Bekal Teluk Pangpang Hadapi Krisis Iklim dan Perekonomian

Pada siang hari yang terik, matahari menyengat kulit, para nelayan sedang tidak melaut. Tangkapan ikan menurun di musim yang seharusnya para nelayan rajin melaut. Musim peralihan menuju musim timur kali ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Seharusnya, pada musim yang sama, nelayan di Teluk Pangpang tidak mengalami kesulitan menangkap ikan Layang dan Lemuru sebagai komoditas ikan di daerah penangkapan ikan Selat Bali – Samudera Hindia. Faktor perubahan iklim global memberi dampak pada seluruh elemen masyarakat dan setiap level perekonomian. Menurut cendekia, perubahan iklim ini disebabkan oleh suhu atmosfer yang memanas, yang penetrasinya sampai ke permukaan daratan dan kolom perairan. Suhu udara memanas, manusia tidak betah, hewan dan tumbuhan dipaksa beradaptasi, tapi tidak dengan mangrove yang masih gagah berdiri menantang anomali iklim.

Teluk Pangpang telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Hal ini merupakan langkah penting dalam melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem mangrove di wilayah ini. Teluk Pangpang, yang terletak di Banyuwangi, Jawa Timur, memiliki hutan mangrove yang luas dan menjadi habitat beragam spesies penting, seperti ikan, burung migran, kepiting, serta beberapa satwa langka. Penetapan wilayah ini sebagai KEE bertujuan menjaga fungsi ekologis kawasan mangrove sebagai pelindung alami dari abrasi pantai, pengatur iklim mikro, dan penyedia sumber daya bagi masyarakat sekitar, khususnya nelayan. Kawasan ini juga berguna untuk mendukung keseimbangan ekosistem pesisir yang vital bagi perekonomian lokal, termasuk perikanan dan pariwisata berbasis alam. Sebagai KEE, Teluk Pangpang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dalam hal pengelolaan dan pelestarian. Langkah ini diharapkan dapat mendorong praktik berkelanjutan, mendukung ekonomi lokal, dan melindungi kekayaan alam yang ada untuk generasi mendatang. Hal ini semakin memperkuat Telupk Pangpang menjadi salah satu kawasan yang harus dilindungi dan dilestarikan.

Sejatinya, Banyuwangi berada di lokasi yang strategis sebagai daerah penangkapan ikan karena berada jalur ITF (Indonesia Throughflow), yang membawa banyak nutrisi dari Samudera pasifik menuju Samudera Hindia dan terjebak di area Selat Bali. Kondisi yang menguntungkan tersebut menjadi berkah bagi masyarakat pesisir barat dan selatan Kabupaten Banyuwangi. Sayangnya, perubahan iklim turut mempengaruhi hasil tangkapan di tahun-tahun belakangan ini. Tantangan besar muncul akibat dampak perubahan iklim yang semakin dirasakan dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan suhu laut, perubahan pola angin, dan fenomena cuaca ekstrem kerap kali membuat hasil tangkapan nelayan berubah dan cenderung berkurang secara drastis. "Musim ikan yang dulu bisa diprediksi sekarang tidak lagi pasti," ungkap salah satu nelayan di Banyuwangi yang sedang memandang kosong lautan lepas itu. Hal ini memicu keresahan bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada kelimpahan ikan di perairan sekitar. Perairan tertutup umumnya menyediakan limpahan nutrien yang terperangkap, terlebih dengan adanya filtrasi organik seperti ekosistem mangrove. Di Banyuwangi, Teluk Pangpang adalah representasi sempurna bagi ikan untuk memijah dan tumbuh besar karena didominasi ekosistem mangrove yang memerangkap dan menyediakan nutrien bagi ikan perairan dangkal. Merupakan dasar dari piramida makanan dan produsen bagi rantai makanan di eksoistem perairan laut dan pesisir. Teluk Pangpang menjadi kawasan yang esensial bagi masyarakat pesisir yang hidup bergantung pada sumberdaya perikanan laut.

Seorang mantan nelayan, Hendro, terlihat dengan penuh semangat menjelaskan sesuatu yang rumit. Hendro adalah salah satu, atau bahkan satu-satunya, mantan nelayan yang lantang menyuarakan konservasi di kawasan pesisir Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi. Sudah lima tahun lamanya sejak dia terakhir kali melaut dan memutuskan untuk membangun kelompok budidaya udang vaname. Belakangan ini, justru kepiting bakau memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Berbekal ilmu yang diperoleh dari aktivis lingkungan, Hendro dan anggota komunitasnya membangun tambak berbasis konservasi mangrove yang berfungsi menyuplai nutrisi dan menyaring materi-materi berbahaya sehingga tidak masuk ke dalam kolam tambak. Selain berfungsi sebagai penyaring polutan dan pemerangkap nutrien, hutan mangrove menjadi habitat penting bagi beragam spesies laut, darat, dan bahkan udara seperti monyet, serangga, reptil dan burung, bahkan kawasan hutan mangrove di Teluk Pangpang dijadikan sebagai salah satu lokasi pemantauan migrasi burung. Kepiting bakau sebagai salah satu komoditas sumberdaya hewani di ekosistem mangrove menjadi atensi bagi nelayan-nelayan yang terdampak perubahan iklim dengan berkurangnya hasil tangkapan. Melalui upaya bersama antara kelompok nelayan dan aktivis lingkungan, konservasi mangrove harusnya bukan hanya sekadar wacana, tetapi solusi nyata bagi ketahanan ekonomi dan ekologi pesisir di Banyuwangi.

