Akustika Masjid, Menghadap Telinga ke Kiblat

Akustika Masjid, Menghadap Telinga ke Kiblat

Tags: ITB4People, Community Services, Pengabdian Masyarakat, SDGs9

HARUS diakui, tidak semua masjid ketika dibangun sudah memperhatikan aspek audio. "Desainer masjid kita masih didominasi oleh pendekatan visual. Bagaimana agar ruangan-ruangan yang ada di masjid menjadi indah yang diterjemahkan secara visual. Masalah audial umumnya dianggap bisa diatasi dengan pemasangan sound system. Padahal, tidak begitu," kata Joko Sarwono, peneliti dari Kelompok Keahlian Fisika Bangunan, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Dalam membantu agar akustik masjid bisa menjadi bagian dari kekhusyukan ibadah, Kelompok Keahlian Fisika Bangunan FTI ITB menggelar berbagai pelatihan bekerja sama dan buku rujukan untuk Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) sejak dua tahun lalu. Mengingat banyak peminatnya, pada 2021 dilakukan "Training for Trainer: Menyelesaikan Permasalahan Akustik Masjid di Indonesia". Pelatihan ini diselenggarakan untuk meningkatkan pemahaman terhadap akustik dan sistem tata suara secara komprehensif setiap Jumat, selama Juli dan Agustus 2021. Peserta kegiatan ini tersebar dari seluruh nusantara, mulai Aceh hingga ke Papua. Acara ini juga terdaftar dalam rangkaian kegiatan International Year of Sound 2021 (IYS 2021), sebuah inisiatif global untuk menunjukkan betapa pentingnya suara, baik dari sisi pengetahuan maupun teknologi, dalam segala aspek kehidupan di dunia.

Joko, menjelaskan, dalam sebuah ruangan, termasuk masjid, suara merupakan bentuk energi yang keluar dari sumber yang sampai ke telinga manusia. Sumber suara langsung bisa dari mulut orang lain atau dari pengeras suara yang berisi informasi yang penuh. Selain itu, ada pula suara pantulan pertama, yaitu suara yang dipantulkan ke dinding baru ke telinga yang memperkaya suara langsung.

Satu lagi adalah dengung, yaitu suara yang merambat melalui ruang kemudian menumbuk permukaan ruang. Energinya diambil oleh ruang sebelum sampai ke telinga. "Suara pantulan ini memperkaya suara. Jumlahnya bisa satu, dua, tiga, dan seterusnya. Ini lebih ke informasi ruang, menunjukkan permukaannya banyak," tuturnya.

Semua suara itu diterima di telinga pada satu waktu sehingga ada banyak suara yang didengarkan oleh telinga pada saat yang bersamaan. Sebuah bangunan dikatakan memiliki akustik yang baik jika mampu mengendalikan suara-suara tersebut. Agar suara langsung menjadi yang dominan, suara pantulan pertama dan dengung harus bisa dikendalikan. Kualitas suara yang dihasilkan sistem tata suara sangat bergantung pada kualitas akustik ruangan.

Sebagai rumah ibadah, akustik masjid akan sangat berpengaruh pada rasa yang ditimbulkan.

"Misalnya ruang yang kalau ada suara satu kali tepuk tangan, suaranya bisa terdengar tidak habis-habis. Tetapi, tidak bisa juga dibangun seperti bioskop, yang sekali tepuk tangan langsung habis (suaranya). Orang di dalam masjid jadi tidak merasa kecil, tidak merasa di bangunan yang megah. Di bioskop kita tidak merasa berserah diri, adanya perasaan excited," ujar Joko.

Arah kiblat

Masjid memerlukan penataan akustik sesuai dengan tuntunan, seperti salat yang wajib menghadap ke kiblat, sumber suara seharusnya datang dari arah kiblat. "Kerap terjadi, suara imam seolah terdengar dari belakang. Bahkan, terdengar beberapa sumber suara dari arah yang berlainan. Hal ini karena penataan akustik (termasuk sistem tata suara) yang tidak tepat," ujarnya.

Joko menjelaskan di dunia ini ada dua tipe masjid. Pertama, masjid yang kiblatnya 360 derajat yang hanya di Masjidilharam. Kedua, masjid yang arahnya ke kiblat, seperti di Masjid Nabawi, dan masjid-masjid lain di dunia. Pada masjid tipe ini, arah suara harus terdengar dari arah kiblat.

