Flores, lppm.itb.ac.id-Tim Peneliti dari Design Ethnography Lab Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) kembali berkunjung ke Desa Riangkemie, Kecamatan Ile Mandiri, Kabupaten Flores Timur.
Kunjungan kali ini ialah kelanjutan dari program pengabdian masyarakat yang dimulai pada tahun 2021. Tim itu terdiri dari mahasiswa, dosen dan asisten. Salah satu kegiatan yang menjadi fokus mereka ialah eskplorasi pewarna alam untuk kerajian anyaman lontar yang menjadi kekayaan warga setempat. Adapun tiga jenis kegiatan yang diisi dalam pengabdian masyarakat itu yakni eksplorasi dan pengawetan pewarna alam untuk kerajinan anyam lontar di Desa Riangkemie oleh Meirina Triharini.
Kemudian, pengembangan desain dari kerajinan tradisional anyam lontar oleh Adhi Nugraha dan pembuatan ruang pengarsipan teknik dan produk anyaman lontar oleh Arianti Ayu Puspita.
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari pemberdayaan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki guna menopang pengembangan produk di Desa Riangkemie. Tujuannya ialah untuk meningkatkan nilai ekonomi melalui produk kreatif lontar yang khas, menciptakan lapangan kerja baru bagi generasi muda, sekaligus menjaga serta melestarikan nilai-nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun.
Adhi Nugraha mengatakan penelitian itu untuk mengetahui teknik-teknik baru untuk mengembangkan produk anyaman lontar secara keberlanjutan (sustainable). Termasuk mengenai akses pasar yang manjadi muara untuk kepentingan ekonomi masyarakat.
“Memang potensi tenun ikat dan anyaman sangat besar tetapi tantangan adalah kita carikan pasar,” katanya.
Namun, Adhi optimis karena permintaan pasar nasional maupun internasional arahnya adalah produk yang lebih ramah lingkungan. Dan Flores Timur punya potensi tersebut. Ketua Tim Peneliti Meirina Triharini menyatakan bahwa kehadiran tim guna memberikan wawasan baru soal pengoptimalan kualitas pewarna alam untuk anyaman lontar yang selama ini sudah dikenal.
Sebab, daerah itu memiliki potensi lontar yang kemudian akan dijadikan produk anyaman lokal yang khas dan unik untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Karena itu, anyaman lontar perlu dikreasi lebih unik dengan menggunakan pewarna alam agar dapat menarik perhatian konsumen.
“Di NTT ini banyak pewarna alam. Tinggal kita coba,” katanya.
Dalam kegiatan itu, Tim ITB berkolaborasi dengan Komunitas Ri’as Bag yang selama ini bergelut di bidang lontar anyaman seperti tas, dompet dan lain-lain. Dus Molan, perwakilan dari Komunitas Ri’as Bag menyatakan kolaborasi itu merupakan salah satu cara untuk mempertahankan warisan leluhur yang menjadi kerarifan lokal di desa itu. Dus juga sempat menyentil soal tergerusnya pewarnaan alami yang kini hampir ditinggalkan.
“Masyarakat kami sudah jarang sekali menggunakan pewarna alami. Mereka lebih suka yang instan. Yang menurut kami, itu sangat berefek negatif terhadap lingkungan,” kata Dus.
Kepala Desa Riangkemie Thomas Lewar menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kunjungan dan pemikiran yang sudah diberikan ITB kepada warga melalui Ri’as Bag.
“Memang cukup banyak potensi pewarna alami yang ada di sini. Tapi sekarang banyak beralih ke pewarna lain,” ujar Thomas.
Untuk itu, ia berharap kehadiran ITB di Desa Riangkemie dapat mendorong semangat warga guna berbicara bersama sehingga ke depan bisa menghasilkan sarung atau anyaman yang berkualitas.
“Dengan begitu dapat meningkatan perekonomian warga. Memang tiga hari teramat singkat, tapi bukan soal waktu. Tapi bagaimana kita membangun semangat kita untuk melihat hal ini perlu kita terapkan ke depan,” pungkas dia.