Dari penglihatan citra satelit, Teluk Pangpang berada di perairan yang terlindungi dari laut lepas. Permasalahannya terletak pada ekosistem mangrove yang terus tereskploitasi dalam dekade terakhir dari alih fungsi lahan. Kawasan yang seharusnya menjadi penyangga bagi biodiversitas alami justru makin mengecil, sementara masyarakat pesisir abai akan ancaman yang mengintai, kecuali Hendro di sana. Berbekal sedikit informasi bahwa menurunnya hasil tangkapan ikan berkaitan dengan bencana perubahan iklim dan mangrove sebagai penawar alaminya, tindakan nyata yang kemudian dikerjakan justru lebih besar. Menyadari bahwa konservasi saja hanya menyelamatkan alam, namun tidak dengan perekonomian, Hendro bersama kelompok masyarakat Teluk Pangpang terus belajar dan mempraktikkan metode budidaya ramah lingkungan.

ITB sebagai salah satu perguruan tinggi negeri unggulan Indonesia tentu tidak bisa berdiam diri melihat perjuangan Hendro dan kelompoknya melawan perubahan iklim sendirian di batas paling timur Pulau Jawa. Maka, berangkatlah tim Pengabdian Masyarakat ITB yang dinahkodai oleh Dr. Prima Roza membawa kapal berisikan personel dosen Prof. Edy T. Baskoro, Miga Magenika MT, dan kru mahasiswa Farhaniah Zuldis, Shafa Nur, dan Adhima dari prodi Oseanografi dan Teknik Geodesi. Ilmu dan pengetahuan terkini mengenai budidaya kepiting bakau, sebagai komoditas bernilai jual tinggi, berbasis konservasi bernama silvofishery diperkenalkan kepada masyarakat nelayan. Menekankan kesadaran terhadap ancaman nyata perubahan iklim yang sudah terjadi, tim mengirimkan pesan kepada masyarakat pesisir Teluk Pangpang untuk bangun dan tegak berdiri melawan potensi bencana iklim bersama dengan penguatan ekosistem mangrove. Nelayan tidak boleh melemah karena bencana iklim yang mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan ikan di laut, justru harus mampu beradaptasi dan menciptakan peluang baru, salah satunya melalui budidaya konservasi kepiting bakau silvofishery.

Tidak ingin hanya sebagai simbolis, kegiatan yang berlangsung pada 12-14 Juni 2024 tersebut, ITB juga turut menggandeng akademisi lokal Mega Yuniartik S.Pi., MP. dari Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi dan Abdillah MT dari Global UNESCO Ijen Geopark untuk bersinergi bersama menjaga asa biodiveristas ekosistem mangrove di ujung timur Pulau Jawa. Diharapkan, dengan adanya keterlibatan akademisi dan NGO setempat, semangat yang dibawa ITB terus terjaga di lokasi pengabdian masyarakat khususnya kawasan Teluk Pangpang. Hasil audiensi dengan pemangku kebijakan, kegiatan yang diinisiasi ITB mendapat sambutan baik, dibuktikan dengan banyaknya kelompok masyarakat yang aktif terlibat. Ditambahkan pula oleh Bapak Nurhadi, selaku kepala Desa Wringinputih, kehadiran ITB sangat dinantikan di tahun-tahun mendatang untuk menyelesaikan permasalahan yang lebih kompleks dengan ilmu dan teknologi terbaru.

Dr. Prima Roza memberikan pengetahuan tentang karakter masyarakat dalam menghadapi bencana hidrometeorologi. Karakter masyarakat dalam menghadapi bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan badai, dibentuk oleh pengalaman, pemahaman risiko, serta kemampuan beradaptasi. Masyarakat yang sering terpapar bencana umumnya memiliki pengetahuan lokal untuk mengenali tanda-tanda awal bencana dan lebih siap menghadapi ancaman. Akses terhadap informasi dan sumber daya juga sangat memengaruhi kesiapsiagaan mereka. Masyarakat dengan akses baik pada peringatan dini dan edukasi bencana menunjukkan respons lebih cepat, sementara  mereka yang kurang akses biasanya lebih rentan. Adaptasi juga terlihat dalam bentuk fisik dan sosial, seperti membangun rumah tahan banjir, memperbaiki drainase, dan menjaga gotong royong. Namun, beberapa masyarakat masih memiliki sikap pasif atau fatalis, menganggap bencana sebagai takdir. Oleh karena itu, pemerintah dan organisasi perlu meningkatkan pendidikan bencana dan simulasi, agar masyarakat lebih siap dan tanggap menghadapi bencana hidrometeorologi.