"Manusia memiliki dua telinga untuk mengetahui arah datangnya suara. Sering kali di masjid-masjid memasang speaker di belakang mengarah ke depan. Jadi, seseorang visualnya melihat sumber suara ada di depan, tetapi suaranya terdengar dari belakang. Bahkan, ada yang seolah-olah ada tiga orang yang berbicara dengan dia," tuturnya.

Geometri sangat menentukan, masjid yang atapnya berbentuk kubah, limasan, maupun datar perlu pengaturan yang berbeda. Masjid dengan model terbuka atau tertutup, ukuran besar atau kecil, masing-masing menghasilkan pantulan suara yang berbeda.

Selain memfokuskan suara dari kiblat, akustik masjid yang baik harus mencukupi energi untuk mendengar. Suara yang terdengar tidak boleh terlalu keras ataupun terlalu lemah. Suara yang dihasilkan juga harus merata di seluruh ruangan. Jarak menjadi faktor penting, semakin besar ruangan masjid, semakin memerlukan penataan suara.

Pada medan bebas, jika jarak bertambah dua kali lipat, energi suaranya akan berkurang seperempatnya. Maka, perlu pengaturan di mana seharusnya meletakkan loud speaker. Jika memang ruangannya memanjang, perlu dibuat layer atau lapisan agar suara tetap terdengar kuat hingga baris belakang.

"Sebagai contoh, di Masjid Salman, saya bagi menjadi tiga layer. Satu di depan untuk setengah ke depan. Kedua digantung di garis tengah ruangan untuk meng-cover setengah belakang. Lalu di koridor untuk jemaah berikutnya. Harus diatur supaya (suara) datangnya bersamaan," tuturnya.

Penataan akustik di masjid juga harus mencukupi untuk menyimak informasi. Menyimak lebih daripada sekadar mendengarkan. Saat menyimak, semua informasi harus tersampaikan, suara tidak hanya keras, artikulasinya juga terdengar jelas. Pendengar harus dapat memahami informasi dari percakapan, dan suara dari sumber harus terdengar lebih dominan dibandingkan dengan bising lingkungan. "Waktu dengungnya tidak boleh terlalu tinggi," ujarnya.

Akustik masjid juga diharapkan menghasilkan audial yang unik. Seseorang harus merasakan kesejukan dan kedamaian untuk membantu kekhusyukan saat beribadah di masjid. "Kekhusyukan ini perlu diterjemahkan sebagai kondisi audial. Saat mendesain masjid, jangan sampai terasa seperti ruang tamu atau studio. Jangan sampai seperti ruang kelas atau kantor," tutur Joko.

la mengatakan, audial masjid penting sebab tidak saja menghadapkan hati ke kiblat, tetapi juga telinga. Telinga sebagai indra yang menerima akustik ini memang sering diabaikan. Padahal, jika menengok ke epistemologinya, justru telinga yang lebih dulu berfungsi sebelum organ lainnya.

"Telinga sudah bekerja pada janin empat bulan di kandungan. Supaya dia bisa berkomunikasi dengan ibu dan bapaknya. Itu pula kenapa kita diminta berkata baik, mendengarkan yang baik, saat di kandungan bapak ibunya disarankan mengaji supaya anak di dalam perut mendengar yang baik-baik. Suara menjadi unsur yang membangun keterikatan sehingga saat lahir ia mengenali ibu dan bapaknya. Siapa ibu dan bapaknya yang akan menenangkannya," ucap Joko.

la berharap, pembangunan masjid di Indonesia dibarengi dengan penataan akustik yang baik agar masjid tak hanya indah dipandang, tetapi juga bisa mensyiarkan kebaikan dengan syahdu sesuai dengan fungsinya. Akustik masjid yang baik, setidaknya dicirikan oleh, pertama mampu menghadapkan pendengaran jemaah ke kiblat (fokus). Kedua, mampu mencukupi energi mendengar bagi jemaah (dengar). Ketiga. mampu menjamin kondisi menyimak informasi bagi jamaah (simak), dan keempat, mampu menghasilkan kondisi audial yang unik (rasa). "Kalau sejak awal direncanakan, FDSR ini akan lebih mudah dicapai. Kalau sudah jadi masjidnya baru ditata, selain sulit juga akan lebih mahal," ujarnya. (Deny Willy Junaidy, Ph.D./Sekretaris Bidang Pengabdian Masyarakat LPPM-ITB) ***

1097

views