Akses Internet untuk Nabaheng lebih Berdaya

Provinsi Maluku, dengan segala pesonanya, adalah bagian dari surga tropis yang selalu memikat hati. Di bagian tenggara provinsi ini, Kabupaten Maluku Tenggara menyimpan banyak sekali potensi kecantikan alam dan kekayaan budaya. Pulau Kei Kecil sering menjadi bintang utama cerita tentang Maluku Tenggara. Destinasi wisata seperti Pantai Pasir Panjang (Ngurbloat), yang disebut-sebut memiliki pasir putih terhalus di Indonesia, dan Pulau Bair, yang dijuluki "Mini Raja Ampat," menarik perhatian wisatawan dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, Maluku Tenggara juga dikenal berkontribusi signifikan terhadap nilai produksi perikanan tangkap di Maluku.

Foto Desa Nabaheng dari atas yang diambil dengan drone (Dok. ITB) (Diambil pada 19 November 2024)

Namun, di balik cerita tentang Kei Kecil yang gemerlap, ada pulau saudara yang jarang mendapat sorotan, pulau Kei Besar. Terletak di sebelah timur Kei Kecil, pulau ini menyimpan potensi besar, tetapi menghadapi tantangan berupa minimnya akses infrastruktur, telekomunikasi, dan pemerataan ekonomi.

Memiliki karakteristik berbeda dari Kei Kecil, Pulau Kei Besar didominasi oleh bukit-bukit serta ditutupi hutan lebat. Desa-desanya terpisah pepohonan rimbun yang sebagian merupakan wilayah perkebunan campur milik warga setempat, dan hanya dihubungkan oleh satu dua ruas jalan saja. Baru-baru ini pemerintah setempat memperbaharui jalan utama tersebut. Meski menjadi langkah awal yang positif, masih banyak desa yang belum memiliki akses jalan yang memadai, bahkan untuk sekadar terhubung ke pelabuhan. Medan yang terjal membuat pembangunan infrastruktur menjadi tantangan tersendiri dan menjadikan desa-desa di Kei Besar kurang berkembang. Padahal, perbukitan Kei Besar menyembunyikan pantai-pantai terpencil serta air terjun langsung ke laut yang jarang ditemukan di tempat lain.

Untuk mencapai Kei Besar, masyarakat dapat menggunakan kapal dari Pelabuhan Watdek di Langgur, Ibukota Maluku Tenggara, menuju Pelabuhan Elat di Kei Besar. Kapal ini berangkat dan kembali dua kali setiap hari, namun jadwal dapat berubah sewaktu-waktu.

Kei Besar dan Tantangan Komunikasi

Di tengah potensi alamnya yang besar, kehidupan masyarakat Kei Besar dihadapkan pada banyak tantangan. Jangankan memasarkan pariwisata, menghubungi keluarga saja perlu perjuangan. Sinyal seluler maupun internet tidak tersedia di desa, sehingga warga harus berjalan ke atas bukit untuk mendapat sinyal. Jika ada anggota keluarga yang ingin menghubungi dari luar pulau, pesan itu harus disampaikan melalui seseorang di Pelabuhan Elat. Dari sana, orang yang dihubungi akan berangkat ke desa dengan sepeda motor. Setelah itu, keluarga yang ingin bertelepon harus berjalan ke atas bukit, tak peduli apakah cuaca mendukung atau sedang hujan lebat, demi bertukar kabar dengan orang terkasihnya. Di atas bukit itu, warga bahkan telah menempatkan bangku-bangku kayu, seolah menjadikan tempat tersebut ruang tamu darurat bagi komunikasi.

Kondisi ini tidak hanya memengaruhi komunikasi antar-keluarga tetapi juga membatasi akses ke informasi yang penting untuk pendidikan dan ekonomi. Di Desa Nabaheng, sebagian besar penduduk menggantungkan hidup pada pertanian subsisten. Mereka menanam singkong, kelapa, dan pisang untuk kebutuhan sehari-hari. Ada juga tanaman cengkeh, pala, maupun mangga. Jika panen bagus, hasilnya dijual di pasar lokal di Elat. Namun, dengan biaya transportasi yang tinggi dan daya beli yang rendah, banyak petani memilih untuk menjual hasil kebun hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sesekali, para bapak berlayar ke laut ketika cuaca mendukung, namun hasil tangkapan bukan untuk dijual. Minimnya akses jalan dan pasar yang terbatas membuat nelayan enggan mengandalkan laut sebagai sumber penghasilan utama.

