Arsitektur Terakota sebagai Social Lab

Arsitektur Terakota sebagai Social Lab

Tags: ITB4People, Community Services, SDGs9

Berbeda dengan kalangan saintis, pengetahuan yang dibangun dalam disiplin arsitektur lebih banyak didapatkan dari praktik desain dalam menyelesaikan persoalan tertentu.  Jika para saintis mengandalkan laboratorium untuk membangun pengetahuannya, maka “laboratorium” bagi arsitek adalah dunia aneka tempat di mana arsitek berpraktik dan bekerja. Meski banyak mengandalkan pengetahuan tacit yang melekat pada dirinya, saat berpraktik dalam “laboratorium masyarakat” arsitek sebenarnya tengah membangun pengetahuan, selayaknya seorang ilmuwan, ketika ia bisa merefleksikan pengalamannya tersebut  (Ekomadyo, 2017).

Konsep “laboratorium masyarakat” muncul ketika para peneliti berinteraksi dengan masyarakat, melakukan banyak negosiasi, untuk bereksperiman terhadap pengetahuan tertentu dalam menyelesaikan permasalahan di masyarakat (Yuliar, 2011). Dalam praktik pengabdian masyarakat, dikenal istilah “social hub”, yaitu orang-orang yang mampu menghubungkan pemikiran yang dikembangkan di universitas dengan praktik keseharian di masyarakat (Ihsan & Sachari, 2015). Jika istilah “social hub” merujuk pada keberadaan orang, sekelompok orang, atau tempat tertentu, “social lab” lebih merujuk pada aktivitas orang pada tempat tersebut. Maka selayaknya laboratorium, konsep “social lab” memfokuskan diri pada bagaimana pengetahuan diproduksi lewat aneka upaya ujicoba gagasan baru dari interaksi para intelektual saat berinteraksi dengan masyarakat dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan tertentu.

Tulisan ini merupakan  refleksi dari tim ITB dalam melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyrakat tahun 2021-2022 tentang desain dan konstruksi Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura, Jatiwangi, Majalengka. Kegiatan ini dimaksudkan untuk merespon gerakan Kota Terakota yang diinisiasi oleh komunitas seni Jatiwangi Art Factory (JAF) untuk mengangkat kembali harkat budaya tanah liat di kawasan ini yang telah terdisrupsi oleh aneka industri. Gerakan Kota Terakota pada prinsipnya mendorong pembangunan sarana dan prasarana kota yang menggunakan aneka ragam produk terakota, sehingga diversifikasi produk ini diharapkan mampu menghela produksi dan meningkatkan nilai produk dari usaha berbasis tanah liat di kawasan ini. Dari riset yang telah dilaksanakan sebelumnya (Ekomadyo, dkk. 2023), ditemukan bahwa gerakan ini telah memberikan dampak bagi sebagaian besar pengusaha terakota di Jatiwangi dan sekitarnya secara sosial, sebagai promosi akan budaya terakota, namun belum memberikan dampak ekonomi yang bisa menggerakkan aneka usaha diversifikasi produk terakota. Berbasis temuan tersebut, maka arsitektur terakota di alun-alun Desa Jatisura dimaksudkan sebagai etalase dari aneka produk diversifikasi terakota yang sudah diinisiasi oleh beberapa pengusaha terakota, agar bisa dilihat dan menginspirasi publik dalam membangun sarana dan prasarana bertema terakota.

Sebagai sebuah upaya ujicoba dalam kerangka inovasi, proses desain dan konstruksi arsitektur terakota ini menemui banyak jalan berliku, meski tetap membawa banyak pengetahuan. Desain sendiri merupakan proses percakapan, sehingga dalam mendialogkan material, bentuk, pengguna, dan konstruksi menjadi pertimbangan penting dalam pemikiran desain. Sedangkan proses konstruksi yang melibatkan masyarakat juga menemui aneka kendala terutama dalam mempertahankan misi pemberdayaan saat berhadapan dengan keterbatasan pengetahuan dan kompetensi teknis masyarakat setempat. Namun ketika diniatkan sebagai social lab, aneka strategi dan taktik yang dikembangkan oleh tim ITB dalam menyiasati aneka permasalahan dan kendala merupakan sumber pengetahuan tersendiri. Tulisan ini pun merupakan bentuk diseminasi pengetahuan sebagai hasil refleksi praktik desain dan konstruksi, dengan Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura sebagai kasus studi.

