak masyarakat memanfaatkan BSF. Seharusnya tak sulit karena masyarakat dengan latar belakang apa pun

bisa melakukannya.“Namun, perlu upaya untuk meyakinkan masyarakat melawan stigma BSF yang tergolong sebagai lalat. Lalat kerap dianggap jorok, kotor, bau, bahkan membawa penyakit. Dulu waktu disuruh pakai helm pertama kali, banyak yang menolaL Tetapi, lihat sekarang,"katanya memberi analogi.

Sudah saatnya Indonesia menghilangkan citra sebagai bangsa yang kotor, tak bisa mengolah sampah. Di saat yang sama, Indonesia juga harus mulai membangun ketahanan pangan. Masyarakat Indonesia harus mandiri pangan.“Suatu saat semua desa jadi kota. Jadi, semua orang kota harus bisa mempertahankan diri mereka sendiri,"tuturnya (Deny Willy Junaidy Ph.D/Sekretaris Bidang Pengabdian kepada Masyarakat).“““

967

views