“Di sini kami sangat membutuhkan bantuan untuk meningkatkan kualitas hidup,” kata Bapak Jonadab, Sekretaris Desa Nabaheng. “Untuk usaha pun sulit karena tidak ada yang membeli. Mungkin dengan adanya internet kami bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang di Elat, bahkan di tempat lain, dan mencari informasi untuk belajar bagaimana memulai usaha.”

Pernyataannya mencerminkan kondisi Nabaheng yang masih terisolasi. Ketiadaan akses teknologi membuat banyak anak muda memilih meninggalkan desa untuk mencari peluang di luar pulau dan mendukung perekonomian keluarga dari jauh. Desa-desa seperti Nabaheng perlahan kehilangan generasi mudanya, menyisakan lansia sebagai mayoritas penduduk yang tersisa.

Harapan baru melalui Desa Digital

Dalam rangka program pengabdian kepada masyarakat di wilayah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal) di Indonesia Timur, Desa Nabaheng di Pulau Kei Besar terpilih sebagai salah satu lokasi pengembangan Desa Digital. Program ini adalah hasil kerjasama antara Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). Program Desa Digital ini berupa pembangunan akses internet menggunakan teknologi internet satelit. Kegiatan yang dilaksanakan pada bulan September hingga November 2024 ini bertujuan menghubungkan Desa Nabaheng dengan dunia luar sehingga membuka peluang baru untuk pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Dr. Ir. Khairul Ummah, S.T., M.T., dosen Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB, pemasangan internet satelit dengan akses wi-fi di beberapa titik strategis desa diharapkan dapat menciptakan budaya belajar bersama melalui internet. Bagi masyarakat di kota-kota, terlebih di Pulau Jawa, akses internet adalah hal yang biasa. Namun bagi masyarakat pedesaan terutama di wilayah 3T, adanya akses internet adalah hal yang sangat luar biasa. Ini adalah sarana penting dan strategis untuk memajukan dan menyejahterakan desa. “Solusi bagi permasalahan di desa bisa ditemukan di berbagai sumber seperti YouTube. Inspirasi juga dapat ditemukan melalui berbagai sosial media. Masyarakat perlu melihat contoh-contoh agar terinspirasi dan berani mencoba dengan sumber daya yang ada,” katanya. Ia menambahkan bahwa internet dapat menjadi alat penting untuk mendobrak isolasi, memberikan akses untuk pengetahuan, dan membawa inspirasi ke desa-desa seperti Nabaheng. Melalui internet ini desa akan bisa lebih cepat dalam belajar dan makin berdaya.

Kunjungan ke Desa Nabaheng dilakukan dua kali. Kunjungan pertama Tim ITB dilakukan pada pekan ketiga Oktober 2024. Tim ITB yang terdiri dari Dr. Ir. Edy Suwondo, M.Sc., Andita Pramadi, dan Prima Risya, dengan tujuan kunjungan adalah pemasangan perangkat internet satelit serta jaringan wi-fi di beberapa titik strategis. Perjalanan ke Desa Nabaheng dibantu oleh Bapak Iman, pendamping dari Kemendesa PDTT yang juga merupakan penduduk asli Elat. Desa Nabaheng terletak di dekat pantai sebelah timur Pulau Kei Besar. Jalan menuju desa itu cukup menantang, dengan medan yang belum sepenuhnya beraspal dan terjal. Tim harus menempuh sisa perjalanan menggunakan motor melintasi rute berbatu. Sesampainya di Nabaheng, Tim ITB disambut oleh Pejabat Kepala Desa, Bapak Yakobus, dan Sekretaris Desa, Bapak Jonadab, yang sebelumnya telah menjalin komunikasi intensif dengan tim.

Pemasangan perangkat internet satelit di Nabaheng tidak berjalan tanpa tantangan. Hujan besar dan mati listrik sempat menghambat pekerjaan. Belakangan, baru diketahui penyebab listrik mati adalah kabel putus tertimpa pohon yang tumbang akibat angin kencang. Begitulah kondisi yang dihadapi warga Nabaheng, namun hal ini dapat teratasi berkat gotong royong bersama masyarakat yang selalu siap membantu. Kerja keras ini akhirnya terbayar ketika perangkat internet satelit selesai dipasang. Dua titik radio Wi-fi sudah cukup menjangkau mayoritas rumah di Nabaheng yang memang tidak terlalu besar. Satu titik wi-fi ditempatkan di depan Gereja Fangnan, pusat kegiatan masyarakat desa, sehingga memudahkan akses bagi semua warga.