Desain Arsitektur Terakota di Alun-Alun Desa Jatisura

   Desain diawali dengan menerjamahkan ide Kota Terakota ke dalam bentuk arsitektural. Selayaknya proyek arsitektur pada umunya, desain diawali dengan studi preseden penggunaan material terakota oleh beberapa arsitek kelas dunia. Dari studi presedens ditemukan 3 cara penggunaan material terakota dalam arsitektur: sebagai elemen struktur tekan, sebagai pembentuk bidang, dan sebagai elemen penutup dinding. Ditemukan juga ada 3 variasi eksplorasi bentuk yang mungkin dilakukan: rigid-plastis, opaque-transparent, dan tekstur halus-tekstur kasar.

Langkah berikutnya adalah memilih material dari beberapa studio yang mencoba memproduksi material terakota secara lebih inovatif. Setelah mengamati dan berdiskusi, dipilih 3 jenis material untuk diterapkan pada Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura: hollow-brick, tile 20x20, dan elemen paving dari limbah terakota. Ketiga jenis material ini dipilih karena pertimbangan konstruksi arsitektural dan potensi dampak ekonomi jika material tersebut dilihat dan diminati oleh publik pengunjung Arsitektur Terakota.

Setelah material terakota teridentifikasi, desain dilanjutkan dengan mengidentifikasi karakter alun-alun Desa Jatisura. Secara morfologi, alun-alun ini mempunyai kekhasan karena hanya punya satu sisi yang bisa diakses oleh publik, yaitu sisi Selatan yang menghadap balai desa. Ketiga sisi lainnya dikelilingi oleh bangunan Sekolah Dasar (SD). Di tengah alun-alun terdapat pohon beringin sebagai tengaran, yang juga menaungi bidang datar berbentuk panggung menghadap ke arah balai desa. Secara fungsi, pagi hari alun-alun ramai oleh aktivitas luar ruang anak-anak SD, ada keteduhan pohon beringin yang menarik orang untuk duduk dan dikeliling penjaja makanan, sore hari warga menggunakannya untuk aktivitas olahraga, dan adanya berbagai perayaan di tempat ini seperti Salat Hari Raya, acara menonton wayang, perayaan 17 Agustus, dan sebagainya.  Dari karakter bentuk dan aktivitas ini, maka desain dilakukan dengan semangat menciptakan sesuatu yang menonjol namun tidak mengganggu mengganggu aktivitas yang sudah ada.

Desain sendiri merupakan proses iteratif (bolak-balik), dan iterasi pertama dilakukan dengan memfokuskan untuk menampilkan batu-bata sebagai elemen utama pada Arsitektur Terakota di alun-alun desa Jatisura. Proses desain dilakukan lewat pengolahan bentuk dinding dengan mengartikulasikan garis-garis dari panggung untuk memperkuat keberadaan pohon beringin sebagai tengaran dan pusat orientasi. Tiap sisi dinding diberikan fungsi yang berbeda-beda, dan salah satunya menjadi latar panggung. Pada sisi dinding yang lain, dirancang sebagai area menonton untuk kegiatan olahraga yang ada di sampingnya. Desain memang akan memberikan intervensi di alun-alun ini, namun aktivitas yang sudah ada diharapkan tetap berlangsung agar memori kolektif warga desa tetap terjaga.