Miga Magenika MT, memberikan pengetahuan tentang dampak perubahan iklim bagi kelompok masyarakat nelayan yang tinggal di sekitar hutan mangrove. Peningkatan suhu dan kenaikan permukaan laut mengancam hutan mangrove, yang berfungsi sebagai pelindung pantai alami dan habitat bagi berbagai spesies ikan dan kepiting. Hilangnya mangrove mengurangi hasil tangkapan nelayan, mengancam ketahanan pangan, dan pendapatan mereka. Cuaca ekstrem, seperti badai dan hujan lebat, juga menjadi lebih sering dan berisiko, menyulitkan nelayan untuk melaut secara aman. Pola cuaca yang tak menentu menyebabkan kerusakan infrastruktur pesisir dan meningkatkan erosi pantai, yang dapat merusak perumahan dan fasilitas mereka. Untuk bertahan, nelayan berusaha beradaptasi dengan cara menanam kembali mangrove, beralih ke usaha lain seperti ekowisata, atau mencari dukungan dari pemerintah dan lembaga terkait. Upaya ini membantu mereka melindungi lingkungan sambil mempertahankan sumber mata pencaharian.

Mega Yuniartik, S.Pi, M.P. memberikan pendampingan terkait pembesaran budidaya kepiting bakau dengan metode silvofishery. Dalam beberapa tahun terakhir, budidaya kepiting bakau dengan metode silvofishery semakin populer sebagai solusi berkelanjutan yang ramah lingkungan. Metode budidaya kepiting bakau ini menjadi solusi ramah lingkungan dan ekonomis bagi masyarakat pesisir. Silvofishery menggabungkan tambak dengan hutan mangrove, menjaga ekosistem sekaligus mendukung pembesaran kepiting. Mangrove menyediakan habitat alami kepiting, memberi perlindungan, dan sumber pakan, sementara tambak dibangun di sela-sela pohon mangrove, menjaga keseimbangan ekosistem. Proses pembesaran kepiting dengan silvofishery dilakukan dalam tambak berair laut alami, sering kali menggunakan bibit kepiting yang dikumpulkan dari alam. Pemberian pakan tambahan, seperti sisa-sisa ikan, menyesuaikan pola makan alami kepiting dan memastikan pertumbuhannya tetap optimal. Metode ini memberikan banyak manfaat. Dari sisi ekologi, mangrove yang terjaga mencegah abrasi pantai dan berfungsi sebagai penyaring alami limbah tambak. Secara ekonomi, kepiting bakau bernilai tinggi di pasar, sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir tanpa merusak hutan mangrove. Dalam jangka panjang, silvofishery mendukung keberlanjutan dengan mengajak masyarakat melestarikan kawasan mangrove daripada menebangnya untuk tambak. Namun, penerapan silvofishery menghadapi tantangan seperti kebutuhan keterampilan khusus dan keterbatasan modal. Pelatihan dan bantuan dari pemerintah serta organisasi lingkungan menjadi kunci untuk memperluas adopsi metode ini. Dengan dukungan ini, silvofishery berpotensi menjadi solusi yang mempertemukan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Metode silvofishery, selain menguntungkan, merupakan contoh inovasi dalam budidaya berkelanjutan. Di tengah perubahan iklim dan degradasi lingkungan, silvofishery memberi harapan bagi masyarakat pesisir yang bergantung pada hasil laut dan ekosistem yang seimbang.

Pemberian pengetahuan tersebut disambut baik oleh kelompok masyarakat, yang notabene sudah terus mempraktikan hal baik dalam bidang konservasi. Mereka semakin termotivasi untuk memperluas kegiatan pelestarian lingkungan, terutama dalam menjaga hutan mangrove dan mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan. Dengan pemahaman yang lebih dalam mengenai dampak perubahan iklim dan pentingnya ekosistem pesisir, masyarakat tidak hanya fokus pada konservasi alam, tetapi juga berupaya melibatkan generasi muda agar turut terlibat. Melalui pelatihan dan edukasi, kelompok masyarakat ini juga mendapat wawasan baru mengenai teknik budidaya dan pengelolaan kawasan yang ramah lingkungan, yang dapat meningkatkan hasil tangkapan dan pendapatan mereka tanpa merusak ekosistem. Hasilnya, hubungan yang harmonis antara masyarakat dan lingkungan diharapkan dapat terus terjaga serta diwariskan kepada generasi mendatang.

Tim pengabdian masyarakat ITB bersama masyarakat menanam mangrove di Teluk Pangpang

51

views