Bapak Yakobus (Pejabat Kepala Desa Nabaheng) bersama Sekretaris Desa, Bapak Jonadab (Sekretaris Desa) melakukan video call dengan koneksi internet satelit (Dok. ITB) (17/10/2024)

Konfigurasi internet satelit di Gedung Serba Guna Nabaheng (Dok. ITB) (19/10/2024)

Setelah melihat kondisi Nabaheng yang hanya membutuhkan satu perangkat Starlink untuk mencakup seluruh desa, Tim ITB memutuskan untuk memperluas pemasangan internet ke Desa Ohoilim, yang terletak sekitar 20 menit perjalanan dari Nabaheng. Desa ini seperti berada di cekungan karena dikelilingi perbukitan. Sinyal seluler dapat dicapai jika naik ke bukit atau berjalan terlebih dahulu ke jalan raya utama yang cukup jauh dari desa. Desa Ohoilim memiliki jumlah penduduk yang lebih besar. Wi-fi di Ohoilim dipasang di Balai Desa, memberikan akses internet kepada lebih banyak warga.  Di Ohoilim terdapat sebuah SD yang menambah alasan pentingnya akses internet, terutama bagi anak-anak yang kini dapat memanfaatkan teknologi untuk belajar.

Anak-anak di Ohoilim melihat lingkungan tempat tinggal mereka dari atas melalui rekaman video drone (Dok. ITB) (19/11/2024)

“Kami harap adanya internet ini bisa menjadi jembatan untuk anak-anak belajar lebih banyak melalui aplikasi dan video pembelajaran,” ujar Bapak Johanis, Kepala Desa Ohoilim, ketika ditemui oleh Tim ITB (18/11/24). Akses internet diperbolehkan bagi anak-anak hingga sore hari. Malam hari mereka wajib belajar di rumah.

Dengan dua desa—Nabaheng dan Ohoilim— yang kini terhubung dengan internet, harapan positif makin tumbuh di Kei Besar. Apa yang dulunya dianggap sebagai keterbatasan kini mulai berubah menjadi peluang. Teknologi bukan hanya menghubungkan desa dengan dunia luar, tetapi juga membuka pintu menuju masa depan yang lebih cerah. Masyarakat menunjukkan kegembiraan luar biasa atas adanya akses internet, dan menyampaikan rasa terimakasih kepada ITB dan Kemendesa PDTT atas program Desa Digital ini.

Tim ITB bersama warga Nabaheng di depan Gedung Serba Guna Nabaheng (Dok. ITB) (19/10/2024)

Tim ITB bersama warga Ohoilim di Balai Desa Ohoilim (Dok. ITB) (19/10/2024)

Menuju Desa Berpengetahuan

Sebelum internet satelit hadir di Nabaheng dan Ohoilim, teknologi yang sama juga sudah terlebih dahulu dipasang di Desa Ohoinangan oleh tim dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB. Pemeliharaan perangkat Starlink di Ohoinangan dipercayakan kepada Nadit dan Firman, dua pemuda desa yang dengan penuh semangat bekerja sama dengan dosen STEI ITB, Ahmad Izzuddin, S.T., M.T. Internet di Ohoinangan telah mengubah hidup masyarakat terutama dalam hal komunikasi.

“Adanya internet sangat membantu kami, terutama untuk berkomunikasi dengan keluarga yang jauh,” cerita Ibu Nurlela, salah satu penduduk Ohoinangan. Perubahan ini begitu nyata setiap sore, ketika warga berkumpul di sekitar Masjid An-Nur, tempat wi-fi dipasang. Anak-anak menggunakan internet untuk belajar, sementara perangkat desa memanfaatkan akses ini untuk mengelola administrasi dengan lebih efisien.

Tim ITB dari Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) serta dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) bersepakat untuk menghubungkan tiga desa yaitu Ohoinangan, Nabaheng, dan Ohoilim, guna saling membantu dan belajar bersama, mengingat lokasi ketiga desa yang relatif berdekatan sehingga bisa mudah untuk saling mendukung jika ada kendala teknis.

Pelatihan Pemanfaatan Internet dan Kolaborasi Antar Desa

Sekitar satu bulan setelah pemasangan internet di Nabaheng dan Ohoilim, Tim ITB kembali ke Kei Besar dalam perjalanan yang ke dua dengan tujuan untuk memberikan pelatihan singkat tentang pemanfaatan internet dan keamanan siber. Pelatihan ini penting mengingat internet bisa berdampak positif maupun negatif. Tim ITB meyakini bahwa pengetahuan untuk memanfaatkan internet bagi keperluan belajar, komunikasi, usaha dan pemasaran, serta mitigasi terhadap ancaman kejahatan di internet adalah hal yang sangat penting untuk diperkenalkan sejak awal. Pelatihan ini dilakukan di Gedung Serba Guna Desa Nabaheng yang terletak di depan Gereja Fangnan. Acara ini dihadiri oleh warga dari Nabaheng, Ohoinangan, dan Ohoilim, menciptakan suasana kolaboratif yang hangat.