Desain kemudian dimatangkan dalam iterasi selanjutnya, dengan memperkuat karakter material terakota. Tiga cara penggunaan material terakota (elemen struktur tekan, pembentuk bidang, dan ornamen) lebih eksplorasi untuk mendapatkan tiga variasi dalam tampilan desain: rigid-plastis, opaque-transparent, dan tekstur kasar – tekstur halus. Pada tahap ini ditambahkan elemen duduk bertingkat yang merepresentasikan material terakota sebagai elemen struktur tekan, dinding batu bata dan hollow-brick sebagai pembentuk bidang, dan dan tile sebagai elemen penutup dinding. Perbaikan signifikan dari desain sebelumnya adalah paving-block yang dibuat rata agar tidak menghalangi aktivitas olahraga dan penghilangan elemen lampu karena pertimbangan perawatan.

Secara umum, desain arsitektur terakota di alun-alun Desa Jatisura diartikulasikan sebagai etalase aneka produk terakota di Jatiwangi dan Majalengka. Dengan konsep etalase, diharapkan beberapa produk inovasi terakota bisa ditampilkan dan dilihat oleh publik. Alun-alun Desa Jatisura menjadi tempat untuk menunjukan keragaman dari penggunaan material terakota, dan terinspirasi untuk menggunakannya di tempat lain. Ketika banyak digunakan, maka akan tumbuh konsumsi produk terakota, yang diharapkan akan menghela produksi juga.

Menerjemahkan hasil desain ke dalam konstruksi ternyata merupakan merupakan proses yang rumit. Banyak kendala  yang perlu disiasati agar gagasan desain bisa terwujud. Di sini, selain berpikir strategis ala desainer, tim ITB juga menggunakan cara berpikir taktis saat berada di lapangan.

Secara umum, ada 3 kendala yang muncul saat proses konstruksi. Kendala pertama kendala internal tim peneliti, yaitu keterbatasan biaya, tenaga, dan waktu. Kendala kedua adalah pasokan material terakota, di mana material yang dipilih lewat desain tidak bisa dipasok pada waktu yang bersamaan. Kendala  ketiga adalah keterbatasan pengetahuan dari pekerja setempat, yang tidak cakap membaca gambar dan belum terbiasa membangun bangunan-bangunan yang didesain secara kreatif. Menyikapi ketiga kendala tersebut, tim ITB mengembangkan aneka strategi non-teknis dalam desain dan improvisasi di lapangan agar desain tetap terwujud dengan baik.

Meski menghadapi banyak kendala, proses konstruksi yang melibatkan pekerja lokal ternyata memberikan dampak pembelajaran dan pemberdayaan, baik kepada pekerja maupun bagi tim ITB. Setelah dianggap berpengalaman membangun arsitektur terakota di desanya, para pekerja yang terlibat kemudian direkomendasikan ikut dalam proyek konstruksi material terakota dalam skala lebih besar dan kualitas yang lebih baik di kota Majalengka. Bagi tim ITB, kata kunci dalam seni berinteraksi dan membangun kesesuaian dari para pemangku kepentingan adalah belajar sabar.

Penutup: Arsitektur sebagai Media Pembelajaran Kolektif

Sebagai sebuah social lab, maka proses desain dan konstruksi Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura dilihat sebagai proses pembelajaran kolektif. Istilah kolektif, dalam tulisan ini, diturunkan dari Teori Jaringan-Aktor (Actor-Network Theory/ ANT), yang melihat fenomena sosial  yang sarat dengan objek-objek teknis (Latour, 2005, Yuliar, 2009). Sebagai proses sosial, desain selalu melibatkan banyak pihak dengan sudut pandang, kepentingan, dan preferensi masing-masing (Dorst, 2003). Dengan perspektif pembelajaran kolektif, maka objek arsitektur yang dirancang dan dibangun menjadi proses pembelajaran masing-masing, ketika berinteraksi dengan orang-orang lain. (Ekomadyo, dkk., 2019). Dengan berinteraksi dengan masyarakat, maka yang terjadi adalah rajutan pembelajaran (learning assemblage), di mana terjadi translasi dan koordinasi antar pelaku yang terlibat (McFarlane, 2006).

606

views