Suasana pelatihan pemanfaatan internet yang dihadiri oleh warga Nabaheng, Ohoinangan, dan Ohoilim (Dok. ITB) (20/11/2024)

Masyarakat Kei terkenal dengan prinsip hidup “ain ni ain” yang secara harfiah berarti “satu memiliki satu”. Nilai ini menggambarkan solidaritas yang kuat, di mana setiap individu terhubung dalam tali persaudaraan dan saling mendukung. Semangat ini diharapkan menjadi kekuatan utama ketiga desa untuk bahu-membahu dalam pemeliharaan perangkat internet dan saling bertukar informasi seputar pemanfaatan internet. Mengingat lokasi ketiga desa yang berdekatan, program belajar bersama diusulkan sebagai upaya kolaboratif untuk mencari solusi bagi tantangan yang dihadapi ketiga desa.

Sesi pelatihan ini tidak hanya membahas cara menggunakan internet, tetapi juga menjadi ruang diskusi untuk mencari solusi atas permasalahan umum di desa-desa Kei Besar. Salah satu isu utama yang dibahas adalah kekeringan air selama musim kemarau, yang kerap menyulitkan masyarakat. Selain itu, rendahnya daya beli dan tingginya ongkos transportasi untuk berdagang di pusat kecamatan menjadi perhatian utama. Dengan panduan Tim ITB yang terdiri atas Dr. Ir. Khairul Ummah, S.T., M.T. dan Dhiya Khairinnisa, S.T., warga mulai mengeksplorasi solusi sederhana melalui YouTube. Mereka mempelajari teknik pengolahan sederhana kelapa menjadi minyak, pembuatan arang batok kelapa, singkong menjadi tepung mocaf, pisang menjadi keripik dan sale pisang, serta pembuatan minyak cengkeh—semua merupakan komoditas utama Kei Besar yang berpotensi memiliki nilai tambah.

Diskusi ini membuka wawasan baru bagi masyarakat, memperlihatkan bagaimana teknologi dapat menjadi alat untuk mengatasi keterbatasan dengan cara yang praktis. Dengan melihat langsung contoh-contoh dari YouTube masyarakat menjadi tahu cara untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil desa mereka. Contoh sederhana misalnya, masyarakat baru tahu bahwa batok kelapa yang selama ini dibuang ternyata bernilai ekonomi tinggi jika diolah secara sederhana menjadi arang batok kelapa. Contoh lainnya adalah cara pengolahan pisang menjadi sale pisang yang cukup sederhana namun bisa membuat produk pisang ditawarkan dalam nilai ekonomi yang lebih tinggi. Juga masyarakat menjadi tahu bahwa pengemasan produk bisa dilakukan dengan mudah, sehingga produk berpeluang dipasarkan ke tempat yang lebih jauh. Masyarakat juga belajar bahwa di tempat lain ada sebuah desa yang bisa maju dengan warga secara bersama-sama mengolah singkong menjadi tepung mocaf, jenis tepung kue pengganti tepung terigu.

Tim ITB bersama warga Nabaheng, Ohoilim, dan Ohoinangan (Dok. ITB) (20/11/2024)

Masyarakat sangat bersemangat untuk menerapkan pengetahuan baru tersebut dan bersepakat untuk membuat kelompok kolaborasi tiga desa dan akan terus didampingi oleh Tim ITB. Hal ini dapat terwujud dengan adanya internet yang secara mudah mampu menghubungkan semua pihak tersebut. Tim ITB bertekad bahwa program ini bukan sekedar hanya membantu penyediaan internet, namun harus berhasil membuat desa menjadi “desa berpengetahuan” sehingga lebih berdaya dan mandiri.

Pertemuan ditutup dengan pesan dari Ibu Pendeta Ohoi Nabaheng yang turut hadir, mengingatkan warga untuk menggunakan internet dengan bijak. “Jangan sampai keberadaan wi-fi ini membuat kita terlalu sibuk dengan keperluan pribadi. Mari kita gunakan bersama-sama untuk belajar dan mencari solusi yang bermanfaat bagi desa,” ujarnya. Pernyataannya mencerminkan harapan bahwa teknologi ini tidak hanya menghubungkan desa dengan dunia luar, tetapi juga memperkuat solidaritas dan nilai-nilai lokal masyarakat Kei Besar.

9

views